Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

August 19, 2014

#Ajal - Menanti Kematian

Senja telah menyerahkan diri pada keperkasaan langit malam. Sudah saatnya bulan bersama kawanan bintang yang berhak menghiasi hamparan langit maha luas dengan berjuta keindahan.

Terdengar suara burung hantu sebagai lagu kegelapan malam.
Angin pun tidak mau ketinggalan, hembusannya terasa menusuk tulang setiap insan.
"Bu, Ima takut." Gadis kecil itu memeluk erat Ibunya.
"Tidak apa-apa, sayang. Semoga malam ini tidak akan terjadi sesuatu." Ucap sang Ibu sembari menatap langit penuh hamparan bintang.

Riuh rendah suasana tempat ini. Banyak orang yang berteriak kesakitan, menangis dengan penuh segala pengharapan.
Jika diberi pilihan, mereka semua meminta lebih baik mati dari pada harus terus menerima dan merasakan penderitaan.
"Bu, kapan kita pergi dari sini?" Tanya Ima, lagi.
Ibunya hanya tersenyum kaku. Lidahnya kelu tak bisa berucap kata lagi.
"Ibu lihat! Ada yang meninggal Bu. Ima takut." Gadis itu terus merengek lalu bersembunyi di balik tubuh ibunya.
Acapkali dia melihat hal yang mengerikan, mulutnya tidak pernah berhenti merengek. Namun Sang Ibu tidak pernah menggubris ucapannya. Dengan penuh kehampaan, Sang Ibu mengajak Ima untuk segera tidur.
"Sayang, pekat malam sudah terasa dan sudah saatnya kita tidur sejenak untuk menghilangkan penat." Kata Ibu yang sejurus kemudian membaringkan tubuhnya yang mulai renta.

Ima tak lagi bersuara. Ia mengikuti apa yang ibunya perintahkan.
Dengan alas tidur seadanya, serta beratapkan langit kelam, mereka berdua mulai masuk ke alam bawah sadar. Berharap dapat merajut mimpi indah takan terlupakan.

Embun pagi masih menebal di dedaunan, ranting, dan tanah. Pekatnya kabut masih menemani dinginnya pagi.
Dalam pikiran satu insan, di tempat ini, hanya tertuju pada hal yang mungkin bisa membuatnya keluar dari penderitaan.
"Aku berharap, malaikat maut mendekat padaku. Saat ini juga!!!" Ucap salah satu bapak paruh baya di tempat itu.
Namun, tak ada respon yang menanggapinya. Hanya kemelut kesedihan menjadi jawaban dari semua keadaan.

"Ibu, apa kita akan selamat?" Tanya Ima yang tak pernah bosan mengajukan berjuta pertanyaan pada Ibu sang pelindung kehidupannya.
"Pasti sayang! Berdo'alah agar Tuhan segera menurunkan pertolongan!" Jawab sang Ibu lirih.
"Lebih baik kau tidur lagi, Nak! Biarkan tubuhmu merasakan keadilan setelah kehidupanmu yang tak merasakannya." Sambung Ibu yang belum merubah posisinya.
"Apa kaki Ima akan sembuh, Bu? Apa kaki Ima bisa normal kembali?" Kini pertanyaan Ima semakin membuat hati Ibunya menangis.

Tak kuasa berkata, Ibunya hanya menjawab dengan linangan air mata.
"Mengapa Ibu menangis?" Tanya Ima sambil mengusap air mata ibunya.
Ibunya tersenyum dan kemudian memeluk anak semata wayangnya.
"Tidak apa-apa, sayang. Kau pasti sembuh!" Ibu menjawabnya dengan sangat berat hati.

Melihat anak gadisnya yang baru berusia sembilan tahun itu, batinnya menjerit. Tidak mungkin kaki anaknya itu bisa normal kembali.
Bencana alam lima hari yang lalu telah memporak-porandakan segala yang ia punya.
Rumah, keluarga, harta termasuk kaki anaknya yang tertimpa pohon besar dekat rumahnya. Dan itu membuat anaknya tak dapat berjalan.

Bahkan, saat ini pun belum ada Tim Penolong yang datang. Desa mereka terpencil, bahkan listrik pun bergilir penyalaannya. Semua habis dihantam bencana alam. Kini mereka hanya bisa pasrah menerima keadaan. Bahkan mereka akan tetap sabar dan tabah hingga ajal datang menjelang.

#LatihanNulis #2-Ajal | @ndehyaminaris | ndehyaminari.blogspot.com

August 11, 2014

#Buku - Salah Jatuh Hati


Jakarta

                Panas terik mulai merayapi tubuh mungil Rima. Dengan napas tersengak dan menenteng begitu banyak buku, Rima terus berlari menuju arah Bandara Soekarno-Hatta. Belum sampai di pintu masuk, tiba-tiba seorang pemuda menabrak Rima dari arah yang berlawanan. Brukkkss~
“Eh maaf Mbak, maafkan saya.” Kata pemuda yang menabrak Rima tersebut. Seorang pemuda yang gagah dan nampak belia.
“Oh iya, tidak apa-apa Mas.” Kata Rima sambil membereskan buku-bukunya yang jatuh.
“Biar saya bantu!” kata pemuda itu.
“Terima kasih.” Ucap Rima padanya.
                 
Setelah buku-buku itu selesai dirapikan, Rima pergi berlalu dari hadapan pemuda itu. Betapa tergesa-gesanya seorang Rima hingga iya melupakan sesuatu.
Tanpa disadari pemuda itu telah lama menatap Rima hingga sosok bayangannya menghilang dari pandangannya. Begitu sempurnanya ciptaan Tuhan, sampai mata ini tak mampu berkedip karena keindahan perempuan itu.
“Cantiknya! Sayang aku belum tahu namanya.” Kata sang pemuda sambil berlalu dari dari tempat itu. “Semoga aku bisa bertemu lagi dengannya.” Ujarnya dalam hati.
Saat pemuda itu beranjak pergi, ia menemukan sesuatu yang tidak lain dan tidak salah lagi adalah milik Rima. Nampak terkejut terlihat dari raut mukanya. “Oh, namanya Rima.” Dingin.

<><><><><><><><> 
Bandung
                Rima nampak gusar. Wajah mungilnya terlihat sangat cemas. Tidak ada wajah yang begitu sangat sedih kecuali wajah Rima saat ini.
“Maafkan aku! Maafkan aku! Mungkin aku menjatuhkannya saat menuju bandara kemarin. Maafkan aku!” Rima terus menitikkan air mata karena telah menghilangkan salah satu barang berharga dalam hidupnya.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti kita bicarakan lagi ya. Acaranya hampir dimulai.” Lelaki yang berada di samping Rima mencoba menenangkannya.
“Baiklah.” Kata Rima lemas, berharap keajaiban datang padanya.

Ramai. Suasana hari itu sangatlah ramai. Tapi tidak dengan Rima, raut wajahnya masih penuh dengan kesedihan. Dalam hati, dia terus saja memarahi dirinya karena kecerobohan yang dilakukannya.
Tamu berdatangan silih berganti, sampai tiba di mana Rima terkejut dengan kedatangan tamu yang satu ini. Ya. Pemuda yang pernah dia temui di bandara kemarin.
“Bukankah Anda yang membantu saya merapikan buku?” kata Rima sedikit kaget, pemuda itu hanya tersenyum.
“Kau mengenalnya?” kata lelaki yang berada di samping Rima.
“Dia membantuku saat terjatuh kemarin.” Kata Rima.
“Maafkan aku. Aku tidak sengaja menabraknya saat  di bandara kemarin, Yo.” Kata pemuda itu.
“Ohh jadi kamu, Rik?! Haha kebetulan sekali. Ini isteriku, Rima. Yang pernah aku ceritakan di Jakarta. Makasih ya sudah datang di acara syukuran kami ini.”
“Iya Yo, aku sudah tahu. Hahaha.”
Yopi dan Rima tertegun melihat tingkah pemuda yang bernama Riko  dan ternyata adalah teman Yopi juga. Yopi adalah suaminya Rima.
“Kamu kenapa, Rik?” Tanya Yopi.
“Maaf Yo, aku kemarin menemukan ini. Mungkin terjatuh saat aku menabrak Rima.” Lalu Riko mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Diperlihatkanlah barang itu pada Rima dan Yopi.

Tiba-tiba, Rima terlihat sangat bahagia setelah mengetahui Rikolah yang menemukan barangnya itu.
“Ya ampun, terima kasih ya Riko. Aku kira buku nikahku hilang” kata Rima berseri-seri.
“Iya sama-sama. Oh ya, selamat ya untuk kalian berdua. Hehe.” Kata Riko menepuk-nepuk pundak Yopi.
“Sekali lagi makasih ya Rik. Sejak kemarin isteriku sangat khawatir sekali. Okelah silakan dinikmati hidangannya.” Kata Yopi mempersilakan.
“Oke, oke, sip!” jawaban Riko yang sangat singkat. Kemudian ia berlalu dari pandangan temannya itu.
                 
Keinginanku memang terkabul, aku bisa bertemu lagi dengannya. Dengan perempuan yang cantik mempesona, Rima. Tapi, Buku Nikah miliknya telah mematahkan hatiku.
Apakah ini pandangan pertama, atau mungkin ini adalah cinta pertama? Namun, semua itu bukanlah untukku. Ah sudahlah! Jika dia bukan isteri dari temanku, dan jika dia belum menikah pula mungkin aku akan jatuh cinta padanya. Batin Riko. *salah jatuh hati*