Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

June 13, 2014

Jumatulis #13 - Selalu Ditinggal Pergi


Pantai adalah tempat yang sangat indah bagi siapapun yang mencintai senja. Keindahannya tak akan pernah bisa didiversifikasikan dengan panorama lainnya. Kulihat laut membentang bagai hamparan permadani biru, ditemani tarian lihai rumput laut di dalamnya. Ah! Banyak ikan bersembunyi di balik terumbu karang yang beraneka rupanya. Ini kali pertama aku menghabiskan waktu bersamanya.

“Bagaimana, kamu suka?” tanya Riza yang sedari tadi menemaniku di Pantai ini.

“Emm, ehm.” Kataku mengangguk pertanda aku mengiyakan pertanyaannya. Kulihat senyum indahnya semakin memperlihatkan rasa cinta yang begitu dalam padaku.

“Aku mencintaimu, Ra.” Ia mendekap tubuh mungilku. Aku tak kuasa menahan air mata yang sudah menggelayut meminta dijatuhkan saat itu juga. “Aku akan selalu menemanimu untuk selamanya.” Lanjutnya. Semakin erat pula dekap hangat pelukannya.

“Makasih.” Hanya satu kata yang bisa aku ucapkan. Aku terlalu bahagia sampai aku tak bisa berkata-kata lagi.

“Iya, sayang.” Katanya sambil mencium keningku.

Tuhan, aku masih ingin menghabiskan waktu dengannya. Jika bisa, aku ingin meminta waktu seribu tahun lagi untuk bersamanya. Riza yang Kau berikan untukku adalah hadiah dan anugerah terindah dalam hidupku.Hidupku yang singkat ini.

“Ra, badanmu panas. Ayo kita pulang!” Riza langsung panik mengetahui tubuhku yang mulai panas. Demam tinggi menyerangku lagi!

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Aku merasakan panas menjalar ke tubuhku. Tubuhku menjadi sangat lemas. Bahkan menggerakan jemari pun aku tak sanggup. Aku yang sedari tadi tengah duduk di kursi roda kembali pulang. Riza membawaku ke paviliun yang sudah kami sewa di sekitar pantai.

“Sabar ya Ra. Aku akan menelpon dokter ke sini. Aku menyayangimu, Ra.” Air mata menyembul di sela-sela kelopak mata Riza. Aku sudah tak bisa lagi berkata-kata. Perlahan, kurasakan dingin yang sangat dingin di pangkal kaki. Kemudian dingin itu terus naik, semakin naik. Aku menggigil, sangat menggigil. Tuhan, apakah ini waktunya aku pulang? Melihat keadaanku seperti ini, tanpa disadari kudengar tangisan Riza membuncah. Suamiku tercinta mungkin akan sangat bersedih jika kehilangan aku, istri ketiganya. “Ra, Rara! Sabar ya sayang, sebentar lagi dokter datang. Rara!” Masih dalam dekap hangatnya, nafasku mulai tersengak-sengak.

Riza mungkin mengetahui keadaanku yang menandakan aku sudah tak sanggup lagi hidup. Maut kini menjelma, mungkin ini adalah akhir hidupku di dunia. Dengan suara yang parau, Riza menuntunku mengucapkan kalam-kalam Illahi. Tahlil dan Syahadat terus ia bisikan ke telingaku. Aku mengikuti perlahan hingga aku tak sanggup lagi bernafas, hingga tiba waktunya saat terpisah ruh dari jasadku. “Innalillahi wa innailaihi raaji’un.”

EPILOG…

“Rahma, apa yang sedang kamu lakukan?” Riza mendekati Rahma yang sedang berdiri di balik gordeng kamarnya.

“Tidak, aku tidak sedang apa-apa.” Jawabnya tanpa melirik Riza sedikit pun. “Mengapa selalu begini? Mengapa selalu begini, Ayah?!” Lanjut Rahma memeras-meras gordeng yang dipegangnya sambil menangis. Riza hanya bisa diam.

Ya! Mengapa selalu begini?! Bahkan Rahma putri tunggalku, putri dari isteri pertamaku menyadarinya. Setiap aku menikah, pernikahan itu tak pernah berlangsung lama. Selalu saja isteriku meninggal. Beruntung Rahma selamat saat isteriku melahirkan. Tapi ibunya tak terselamatkan! Apa aku tidak pantas untuk memiliki pasangan hidup?! Mungkin, aku tidak akan lagi mencari pengganti Rara. Biarkan Rara menjadi isteriku yang terakhir. Semoga semua isteri-isteriku tenang di alam sana. Aamiin.-Batin Riza menangis.

Catatan: tadinya mau dibuat cerita si Rahma anaknya itu mau dinikahi sama ayahnya. Tapi gaboleh ya? Haram ya? Ya sudah sampai sini saja hhe. *pusing*

Tulisan #Jumatulis ke-13 dengan keywords: Senja, Ikan, Diversifikasi, Rumput laut, Terumbu.

June 06, 2014

Jumatulis #12 Panen Lumpur Burung Kemarau Keringat - Maafkan Aku



Burung-burung berkicau di saat kemarau datang. Kulihat para petani sedang bermandikan sisa-sisa lumpur kebahagiaan di sawah. Di sana kulihat pula Bapak sedang duduk dipinggiran sawah, bercucuran keringat dan nampak kelelahan. Bapak menatapku dan aku menghampirinya. Nampak pula garis kerut menghiasi wajah tuanya. Dengan mata berkaca-kaca beliau berkata, “Nak, kita gagal panen!”

Aku berasal dari keluarga yang sederhana. Hidup bergantung pada hasil pangan dari sawah milik pak Haji Salim yang dititipkan kepada Bapak. Mendengar sawah Bapak gagal panen, aku sangat sedih. Tak bisa dibayangkan bila nanti pulang ke rumah, Ibu yang sangat mengharapkan hasil panen mengetahui hal seperti itu, apa yang akan terjadi?

Ibu yang selalu menuntut banyak pada Bapak, selalu saja merasa kurang saat panen tiba. Apalagi sekarang, gagal panen, apa yang akan Ibu lakukan pada Bapak? Semoga Ibu bisa mengerti. Semoga Ibu bisa menerima apa yang terjadi hari ini.

“Bu, hanya ini hasil panen kita hari ini.” Bapak memberi seember kecil beras hasil panen barusan. Ibu mengangkat alis. “Ini apa?” katanya sambil mengangkat ember itu. “Itu hasil panen kita bu, sawah kita gagal panen. Kemarau membuat kering sawah kita.” Kata Bapak menjelaskan semuanya. Namun, bukan pengertian yang Ibu berikan tapi hanya amarah yang keluar dari mulut Ibu.

“Bapak pikir kita ini ayam, apa? Beras segitu cukup untuk apa?!” Ibu melepaskan ember yang dipegangnya. Seketika, beras yang ada di ember bertebaran, berserakan. “Bapak ini, mau makan apa kita?!” Ibu pergi meninggalkan Bapak yang masih berdiri di pintu rumah. Aku hanya menangis melihat sikap Ibu pada Bapak. Bapak menghampiriku dan memelukku. “Nak, Bapak akan mencari tambahan untuk kita makan nanti ya. Jangan menangis.” Kata Bapak.

“Tuhan, hamba tahu bahwa ini yang terbaik dari-Mu. Ampuni isteriku yang khilaf tak mensyukuri karunia-Mu. Tuhan, mudahkanlah hambamu ini. Aamiin.” Dalam malam Bapak selalu memohon pada Tuhan yang Maha Kuasa. Air mata selalu membasahi pipi keriputnya. Dari sisi lain terdengar suara yang membuat Bapak marah saat itu juga.
“Percuma kamu terus berdo’a, Pak. Tuhan tak akan mengabulkan permohonanmu. Percuma kamu menangis seperti itu, Tuhan tidak akan menghapus air matamu.” Kata Ibu yang terbangun dari tidurnya. “Astaghfirullah Bu! Kamu bicara apa?! Istighfar!” hanya itu yang bisa Bapak ucapkan. Bapak tidak kuat lagi untuk mengeluarkan tenaga.
                
Aku hanya diam, menangis tak bisa berkata-kata apa lagi.  Aku hanya bisa melihat apa yang sering terjadi pada Bapak. Aku hanya bisa melihat Ibu yang terus mengeluh kepada Bapak. Maafkan aku Ibu, jika aku tidak cacat seperti ini mungkin aku bisa membantu Ibu, mungkin aku bisa membantu Bapak. Maafkan aku yang tak bisa berbuat apa-apa untuk Ibu dan Bapak. Maafkan aku.
                 
“Jika Tuhan mendengar do’amu, anak kita tidak akan seperti ini. Cacat mental, hanya bisa diam, menangis dan hanya merepotkan saja. Aku sudah tak sanggup mengurusinya.” Lanjut Ibu yang masih belum puas mencerca Bapak. Ingin aku membantu Bapak, ingin pula aku bertindak tapi, apa daya aku hanya si cacat yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Tuhan, maafkan Ibu, sabarkan Bapak. Aku hanya tidak ingin melihat semuanya selalu seperti ini. Dalam do’a yang tak ada seorangpun tahu, kumohon agar Engkau mengabulkan do’aku. Walau Ibu tak pernah tahu isi hatiku, tapi aku akan selalu memberikan do’a untuknya. Untuk Ibu dan Bapak tercinta.

June 02, 2014

Sempat Mencintaimu



Pagi yang sangat cerah. Secerah seragam baru, putih abu-abuku. Suasananya begitu indah, seindah hati yang hari ini akan segera menginjakan kaki di lingkungan yang baru.

Aku Reta Andita. Aku siswi baru yang akan menginjakan kaki di jenjang Sekolah Menengah Atas. Seperti biasa, diresmikannya aku dan juga siswa baru lainnya harus mengikuti MOPD dahulu atau Masa Orientasi Pendidikan Dasar. Selama satu minggu kami melaksanakan MOPD itu. Suasana baru, di lingkungan yang baru. Dan itu adalah satu event yang tidak pernah terlupakan. Mendapat kawan baru, kakak kelas killer tapi imut juga sih dan yang pasti dapat kecengan baru.

Sejak SMP aku tidak pernah ada niat untuk melirik satu orang lelaki pun. Dengan alasan tidak ingin berpacaran sebelum aku menyelesaikan sekolahku sampai aku lulus di perguruan tinggi nanti. Tapi kenyataannya, saat aku menginjakan kaki di jenjang SMA, dimana anak-anak bermetamorfosis menjadi remaja, disitulah aku mulai terkena satu virus yang dinamakan virus merah jambu atau virus cinta. Saat aku melihat matanya, terpancar cahaya indah yang sepertinya membuka pintu hati yang sebelumnya aku tutup bahkan terkunci rapat, sangat rapat. “ Eh Des, lihat cowok itu! Dia anak kelompok berapa? Kelas apa dia? ” tanyaku dengan berbisik pada Desi teman sekelompok saat MOPD itu. Dan, Desi langsung menjawab dengan singkat, padat dan sangat tidak jelas “ Anak kelompok satu, gak tahu dua, atau mungkin tiga. Hehe. ” dia nyengir kuda. “ Ah kamu, aku nanya serius juga! ” kesal rasanya karena aku tidak mendapatkan info siapa lelaki itu, lelaki yang telah menerobos masuk kedalam pintu hatiku. Saat ini, secepat ini.

Satu minggu berlalu, MOPD yang sangat menyenangkan itu menyimpan kesan tersendiri bagiku. Kesan yang berawal dari seorang siswa lelaki yang matanya indah bak malam bertabur bintang. Dan, sekarang adalah hari pertama dimulainya proses belajar mengajar.

Setelah selesai pelajaran, jam istirahat berbunyi. Aku dan temanku pergi ke kantin untuk membeli makanan. Saat di kantin, sepertinya ada hembusan angin yang ingin bermain-main denganku. Ia masuk kedalam telingaku dan membisikkan sesuatu kepadaku “ Lihat siapa yang duduk disebelahmu? ” tanpa sadar aku langsung menoleh kesebelah kanan tempat dudukku. Mataku menjadi sangat tajam melihat sosok yang memang selama ini aku cari semenjak pertama bertemu. Ya, siapa lagi kalau bukan lelaki yang telah menerobos masuk kedalam hatiku. Jantungku dag-dig-dug tak karuan, padahal kami hanya duduk bersebelahan saja. Entah apa yang membuatku begitu sangat terobsesi untuk mencari tahu siapa lelaki itu. “ Kali ini aku harus tahu, siapa namanya, kelas apa dan…” lamunanku dibuyarkan oleh Desi temanku, “ Retaaaa, jangan melamun woy.” Teriakan itu hampir memecahkan gendang telingaku. Aku hanya tersenyum malu saat itu. Saat aku tersadar, lelaki itu mulai pergi meninggalkan kantin dan ini adalah kesempatan yang tepat untuk mencari informasi. “ Eh Des, aku tinggal dulu ya. Ada urusan penting banget.” Aku langsung pergi juga dari kantin dan mengikuti lelaki itu. Setelah aku tau dia kelas apa, aku langsung pergi lagi dengan perasaan yang bahagia. Rasanya aku sedang menari-nari ditengah taburan bunga mawar merah yang harum wanginya.

“ Setidaknya aku tahu dia kelas apa. Kelas X1 dan aku X2. Ya Tuhan rasanya aku seperti mendapatkan satu takdir. Apa mungkin ini pertanda aku berjodoh dengannya? Ahh sudahlah Reta, jangan menghayal.”


Hari demi hari, aku semakin mendambakannya. Setiap aku melihatnya, selalu saja ada angin yang datang berhembus padaku, yang menggetarkan seluruh tubuhku. Namun sampai saat ini aku masih belum tahu siapa namanya. Aku belum berani bertanya pada siapapun untuk mengetahuinya, biarkan waktu yang menjawab segalanya.

“ Hmm, sudah sejauh ini aku belum tau namanya. Sepertinya aku harus cari tau sendiri supaya lebih bermakna kali ya.”

Entah mengapa, setiap aku melamunkan lelaki itu selalu ada Desi yang siap membuyarkan lamunan indah yang sedang aku nikmati. Katanya,  “ Entah mengapa, aku sering melihatmu melamun Reta. Kamu ada masalah? ” Desi berdiri disampingku didepan pintu kelas X2 itu. Akupun menjawab “ Dan entah mengapa pula, setiap aku melamun, selalu ada kamu yang membuyarkannya haha. GUKD lah Des!” Aku menyenggol Desi sambil tertawa pelan. “ GUKD? Apaan tuh?” Desi mengangkat alis kirinya. “ Gak Usah Kepo Deh, hahaha.” Aku langsung lari ke dalam kelas dan Desi mengejarku, “ Retaaa, nyebeliiiiinnnn.”

Bahagia itu mudah. Di lingkungan yang baru ini aku mendapat teman baru yang sekaligus sahabat baikku. Desi Wulandari, teman sekelasku dan duduk sebangku denganku. Aku bahagia memiliki sahabat seperti Desi walau kadang dia selalu saja mengganggu imajinasi yang aku rajut saat aku sedang melamunkan lelaki pujaanku. Tapi bersama dialah aku menghabiskan waktu. Saat senang maupun sedih, dia selalu ada waktu untuk mendengarkan curhatanku. Terimakasih sahabatku.


Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa aku akan menginjakan kaki di kelas XI. Aku bahagia karena aku masuk kelas IPA yang memang aku inginkan. Setelah libur semester selama tiga minggu, aku merasakan kehampaan. Tak ada Desi temanku, dan yang paling membuatku hampa adalah selama tiga minggu itu aku tidak melihat si pujaan hati. Tapi tak masalah, karena besok harus daftar ulang untuk menentukan kelas yang nanti didapat. Sehingga, semoga saja aku bertemu dengannya.

Senin, adalah hari yang sangat aku tunggu. Hari ini aku segera bergegas pergi ke sekolah untuk daftar ulang. Sepanjang perjalanan, aku terus membayangkan wajah sang dambaan hati. Sampai tak terasa aku hampir tiba di pintu gerbang sekolah. Aku segera masuk dan mencari tahu tempat daftar ulang jurusan IPA. Setelah aku tiba, tepat didepan pintu kelas XI IPA 1 terpasang nama-nama yang masuk di kelas itu salahsatunya adalah aku. Aku langsung masuk untuk melakukan daftar ulang. Setelah aku duduk di dalam kelas itu, aku menengok ke arah jendela dan disana ada sosok lelaki sang pujaan hati. “ Ya Tuhan, semoga dia mendapat kelas yang sama denganku. Aamiin.” Belum kering mulutku berbicara, lelaki itu masuk kedalam kelas yang sama. Dan, DEG! Dia duduk disebelahku. Oh My God! Apakah ini mimpi? Aku mencubit pipiku satu persatu. Aku refleks bicara sendiri disitu, “ Aww sakiit, ini bukan mimpi, bukan mimpi, ini asli.” Lalu tiba-tiba lelaki itu mengagetkanku dengan menepuk pundakku, “ Hei, kamu kenapa? Hehe.” Ya ampun, senyumnya sungguh menawan. Rasanya aku seperti keju yang dipanaskan, meleleh. Aku masih tak sadar, mataku terus saja memandang wajahnya. Dan, aku tak sadar pula saat dia menggibaskan tangannya didepan wajahku. “ Hey, hey, hey.” DEG! Aku mulai sadar bahwa aku telah lama menatapnya. Menatap mata indahnya. “Eh, hey. Maaf a.. aku, aku, maafkan aku.” aku menjadi sangat gugup saat itu. Dia membalasku dengan senyumnya yang menawan, lagi. “ Kamu lucu deh, gak apa-apa kok. Kamu kelas IPA 1 juga? Aku juga masuk kelas ini nih. Hehe.” Bibirku semakin membeku, rasanya Tuhan telah menuliskan permohonanku beberapa menit yang lalu. “ I..iya hehe, aku di kelas ini.” Belum lama saat kami berbincang, namaku dipanggil oleh salahsatu panitia daftar ulang. “ Reta Andita”.

“Eh maaf, aku kedepan dulu ya. Udah dipanggil nih.” Aku segera beranjak.

“Oh Reta? Iya silahkan.” Lagi lagi dia melemparkan senyumnya yang menawan itu.
( Ternyata Reta nama perempuan itu.)

Setelah aku selesai daftar ulang, aku segera duduk lagi. Belum aku bertanya pada lelaki itu, tapi dia langsung memperkenalkan dirinya. “ Aku Arfa, Arfa Kustia Hermawan. Salam kenal.”
Arfa Kustia Hermawan, nama yang selama ini aku tunggu. Setahun lamanya aku menantikan nama itu dan kini aku tau namanya langsung dari pemiliknya. Kali ini aku merasa semakin bahagia. Mungkin ini salahsatu keberuntunganku. Segalanya yang terjadi hari ini adalah sama seperti yang aku inginkan. Arfa, aku hanya tersenyum bahagia.

Seminggu kemudian, di kelas yang sama, aku menjadi semakin akrab dengan dia. Mulai dari ke kantin, mengerjakan tugas, bersenda gurau, kami selalu bersama. Desi, sahabatku. Kami tidak sekelas lagi. Dia mengambil kelas IPS namun kami tetap bertemu dan pulang bareng. Saat istirahat, dia datang ke kelasku. “ Retaaaaa, aku kangeeennn.” Teriakannya masih sama seperti dulu, hampir memecahkan gendang telingaku. “Aku juga kangen Des, hahaha. Kangen bully kamu.” Candaku. “Ahhh Reta tetap saja begitu, jahatnya minta ampun,hehe. Eh Reta, bukannya dia itu cowok yang kamu dambakan? Kalian satu kelas?? Oh My God!” lebaynya mulai keluar deh.

“ Desiiiii, berisik! Rasanya aku itu kayak dapet durian runtuh hehe.” Bisikku pada Desi.
“Iya Reta, keberuntungan sedang bersamamu. Oh ya, aku pulang duluan ya. Ayahku mau pergi ke luar kota jadi aku harus cepat sampai di rumah.”
“Yaaah, padahal baru ketemu. Yasudah salam ke Ayah sama Ibu yaa. Dari Reta yang cantik jelita, hehe.”
“Wuuuu, okedeh siap Retaaa keretaaa. Byeee.”

Bayangan Desi menghilang dari balik pintu kelasku. Saat aku menengok kebelakang, Arfa lagi lagi melemparkan senyumannya kepadaku. Aku langsung memalingkan wajah dan rasanya kembali seperti dilingkari oleh bunga mawar merah yang harum wanginya. Saat aku menengok lagi kebelakang, tiba-tiba Arfa sudah ada tepat dibelakangku.

“Ayooo, curi-curi pandang. Nih daripada curi-curi lebih baik pandangin langsung orangnya.” Arfa menyodorkan wajahnya tepat didepan wajahku. Jantung ini berdegup kencang bagaikan atlet marathon yang tidak ingin kalah dari lawannya, sangat kencang. “Arfaaa! Sudahlah jangan menggodaku.” Aku kembali duduk di tempatku.
“Reta, pulang bareng yuu.” Dia duduk dibangku kosong disebelahku.
“Eh? Bukannya jalan pulang kita berlawanan arah? hehe” aku kebingungan namun ada rasa senang juga.
“Oh iya aku lupa. Hehe. Atau bagaimana kalau hari ini kita pergi main saja?”
“Main kemana? Hehe.” Aku masih saja gugup
“Ikut saja denganku, aku tau kok tempat bagus di daerah ini. Ok?”
“Okedeh.”
Aku masih belum percaya, hari ini kau akan pergi dengannya.


Angin sepoi-sepoi menemani kami yang sedang berjalan di sebuah taman yang sangat terlihat asri. Dan aku baru sadar, taman ini terletak tidak jauh dari rumahku.
“Fa, ini jalan aku pulang loh.”
“Iya aku tau, hehe. Sekalian nganterin kamu pulang kan.”
“Hah? Kok kamu tau? Suka mata-matain aku yaaa, ayoo ngaku ayo ngaku.” Godaku
“Akhirnya ketahuan juga. Hehe.” Suasana menjadi sepi, kami duduk dulu disalahsatu kursi taman itu. Dan Arfa melanjutkan pembicaraan yang sepertinya ini amat serius. “Reta, sebenarnya aku suka sama kamu. Sejak aku melihatmu saat MOPD rasanya ada sesuatu yang beda darimu. Aku tak tau harus bagaimana saat itu. Kamu tau kan, saat itu kita baru melepas seragam putih biru bisa dibilang sih belum ada keberanian buat bilang kaya gini.” Aku hanya terdiam, aku teringat dulu saat MOPD akupun mulai menyukainya, mendambakannya bahkan menjadikan dia pujaan hatiku. Tuhan, apakah ini takdir-Mu?

“Reta, aku menyayangimu.” Arfa hanya tertunduk dan akupun begitu. Aku mulai menceritakan hal sama seperti apa yang Arfa alami. “ Fa, aku juga sama Fa.” Arfa tertegun mendengar ucapanku. Namun dia tak berani bertanya, aku lanjutkan ucapanku. “ Saat MOPD sampai kita daftar ulang itu, aku sangat terobsesi untuk mencari info tentangmu. Aku juga menyukaimu. Tapi ya hanya sekedar suka, tidak lebih.” Nampaknya ucapanku membuat Arfa termangu. “Reta, serius? Hahaha. Sampai segitunya, pantesan saat kelas X aku merasa kamu terus saja memperhatikanku. Tidak dari dekat, jauhpun begitu.” JLEB! Maksudnya apa?? Rasanya mulai ada burung menari-nari di kepalaku. Pusing melanda otakku. Malu rasanya, menyesal aku mengatakan itu pada Arfa. Wajahku memerah, kepalaku semakin menunduk dan terus menunduk seakan tenggelam di lautan yang sangat dalam. “Kamu kenapa Ret?” Arfa memegang wajahku dan mengarahkannya tepat di depan wajahnya. Aku sangat malu dan aku tak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba, air mataku menetes entah mengapa harus datang disaat yang tidak tepat seperti ini. Otomatis Arfa langsung mengusapnya dan wajahku semakin merah, malu. “Loh kok nangis sih Ret, aku salah ya?”

“Tidak Fa, kamu tidak salah. Aku hanya malu. Dan ingat ya, hanya sekedar suka!” kataku.

“Malu? Malu untuk hal apa? Sekedar suka? Tidak lebih kah? Tapi Reta, aku menyayangimu. Jika perasaanmu sama sepertiku, bolehkah aku jadi kekasihmu?” serangkai pertanyaan dia lontarkan. DEG! Inilah hal yang tidak ingin pernah aku alami. Rasanya bumi ini berada diatas kepalaku. Aku merasa sangat berat dan aku tidak bisa bergerak apalagi mengucapkan satu katapun sulit saat itu. Aku hanya bisa diam tanpa kata. “Reta… Reta… Reta.. kamu kenapa hey??!”

“Kekasih? Berarti kita akan pacaran?” jawabku gugup, sangat gugup.
“Ya, tentu saja. Aku dan kamu sama-sama cinta kan?!”
“Tapi aku tidak ingin pacaran Fa!” kataku sambil menunduk lesu.
“Me..mengapa?” katanya sambil memandang ke arah ku.
“Jika kamu ingin aku menjadi pacarmu, lebih baik kamu jangan mencintaiku.”
            
 Lalu aku pergi meninggalkannya. Acap kali ada seseorang yang ingin menjadi pacarku, aku selalu bersikap seperti ini. Bukan aku apa, tapi aku sudah berjanji hanya sekedar berteman saja. Itu sudah cukup dan membuatku bahagia. Sempat aku membayangkan, Arfa akan mengatakan satu hal seperti, “Aku akan menunggumu, Reta.” Namun bayangan itu hanya angan semata nyatanya dia hanya mengatakan, “Baiklah Reta, jika itu maumu aku takan memaksa. Terima kasih sudah membuatku sadar, bahwa kamu memang benar-benar mempermainkanku!” sakit rasanya mendengar ucapan itu. Aku tidak mempermainkanmu, Arfa. Sungguh tidak seperti itu.

Setelah kejadian itu, kami, aku dan Arfa menjadi sangat jauh. Dan saat itu pula aku mulai melihat perubahan yang sangat drastis pada dirinya. Aku sempat bertemu dengannya ketika hendak pulang dari sekolah. Seperti biasanya, aku pulang melewati taman. Di sana kudapati Arfa sedang asik mengobrol berduaan dengan seorang perempuan kelas sebelah, sembari rangkulan. Maksudnya apa?! Mereka masih memakai seragam dengan atribut sekolah, melakukan hal sedemikian rupa di tempat umum seperti ini. Aku merasa sangat malu. Bukan malu karena aku tak bisa bersama lagi dengannya. Tapi, aku malu karena sempat mencintainya. Mencintai orang yang jelas jelas tidak menjaga kehormatannya.

“Tuhan, cabutlah perasaanku padanya!” batinku ketika aku melewati mereka yang sedang asik berdua. Aku tak kuasa melihatnya. Bukan aku cemburu, tapi sekali lagi, aku malu karena mereka masih mengenakan atribut sekolah. Lalu, “Hai, Reta! Mengapa buru-buru? Mampir saja dulu ke sini.” Katanya dengan nada yang sangat tidak enak. Meremehkan. “Tidak. Terima kasih.” Lalu aku berlalu.

Tuhan, apa aku harus menutup kembali pintu hati ini seperti sedia kala? Menutup untuk mencintai seseorang sebelum waktunya? Ternyata, yang nampak dari luar belum tentu sama dengan yang di dalam. Apa jadinya jika aku menerima menjadi pacarnya? Apa aku akan melakukan tindakan buruk seperti tadi? Tuhan, terima kasih karena telah menunjukan semuanya. Terima kasih pula karena sudah menyempatkan aku mencintainya. Sehingga aku tau kebenarannya. “Aku akan tetap Istiqamah!” teriak batinku.