Senja telah menyerahkan diri pada keperkasaan langit malam. Sudah
saatnya bulan bersama kawanan bintang yang berhak menghiasi hamparan
langit maha luas dengan berjuta keindahan.
Terdengar suara burung hantu sebagai lagu kegelapan malam.
Angin pun tidak mau ketinggalan, hembusannya terasa menusuk tulang setiap insan.
"Bu, Ima takut." Gadis kecil itu memeluk erat Ibunya.
"Tidak apa-apa, sayang. Semoga malam ini tidak akan terjadi
sesuatu." Ucap sang Ibu sembari menatap langit penuh hamparan bintang.
Riuh rendah suasana tempat ini. Banyak orang yang berteriak kesakitan, menangis dengan penuh segala pengharapan.
Jika diberi pilihan, mereka semua meminta lebih baik mati dari pada harus terus menerima dan merasakan penderitaan.
"Bu, kapan kita pergi dari sini?" Tanya Ima, lagi.
Ibunya hanya tersenyum kaku. Lidahnya kelu tak bisa berucap kata lagi.
"Ibu lihat! Ada yang meninggal Bu. Ima takut." Gadis itu terus merengek lalu bersembunyi di balik tubuh ibunya.
Acapkali dia melihat hal yang mengerikan, mulutnya tidak pernah
berhenti merengek. Namun Sang Ibu tidak pernah menggubris ucapannya.
Dengan penuh kehampaan, Sang Ibu mengajak Ima untuk segera tidur.
"Sayang, pekat malam sudah terasa dan sudah saatnya kita tidur
sejenak untuk menghilangkan penat." Kata Ibu yang sejurus kemudian
membaringkan tubuhnya yang mulai renta.
Ima tak lagi bersuara. Ia mengikuti apa yang ibunya perintahkan.
Dengan alas tidur seadanya, serta beratapkan langit kelam, mereka
berdua mulai masuk ke alam bawah sadar. Berharap dapat merajut mimpi
indah takan terlupakan.
Embun pagi masih menebal di dedaunan, ranting, dan tanah. Pekatnya kabut masih menemani dinginnya pagi.
Dalam pikiran satu insan, di tempat ini, hanya tertuju pada hal yang mungkin bisa membuatnya keluar dari penderitaan.
"Aku berharap, malaikat maut mendekat padaku. Saat ini juga!!!" Ucap salah satu bapak paruh baya di tempat itu.
Namun, tak ada respon yang menanggapinya. Hanya kemelut kesedihan menjadi jawaban dari semua keadaan.
"Ibu, apa kita akan selamat?" Tanya Ima yang tak pernah bosan
mengajukan berjuta pertanyaan pada Ibu sang pelindung kehidupannya.
"Pasti sayang! Berdo'alah agar Tuhan segera menurunkan pertolongan!" Jawab sang Ibu lirih.
"Lebih baik kau tidur lagi, Nak! Biarkan tubuhmu merasakan keadilan
setelah kehidupanmu yang tak merasakannya." Sambung Ibu yang belum
merubah posisinya.
"Apa kaki Ima akan sembuh, Bu? Apa kaki Ima bisa normal kembali?" Kini pertanyaan Ima semakin membuat hati Ibunya menangis.
Tak kuasa berkata, Ibunya hanya menjawab dengan linangan air mata.
"Mengapa Ibu menangis?" Tanya Ima sambil mengusap air mata ibunya.
Ibunya tersenyum dan kemudian memeluk anak semata wayangnya.
"Tidak apa-apa, sayang. Kau pasti sembuh!" Ibu menjawabnya dengan sangat berat hati.
Melihat anak gadisnya yang baru berusia sembilan tahun itu, batinnya
menjerit. Tidak mungkin kaki anaknya itu bisa normal kembali.
Bencana alam lima hari yang lalu telah memporak-porandakan segala yang ia punya.
Rumah, keluarga, harta termasuk kaki anaknya yang tertimpa pohon
besar dekat rumahnya. Dan itu membuat anaknya tak dapat berjalan.
Bahkan, saat ini pun belum ada Tim Penolong yang datang. Desa mereka
terpencil, bahkan listrik pun bergilir penyalaannya. Semua habis
dihantam bencana alam. Kini mereka hanya bisa pasrah menerima keadaan.
Bahkan mereka akan tetap sabar dan tabah hingga ajal datang menjelang.
#LatihanNulis #2-Ajal | @ndehyaminaris | ndehyaminari.blogspot.com
Allah tidak menjanjikan hidup ini mudah, tapi Allah berjanji bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan!
August 19, 2014
August 11, 2014
#Buku - Salah Jatuh Hati
Jakarta
Panas
terik mulai merayapi tubuh mungil Rima. Dengan napas tersengak dan menenteng
begitu banyak buku, Rima terus berlari menuju arah Bandara Soekarno-Hatta.
Belum sampai di pintu masuk, tiba-tiba seorang pemuda menabrak Rima dari arah
yang berlawanan. Brukkkss~
“Eh maaf Mbak, maafkan saya.”
Kata pemuda yang menabrak Rima tersebut. Seorang pemuda yang gagah dan nampak
belia.
“Oh iya, tidak apa-apa Mas.” Kata
Rima sambil membereskan buku-bukunya yang jatuh.
“Biar saya bantu!” kata pemuda
itu.
“Terima kasih.” Ucap Rima
padanya.
Setelah
buku-buku itu selesai dirapikan, Rima pergi berlalu dari hadapan pemuda itu.
Betapa tergesa-gesanya seorang Rima hingga iya melupakan sesuatu.
Tanpa disadari pemuda itu telah
lama menatap Rima hingga sosok bayangannya menghilang dari pandangannya. Begitu
sempurnanya ciptaan Tuhan, sampai mata ini tak mampu berkedip karena keindahan
perempuan itu.
“Cantiknya! Sayang aku belum tahu
namanya.” Kata sang pemuda sambil berlalu dari dari tempat itu. “Semoga aku
bisa bertemu lagi dengannya.” Ujarnya dalam hati.
Saat pemuda itu beranjak pergi, ia
menemukan sesuatu yang tidak lain dan tidak salah lagi adalah milik Rima. Nampak
terkejut terlihat dari raut mukanya. “Oh, namanya Rima.” Dingin.
<><><><><><><><>
Bandung
Rima
nampak gusar. Wajah mungilnya terlihat sangat cemas. Tidak ada wajah yang
begitu sangat sedih kecuali wajah Rima saat ini.
“Maafkan aku! Maafkan aku! Mungkin
aku menjatuhkannya saat menuju bandara kemarin. Maafkan aku!” Rima terus
menitikkan air mata karena telah menghilangkan salah satu barang berharga dalam
hidupnya.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti kita
bicarakan lagi ya. Acaranya hampir dimulai.” Lelaki yang berada di samping Rima
mencoba menenangkannya.
“Baiklah.” Kata Rima lemas,
berharap keajaiban datang padanya.
Ramai. Suasana
hari itu sangatlah ramai. Tapi tidak dengan Rima, raut wajahnya masih penuh
dengan kesedihan. Dalam hati, dia terus saja memarahi dirinya karena
kecerobohan yang dilakukannya.
Tamu berdatangan silih berganti,
sampai tiba di mana Rima terkejut dengan kedatangan tamu yang satu ini. Ya. Pemuda
yang pernah dia temui di bandara kemarin.
“Bukankah Anda yang membantu saya
merapikan buku?” kata Rima sedikit kaget, pemuda itu hanya tersenyum.
“Kau mengenalnya?” kata lelaki
yang berada di samping Rima.
“Dia membantuku saat terjatuh
kemarin.” Kata Rima.
“Maafkan aku. Aku tidak sengaja
menabraknya saat di bandara kemarin, Yo.”
Kata pemuda itu.
“Ohh jadi kamu, Rik?! Haha kebetulan
sekali. Ini isteriku, Rima. Yang pernah aku ceritakan di Jakarta. Makasih ya
sudah datang di acara syukuran kami ini.”
“Iya Yo, aku sudah tahu. Hahaha.”
Yopi dan Rima tertegun melihat
tingkah pemuda yang bernama Riko dan
ternyata adalah teman Yopi juga. Yopi adalah suaminya Rima.
“Kamu kenapa, Rik?” Tanya Yopi.
“Maaf Yo, aku kemarin menemukan
ini. Mungkin terjatuh saat aku menabrak Rima.” Lalu Riko mengeluarkan sesuatu
dari dalam tasnya. Diperlihatkanlah barang itu pada Rima dan Yopi.
Tiba-tiba, Rima terlihat sangat
bahagia setelah mengetahui Rikolah yang menemukan barangnya itu.
“Ya ampun, terima kasih ya Riko. Aku
kira buku nikahku hilang” kata Rima berseri-seri.
“Iya sama-sama. Oh ya, selamat ya
untuk kalian berdua. Hehe.” Kata Riko menepuk-nepuk pundak Yopi.
“Sekali lagi makasih ya Rik. Sejak
kemarin isteriku sangat khawatir sekali. Okelah silakan dinikmati hidangannya.”
Kata Yopi mempersilakan.
“Oke, oke, sip!” jawaban Riko
yang sangat singkat. Kemudian ia berlalu dari pandangan temannya itu.
Keinginanku memang terkabul, aku bisa
bertemu lagi dengannya. Dengan perempuan yang cantik mempesona, Rima. Tapi, Buku Nikah
miliknya telah mematahkan hatiku.
Apakah ini pandangan pertama, atau mungkin ini adalah cinta pertama? Namun,
semua itu bukanlah untukku. Ah sudahlah! Jika dia bukan isteri dari temanku,
dan jika dia belum menikah pula mungkin aku akan jatuh cinta padanya. Batin
Riko. *salah jatuh hati*
Subscribe to:
Posts (Atom)