Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

October 12, 2016

Sosok Wanita dan Gemerciknya

Rintik air masih terdengar setelah hujan senja tadi. Suasana masih begitu gelap kala hujan reda. Mungkin memang sudah waktunya siang berganti malam, langit pun mulai menampakan warna mencekam bagi insan yang kesepian
"Ibu hanya pergi tiga hari, Ayahmu sedang sakit di sana." Kata Ibu sambil berlalu.

Ucapan itu berakhir dengan tertutupnya pintu rumah dan hilangnya sosok Ibu dari pandanganku. Kurasakan angin tiba-tiba berhembus dalam sepinya rumah yang baru saja ditinggalkan. Ibuku pergi untuk menemani Ayah yang sedang sakit di tempat dinasnya, di luar kota. Kini aku tinggal sendiri, ditemani gemercik sisa-sisa air hujan. Kumohon, bersahabatlah denganku wahai rumah yang sering kurasakan adanya kehadiran bayang semu seseorang.
"Ah, hanya perasaanku saja. Lebih baik aku pergi tidur." Ujarku. Aku langsung masuk kamar setelah mengunci semua pintu. Saat itu, jam dinding masih menunjukan pukul lima tepat. Aku memilih untuk membenamkan segala pikiran anehku dalam mimpi-mimpi di tidurku.

Belum lama aku memejamkan kedua mata, terdengar ada seseorang yang mengetuk di balik puntu. Kulihat ke luar lewat jendela kamar, ternyata masih hujan. Siapakah gerangan yang datang di saat hujan? Suara ketukan pintu itu semakin terdengar kuat. Aku semakin ketakutan. Aku masih belum beranjak dari tempat tidur, malah semakin kubenamkan tubuhku ini ke dalam selimut. Aku takut, Tuhan.

Kriiing. Suara ponselku berdering kencang, membuatku terpaksa keluar dari dalam selimut. Segera kuambil ponsel yang ada di meja belajar. Ada telepon.
"Hallo, ada apa?," kataku. "Ya ampun, maafkan aku! Aku buka sekarang." Lanjutku kepada seseorang yang sedang meneleponku itu.
Aku segera membuka pintu, entah mengapa, kuncinya mendadak macet. Butuh lima menit untukku membuka pintu itu. Klik. Akhirnya, pintu terbuka.
"Aku kedinginan!" Katanya. Kulihat wajahnya begitu pucat. Entah nampak seperti orang sakit atau orang kedinginan. Namun tatapannya begitu dingin dan kosong.
"Maafkan aku! Ayo masuk!" Balasku, sambil menunduk-nundukan kepala, meminta maaf.
Sosok itu, Nita namanya. Teman sekelasku yang sengaja kupanggil untuk menemaniku di rumah selama Ibu tidak ada. Tubuhnya basah kuyup. Dari pangkal rambutnya terus meneteskan air. Melihat itu semua, aku segera menuju kamar untuk membawakannya handuk. Kamarku ada di lantai atas. Ketika kumenaiki anak tangga, kulihat Nita masih diam, tubuhnya menggigil. Dia menyilangkan tangannya ke dadanya. Ah Nita, maafkan aku.

Aku membuka pintu lemari yang sedikit menjulang itu. Kuambil handuk dan baju tidur untuk Nita. Belum sempat aku menutupnya kembali, aku mendengar ada sesuatu yang mnggebrak di luar jendela. Brakk! Sejurus kemudian, tubuhku berbalik ke arah jendela kamarku itu. Gordeng yang masih terbuka, sangat jelas memperlihatkan langit yang amat gelap mencekam. Rintik hujan masih membasahi tanah-tanah alam. Di tepi jendela, kumelihat sekitaran jalan, tidak ada apa-apa. Tapi tunggu, sesaat kumelihat ada sosok hitam melintas di depan mataku. Bukan, itu hanya bayangan angin. Tapi, kumerasa bayangan itu mengawasiku. Sebelum pikiranku berpencar kemana-mana, kufokuskan kembali untuk segera memberikan handuk ini kepada Nita. Kutinggalkan segala resah yang kulihat di luar jendela tadi.
"Nita, Nita," aku memanggilnya, dia tidak ada di tempat tadi, "dia pergi kemana?" Kulanjutkan mencarinya. Barangkali dia pergi ke kamar mandi. Pikirku dalam hati.
"Rosi, mana handuknya?" Suara itu mengagetkanku. Nafasku tersengah, mengapa Nita muncul di belakangku?
"Ya ampun, Nita! Kau mengagetkanku. Ini handuknya," aku menyodorkan handuk dan baju tidur, "dan ini baju ganti. Kau habis dari mana?" Tanyaku padanya.
"Dari toilet." Jawabnya singkat. Nita langsung pergi meninggalkan aku seorang diri. Mungkin Nita pikir, tak usah mengajakku ke kamar mandi pun. Untuk apa? Sejenak, aku kembali teringat sosok bayangan hitam tadi. Namun, bagiku hal itu sudah sering terjadi. Rumah ini sedikit membuatku takut jika sedang sendiri. Kuharap, semua akan baik-baik saja.

Aku pergi ke dapur, untuk menyiapkan makan malam. Nita yang sudah rapi dengan baju tidurnya pun ikut membantuku memasak. Kuharap Nita tidak marah. Kami memasak ramen kuah, dengan level paling hot ditambah toping udang dan bakso diatasnya. Gemercik hujan masih enggan pergi. Menambah suasana mencekam, di malam yang jelas tak berbintang.
"Nita, kau tak marah kan?" Kumemulai perbincangan yang sedari tadi membisukan ruangan ini.
"Tidak. Ayoo, ramennya sudah makan. Mari makan!" Katanya, sambil membawa semua hidangan ke meja makan. Syukurlah, Nita memang teman yang baik.
Di ruang makan, kami hanya berdua. Terdengar ranting pepohonan yang tertiup angin menubruk kaca jendela. Selain itu, terdengar pula suara gemercik air dari bawah meja makan. Aku menurunkan kepalaku ke bawah meja. Tak ada apa-apa. Dari mana suara gemercik itu berasal? Kulihat Nita sedang asik menyantap ramen yang asapnya masih mengepul. Rambutnya terlihat masih basah. Dia benar-benar kedinginan.
"Setelah makan, aku mau langsung tidur ya, Ros." Kata Nita. Dia setengah merebahkan badannya di kursi. Mangkok ramennya masih penuh, kukira dia akan menghabiskannya. Aku mengeryit, bukankah dia tidak suka sepertu itu? Sudah makan langsung tidur, dia tidak begitu. Ah tapi, mungkin dia sangat lelah, pikirku.
"Baiklah." Jawabku, sambil menghabiskan sisa ramen di mangkok.

Seusai makan, kami langsung pergi ke kamar. Nita langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Aku tidak langsung tidur, tapi aku membuka dulu laptop untuk sekedar menonton film. Beberapa menit kemudian, ketika durasi film ada di menit ke dua puluh lima. Ketika mataku sedang fokus menatap layar monitor. Tiba-tiba ada yang melintas dibelakangku. Aku melihatnya dari monitor laptopku. Aku langsung berbalik, namun hanya Nita yang kulihat sedang tertidur pulas di sana. Entah mengapa, aku menjadi takut. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menyelesaikan film itu. Aku pun segera beranjak dan pergi ke tempat tidur. Kubenamkan tubuhku di dalam selimut. Gelap.

Suara itu terdengar lagi. Suara gemercik air yang seharusnya membuat ketenangan, mendadak berubah, malah membuat ketakutan. Aku tak berani keluar dari balik selimut. Aku terus menenggelamkan diri. Kudengar nafas Nita yang sedang tidur, berhenti.
"Rosi. Kamu kenapa?" Syok! Tiba-tiba aku dikagetnya oleh suara Nita.
"Tidak, Nita. Aku tak bisa tidur." Jawabku masih di dalam selimut.
Nita tidak bersuara lagi. Dasar tukang tidur. Dia pasti melanjutkan kembali mimpi-mimpinya. Apa Nita tidak mendengar suara gemercik air itu? Itu bukan gemercik hujan, bukan pula gemercik air keran di kamar mandi. Itu suara gemercik air yang aneh. Suaranya begitu dekat, namun entah berasal dari mana. Tuhan, lindungi aku. Dan hingga akhirnya, aku bisa menutup mata untuk merajut mimpi.

Mungkin hanya sebentar saja aku tertidur, mataku terbuka kembali. Kulihat waktu menunjukan pukul 23.45 WIB. Ini malam Sabtu, tapi mengapa suasananya seperti malam Jum'at Kliwon? Kulirik lagi ke arah Nita, dia masih tidur. Tapi aku tak bisa melihat wajahnya. Dia pun sama, membenamkan tubuhnya di balik selimut. Hanya rambut panjangnya saja yang kulihat sampai terurai ke luar ranjang.
Tunggu! Aku baru menyadari sesuatu. Mengapa rambut Nita panjang? Bukankah kemarin yang kulihat di sekolah, rambut Nita itu hanya sebahu, seperti karakter Dora The Explorer? Tidak, tidak, tidak. Pikiranku mulai menggila. Kuberanikan diri untuk memastikan bahwa itu memang rambut Nita. Aku beranjak dari tempat tidur, melangkah pergi ke sisi ranjang searah dengan Nita. Tiba-tiba langkahku terhenti. Basah. Aku menginjak lantai basah. Kuarahkan pandanganku mengikuti arah air yang membasahi lantai itu.
Betapa tersentaknya jantungku, kulihat air itu berasal dari ujung-ujung rambut panjang Nita. Sedari tadi, gemercik air itu berasal dari ujung rambut Nita. Kini, air itu semakin deras mengalir dari rambutnya yang terurai ke lantai. Kakiku gemetar, tak bisa bergerak. Aku menelungkupkan telapak tangan di atas mulut yang menganga. Tidak percaya. Mataku terbelalak ketika sosok di balik selimut itu bangun. Jantungku semakin berdegup kencang, nafasku menderu tak karuan. Kurasakan air yang kuinjak menjadi terasa kental. Aku menundukan pandanganku. "Aaaaaaaaaaak!" Aku tak kuasa berteriak, menutup mataku dan menangis ketika melihat yang kuinjak adalah sesuatu yang terlihat seperti darah. Kakiku kaku, tak bisa digerakan. Sosok itu masih tertutupi selimut. Namun perlahan selimut itu turun, membiarkan sebagian wajah sosok itu terlihat. Matanya kosong. Hitam tanpa ada bola mata di dalamnya.

Tuhan, aku takut! Bibirku terus bergetar, sekedar untuk mengucap do'a pun rasanya sulit. Mataku tak bisa kupejamkan. Seakan aku harus melihat sebenarnya siapa sosok yang ada di tempat tidurku itu.
Sosok tanpa bola mata itu perlahan menuju ke arahku. Aku yang masih berdiri terpaku di tepi ranjang. Air mata terus mengalir membasahi pipiku. Tenggorokanku panas, rasanya ingin berteriak namun tak bisa.
Sosok itu semakin mendekat. Aku semakin ketakutan. Matanya hitam, rambutnya panjang masih terurai dan terus mengeluarkan air. Gemercik itu terdengar menakutkan. Dengan cepat, mata sosok itu ada dihadapanku. Menatap mataku dari jarak dua senti meter. Tak lama kemudian, matanya mengeluarkan darah. "Aaaaaaaaaaaaaaaaak!" Teriakanku tak bisa kubendung hingga akhirnya aku terkulai lemas, pingsan.

Sinar mentari menyorot ke arah mataku. Aku terbangun dengan badan yang kurasa begitu berat. Aku tertidur di lantai, samping tempat tidur. Tubuhku lemas, nafasku naik turun. Apakah tadi malam hanya mimpi? Tapi tidak! Itu bukan mimpi, ada bekas darah di kakiku ini. Alarm ponselku menyala. Kuraih dengan sisa tenaga yang kupunya. Terpampang dengan jelas ada pesan dari Nita di situ.

Thursday, 05:15 PM
Rosi, maafkan aku. Aku tak jadi menginap di rumahmu. Ibuku sakit. Maafkan.

Pesan dari Nita, bersamaan dengan datangnya sosok yang menyerupai Nita. Tak kusadari air mata ini mengalir, mengingat sosok menakutkan tadi malam. Kuputuskan untuk tak bercerita pada Nita. Dan selama Ibu tidak ada, aku menginap di rumah Nita. Semoga, sosok wanita menyeramkan itu segera hilang dari bayanganku.

October 01, 2016

Hallo, October!

Selamat pagi, hari Sabtu yang sedikit mendung. Hari ini awal bulan yang kuharap bisa menjadi lebih baik lagi. Angin semilir menyentuh kulit, menusuk tulang yang tak sempat kulindungi. Semoga hari ini menjadi pelopor akan segala kebaikan.

Aku ingin bercerita tentang seseorang yang benar-benar kukagumi namun entah bagaimana awalnya, aku bisa setertarik itu.
Dia biasa saja, senyumnya tersimpul indah, tertawanya sungguh renyah, dan matanya menyorot tajam. Dia tak terlalu tinggi untuk ukuran lelaki, tapi dia masih pantas untuk ikut tim basket jika dia mau. Tapi bukan soal itu, aku kagum pada sifatnya, sifat ramah dan tulus kepada semua orang. Aku menyukainya.

Baiklah, saat itu hujan rintik tak henti-henti. Aku berteduh di shelter bis yang kaca-kacanya sudah tak beraturan. Angin dan hujan, riuh saling bertebaran. Pun debu yang mengering kini mulai basah oleh hujan. Saat itu tanggal 01 Oktober 2015, awal bulan yang basah. Gemercik indah kini mulai menghiasi kaca penuh debu nan usang.

"Syifa?"
"Ya?"
"Hallo, apa kabar? Kamu sedang apa?"
Tunggu, apa aku mengenalnya? Rasanya wajah ini sudah pernah kurekam dalam pikiran. Aku masih termangu melihat wajah teduhnya.
"Hei! Aku Reno, lulusan SMAN 6, kakak kelasmu. Ya ampun." Katanya menjelaskan tanpa kuminta.
"Ya Ampun, Kak Reno? Haha. Pangling Kak. Maaf." Jawabku, salah tingkah.
"Pangling? Jadi makin ganteng ya?" Katanya sambil tertawa. Tak bisa kupungkiri, senyum dalam tawanya selalu indah.
"Iya. Selalu ganteng. Haha." Balasku.
Lalu kami mengobrol, mengenang masa SMA dulu.

Saat SMA, kami tidak terlalu dekat, hanya saja kami kenal karena kami satu organisasi. Dia ketua OSIS dan aku hanya anggota yang tidak tahu diri. Bagiku, dia ketua yang sangat bijaksana. Namun entah mengapa, aku selalu menolak program-programnya, dengan alasan tidak sesuai dengan kondisi sekolah. Maka berdebatlah aku dengannya. Sampai berujung dengan tangan kepala sekolah. Ya, dulu semua warga sekolah memanggil kami, Kak Reno dan aku, Cat And Dog, tidak pernah akur.

"Kamu maunya apa?!" Tanya Kak Reno, matanya tajam, berkacak pinggang.
"Kak, kalau program tuh yang realistis dong! Masa siswa disuruh liburan panjang! Bukan waktunya!" Jawabku.
"Ini bukan liburan! Tapi ini sebagai ajang untuk menurunkan keagresifan pihak sekolah, ingat itu!" Balasnya, masih dengan nada yang tinggi.
"Demo? Untuk apa? Memangnya seluruh siswa di sekolah ini mau mengikutinya?" Timpalku lagi.
"Syifa, saya hargai semua pendapatmu. Tapi untuk kali ini, jadilah angota yang patuh. Saya dan pengurus akan tetap menjalankan program itu!" Katanya sambil berlalu.
"Sudahlah, kalian selalu saja ribut. Nanti berjodoh, loh!" Celetuk kak Serli, pengurus OSIS juga.
Aku pun pergi dengan senyum sinis kepada orang-orang berorganisasi itu.

Mungkin, masih banyak lagi yang sering aku debatkan dengan pengurus, terlebih dengan Kak Reno. Sampai suatu ketika, aku dibuat hampir mati karena programnya. Kami menyebutnya diklat. Saat angkatan Kak Reno akan lengser dari jabatan, maka kini angkatan aku yang akan dilantik sebagai pengurus baru.

Jujur, aku tidak suka berada di tempat gelap dengan mata tertutup syal. Jika seperti itu, aku akan langsung pusing bahkan pingsan. Seperti yang Kak Reno lakukan padaku, hanya kepadaku. Saat aku disuruh memasuki salah satu pos diklat, di ruangan gelap, aku disuruh memakai penutup mata. Yang benar saja! Hal ini sudah pernah terjadi, aku diperintahkan seperti itu saat awal berorganisasi dan tak lama kemudian aku pingsan tak kuat menahan pusing. Dan kini dilakukan lagi?!

Mungkin, niat mereka untuk menguji mental kita. Tapi bagiku mereka keterlaluan, memakai kelemahan untuk melakukan hal yang tidak wajar. Rasanya saat itu aku seperti disekap. Ruangan gelap dan mata ditutup jelas itu sangat menakutkan. Jendela pun semua tertutup rapat, hanya udara dingin yang kurasakan karena saat itu pukul dua dini hari.
Aku diperintahkan untuk berdiri, menjawab semua pertanyaan. Aku tahu, ada Kak Reno di sana. Suaranya sangat jelas ketika dia berkata "sekuat apa mental pemberontak ini" dan kalimatnya itu sangat membuatku terpukul.

Tak ada sandaran dan tak ada benda yang bisa kupegang ketika kepalaku mulai pusing berputar-putar. Keringat dingin mulai bercucuran. Aku mengangkat tangan dan bilang, "Kak, saya pusing." Namun dihiraukan, malah terus menanyaiku segala pertanyaan. Aku tidak sanggup lagi, ketika Kak Reno yang kini bertanya, sudah tak bisa kujawab lalu aku jatuh tersungkur, pingsan.
Saat tersadar, aku sudah berada di rumah. Kukira aku tidak akan bangun lagi. Saat itu, aku dilarang Ibu untuk ikut Organisasi. Tapi, tetap aku jalankan, hingga akhirnya aku dilantik pula sebagai pengurus.

Oh ya, saat pelantikan, jabatan Kak Reno jatuh kepadaku. Banyak yang memilihku saat pencalonan Ketua OSIS dulu. Bendera kini diserahkan kepadaku. Jemari Kak Reno masih kuingat, gemetaran. Lalu dia berkata, "Kami memilihmu karena kami yakin, kamu mampu. Maafkan aku." Katanya sambil kembali ke tempat. Entah minta maaf untuk apa, yang pasti aku juga meminta maaf padanya. Dan saat itu, Kak Reno kelas tiga, mulai fokus untuk Ujian Nasional. Sesekali kami mengobrol hanya untuk menanyakan kabar organisasi.

Tepat saat tanggal ulang tahunku, Kak Reno memberiku sebuah hadiah. Di depan banyak anggota dan pengurus OSIS. Semacam acara-acara katakan cinta sebuah stasiun TV lokal. Tapi, bukan untuk menyatakan cinta. Dia hanya datang lalu memberiku hadiah itu dan pergi lagi. Saat itu aku sedang memberikan materi kepada anggota kelas satu. Malu.
Sontak semua yang berada di kelas, memintaku untuk membuka hadiah itu. Apa daya, kubuka saat itu juga. Tahu kah apa isinya? Buket bunga mawar merah dari pita dan kotak musik yang sangat indah. Serentak satu kelas berucap "ciyeeeeee" membuatku malu, salah tingkah.
Maksudnya apa?!
Dan sampai sekarang, hal itu menjadi sebuah misteri, aku tak pernah bertanya dan dia pun tak pernah menjelaskan. Sampai hari kelulusan pun, kami seperti biasa saja. Kak Reno sudah lulus dan melanjutkan kuliah. Sejak saat itu kami tak pernah lagi komunikasi.
..……………………………………
"Dari mana Kak?" Tanyaku pada Kak Reno setelah kami asik bernostalgia saat SMA.
"Ini, hehe, ini nganter ke sekolah." Jawabnya kaku.
"Siapa, Kak?" Tanyaku lagi.
"Anakku. Hehe." Jawabnya singkat.
"Waaaah, kapan nikahnya? Gak ngundang-ngundang nih ah, tau-tau udah punya ekor." Keluhku padanya.
"Maklum, Fa, dijodohin ortu sama orang kampung. Gak rame-rame, ya gitu lah." Katanya.
"Hmmm, yasudah kak, tak apa. Pokonya sehat selalu ya anaknya, istrinya, kakak juga, lancar segalanya." Harapku padanya.
"Aamiin, Syifa, semoga kamu juga dimudahkan segalanya ya! Aamiin." Balasnya.
"Aamiin. Eh Kak, aku duluan ya, bisnya sudah datang, mari, Assalamu'alaikum." Pamitku padanya dan rintik hujan pun kian berhenti.
"Wa'alaikumussalam." Jawabnya. Dan sekaligus ucapan terakhir dari mulutnya. Senyumannya masih tetap sama. Tak ada yang berubah. Eh, suuuut, dia sudah menjadi suami orang.

Tidak disangka memang, seseorang yang kutunggu, ingin kunanti maksud hadiah yang dulu dia berikan, sekarang sudah bersama, bertemu dengan jodohnya. Ah sudahlah, hadiah itu kuanggap hadiah biasa, penghargaan atas apa yang kulakukan di organisasi waktu SMA dulu. Bis pun melaju, mengantarkan hati yang sudah lagi tak menunggu harapan semu.

Itulah, cerita seseorang yang begitu kukagumi. Mungkin sampai detik ini masih kukagumi, karena dia sudah merelakan perasaannya untuk membahagiakan dan menuruti perintah orangtuanya. Semoga keberkahan selalu terlimpah untuk kita semua. Aamiin.