Bagiku waktu adalah hal yang sangat kejam. Ia
tidak bisa diajak kompromi walau hanya sedetik pun. Waktu pula yang bisa
mengubah segala hal, seperti usia. Tak akan pernah kembali muda, melainkan
semakin menua dan sampai tiba saatnya malaikat datang untuk mencabut nyawa,
mengakhiri kehidupan kita.
Namun, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga.
Adalah benar bahwa terlena sedetik pun sangatlah merugi akibatnya. Tapi siapa
sangka, bertambah usia akan bertambah pula angka kehidupan kita, itu adalah
salah.
Waktu adalah sesuatu yang tidak akan pernah
berulang kembali. Tak akan pernah menunggu kita untuk memperbaiki diri. Ia
berjalan seolah tak ada yang menghalangi. Karena waktu selalu melaju tanpa
henti.
Gumpalan awan terus berarak menyesuaikan diri
dengan pergerakan matahari di langit biru. Dari pagi menjelang malam, ia terus
berganti posisi yang mungkin bisa membuatnya nyaman. Hingga pekat malam mulai
datang, ia, awan-awan itu mulai menghitam. Langit kelam ditemani cahaya
rembulan mencoba berselimut diri di balik awan hitam. Sepi, hening, laksana
dunia tak berkehidupan.
Burung hantu masih menyanyikan lagu sendu. Mata
indahnya terus memancarkan bayangan kepedihan yang mendalam. Apakah akan ada
korban?! Kuharap, bukan jiwa yang sedang dirundung duka yang akan melampiaskan
keputusasaan.
Hari ini usiaku genap 17 tahun. Kata orang, usia
17 adalah manis dan indah. Tapi di hari ulang tahunku, sampai malam ini, tidak
ada seorang pun teman yang mengucapkan selamat. Apa mereka sudah lupa?
Keluarga? Bahkan mereka lebih mementingkan bisnis dari pada anaknya
sendiri. Mereka lebih senang bila mengucapkan selamat dan berjabat tangan pada
rekan-rekan sesamanya. Miris sekali hidupku ini.
Jam dinding masih menunjukan pukul 18.30 WIB. Aku
mencoba berbaring di tempat tidur untuk mengusir segala kegundahan hati. Namun
tak terelakan, aku merasa sangat sakit hati malam ini. Sweet seventeen kah?
Semua hancur tak tersisakan.
Aku sendirian di rumah. Aku anak tunggal yang tak
pernah merasakan kebahagiaan bersama orang tua. Hari-hariku sepi, laksana hutan
tak berpenghuni.
"PING"
Handphoneku berbunyi. Apakah ada seorang teman yang mau menyempatkan waktu
untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku? Langsung kubaca pesan itu. Namun
hanya panggilan semu yang kulihat di layar handphoneku.
Riza: Claraaaa?
Aku: Apa?
Riza: Tidak, hahaha
Aku: Payah! (Sialan! Ucapku
kesal dalam hati.)
Riza: Kenapa Ra? Haha
Aku: Za, jika kabarku
melenyap, jangan sungkan datangi rumahku. Kuharap belum tercium aroma bangkai.
Selamat tinggal.
Riza: WHAT THE??! Kamu bikin
prosa, Ra? Jangan ngomong sembarangan!
Riza: Woy Claraaa!
Riza: PING!!!
Dan aku tidak perduli lagi dengan pesan darinya.
Kuakhiri obrolanku dengan Riza, -satu-satunya teman yang menghubungiku hari
ini- dengan ucapan selamat tinggal.
Mengapa aku mengucapakan selamat tinggal? Apa aku
akan mati malam ini? Tapi jika aku mati, siapa yang akan mengurus mayatku
nanti? Aku tidak ingin menjadi bangkai yang kemudian membusuk di rumah ini. Jangan
sampai seperti itu! Dan mengapa malam ini tidak ada seorang pun yang datang ke
rumah?! Tak ada seorang pun yang menghiburku di saat yang seharusnya bahagia
ini.
Kulirik jam dinding yang kini menunjukan pukul
19.15 WIB. Tidak kah waktu berhenti sebentar saja?! Jangan terus bergulir
hingga larut malam tiba, kumohon! Kumohon!!! Hingga teriakan itu membuatku
sedikit merasa tenang dan mataku mulai sayup menguncup perlahan.
Kuberjalan menuju dapur. Terpikir olehku, jika aku
berniat menghabisi hidupku malam ini, aku siap membakar rumah ini agar tak ada
lagi kenangan tersisa. Namun aku masih menghargai usaha orang tua yang tengah
membangun rumahnya ini. Seketika, aku melihat kilauan cahaya berasal dari
sebilah pisau. Aku mengambil pisau yang masih menggantung di dinding dapur itu.
Tanpa berpikir panjang, dengan sekuat tenaga segera kutusukan pisau yang
kupegang pada bagian perut sebelah kiriku. Linu, ulu hatiku sakit.
Darah mulai bercucuran membasahi pakaian dan
lantai dapur. Panas kini mulai menjalar di tubuhku. Tubuhku bergetar hebat, dan
tak kuasa untuk menahan rasa sakitnya. Aku mulai lemas dan menjatuhkan tubuhku
di lantai. Karena tak kuasa menahan rasa sakit ini, aku terbatuk-batuk hingga
mengeluarkan darah.
Tuhan, bantu aku! Sebisa mungkin aku mencari benda
yang bisa menghentikan pendarahan ini sesaat. Sambil merangkak kesakitan aku
menahan darah yang terus bercucuran. Apa yang telah aku lakukan?! Bunuh diri
kah? Putus asa hanya karena hal bodoh ini! Aku terus mencari benda untuk
menyelamatkanku. Kulihat serbet kain tergeletak di atas meja makan, segera aku
meraihnya. Siapa sangka, ternyata di atas serbet itu terdapat gelas. Sehingga
ketika aku meraihnya, gelas itu terjatuh menimpa kepalaku dan aku kaget karena
itu.
Ya Tuhan!!!
Aku terbangun dari lenyapan tidur yang singkat
itu. Kuperiksa perutku dan masih utuh, kupastikan kepalaku tidak apa-apa.
Syukurlah. Keringat terus bercucuran dari kepala dan tubuhku. Mimpi itu datang
begitu saja dalam tidur singkatku. Kuambil nafas dalam-dalam dan menenangkan segala
pikiran. Tusukan pisau itu masih terasa sakit. Tusukan itu terasa nyata
menyesakan dada. Apa mungkin karena aku sedang marah sehingga mimpi pun menjadi
parah. Aku terlalu keras memikirkannya.
Jam dinding menunjukan pukul 19.25 WIB. Ternyata
aku tertidur hanya sepuluh menit saja? Tapi rasanya sangat lama. Aku berbaring
kembali dan menatap langit-langit. Membayangkan mimpi barusan yang membuat
jantungku berdebar kencang. Apakah bunuh diri akan mengubah keadaan? Ah sial!
Pikiranku mulai tidak karuan.
Sepertinya aku membutuhkan udara segar. Aku
berjalan menuju arah jendela kamar. Kamarku berada di lantai dua, dan jika membuka jendela maka tepat di depan
mata disajikan sebuah taman yang penuh
dengan rerumputan dan pohon buah-buahan. Mungkin udaranya bisa membuat pikiran
tenang. Kubuka jendela perlahan, angin malam mulai masuk dan menyentuh tubuhku.
Kurasakan dingin namun menyejukan, menenangkan. Kuhembuskan nafas yang sedari
tadi terus menyesakan.
Tunggu, aku melihat satu titik cahaya di
rerumputan. Cahaya itu bekerlap-kerlip seperti kunang-kunang. Apa aku harus
mengambilnya? Untuk apa? Ah membosankan. Aku masih menikmati udara malam yang
dinginnya menenangkan. Namun semakin lama, aku menjadi penasaran. Kuputuskan
untuk turun kebawah dan memastikan sebenarnya apakah sesuatu yang
berkerlap-kerlip itu.
Kubuka pintu rumah dan berlari menuju cahaya itu.
Kudekati dan kuperhatikan benda itu yang ternyata adalah sebuah tombol yang
ditempeli lampu kecil berwarna-warni.
"Tombol apa ini?" Pikirku. Aku tidak langsung menekannya. Aku
takut itu adalah bom atau sejenisnya. Aku melihat ke sekelilingku namun sepi
tidak ada apa-apa, tidak apa siapa-siapa.
Seperti biasa, pikiranku mulai menyempit kembali.
Aku berpikir jika tombol ini ditekan dan menyebabkan ledakan maka malam ini
mungkin adalah waktunya aku mati. Sambil memejamkan mata, dengan ragu-ragu aku
segera menekan tombol itu. Tidak ada reaksi apapun. Aku masih belum membuka
mata.
Kini aku berdiri dan berniat untuk segera masuk
lagi ke dalam rumah. Ketika aku membuka mata, air mata mulai menyembul dan aku
tak dapat menyekanya. Aku menangis. Air mata mulai mengalir membasahi pipiku.
Kulihat banyak lampu berwarna-warni yang menghiasi
pepohonan di depan rumah. Lampu itu tersusun dengan tulisan Happy Birthday
Claraa. Siapakah yang tengah menyiapkan semua ini? Pikirku yang masih berdiri
terpaku memandang lampu-lampu itu. Terlihat sesuatu yang bergerak-gerak di
balik pepohonan. Kemudian terdengar seseorang menyanyi.
"Happy Birthday, Happy Birthday, Happy birthday to you......"
Lima sosok manusia keluar dari pepohoan yang dihiasi kerlap-kerlip lampu
warna-warni itu. Dan kini lima orang itu menyanyi bersama.
"Happy Birthday, Happy Birthday, Happy birthday Claraaaaaaa....."
Ica, Rima, Dika, Rere, dan Mila berlari ke arahku dan memelukku.
Aku masih tidak percaya dengan semua ini. Aku menampar-nampar pipiku
memastikan ini bukanlah mimpi.
"Claraaaa ini bukan mimpi, selamat ulang tahun sahabatku." Rima
memeluk erat tubuhku. Aku masih belum berucap kata. Hanya air mata yang terus
mengalir bahagia.
"Makasih teman-teman!!!" Aku menangis kembali sejadi-jadinya. Aku
menangis tersedu-sedu.
"Ra, hey Clara, kenapa menangis hebat begini?" Dika mengusap air mataku.
Aku masih tak percaya. Kulihat teman-temanku tersenyum melihat tangisanku.
"Kami menunggumu dari maghrib loh Ra! Hahaha" Ica yang berwajah
kusut mulai mengomel. "Aku sampai ketiduran di bawah pohon itu. Haha"
mendengar ucapannya itu, semuanya tertawa.
"Indah sekali. Kalian yang menyiapkan semua ini? Aaaaaah makasih yaa,
aku kira kalian lupa." Sekarang giliranku yang mengomel pada mereka.
"Gila! Sweet seventeen mana mungkin kami lupa. Lagian ini juga berkat
Ayah dan Ibumu, kami bisa menyusun rencana ini." Kata Mila, dan Rere
mengangguk mengiyakan ucapannya.
Aku hanya tersenyum dan ternyata orang tuaku masih peduli padaku walau hari
ini tak ada disisiku.
"Eh, eh, ayo masuk rumah dong. Aku dingin nih!" Ucap Ica yang
sejurus kemudian menggandeng lenganku.
Dengan senyum dan tawa kebahagiaan, aku dan
teman-teman segera masuk ke dalam rumah untuk merayakan hari yang sangat
spesial.
Kubuka pintu dan segera masuk ruangan yang memang seperti biasa lampunya tidak aku
nyalakan. Ketika aku hendak menyalakan lampu, tiba-tiba ada sosok yang lebih dulu menyalakannya. Ayah!
Dan disampingnya ada Riza memegang kue dan Ibu. Ia tersenyum padaku,
"Selamat ulang tahun, Clara sayang." Ibu sedikit merentangkan
tangannya dan aku segera berlari memeluknya.
"Kapan Ibu, Ayah dan Riza masuk?" Tanyaku.
"Saat kamu keluar dan berjalan menuju tombol itu. Hehe. Kami lama
menunggumu keluar loh! Pesan dariku tidak kamu baca lagi. Aduuh!" Riza
mengomel dan semua larut dalam tawa.
"Ibu, Ayah, terima kasih." Kini aku dipeluk oleh Ayah dan Ibuku.
Kurasakan kehangatan yang tiada bandingannya, bahkan mampu mengalahkan
hangatnya sinar mentari pagi.
"Ra, tiup dulu lilinnya, dan make a wish! Happy birhday yaaa"
Riza mendekatkan kuenya padaku.
"Terima kasih yaa teman-temanku." Ucapku sambil meniup lilin yang
di atasnya berangka 17 itu.
"Oh ya, tentang prosa atau apalah tadi saat aku BBMan denganmu,
nampaknya seperti kamu akan bunuh diri ya Ra? Hahaha." Riza tertawa puas
dengan itu. Semuanya pun ikut menertawakanku. Aku pun ikut tertawa dan menahan
malu. Jika benar aku memutuskan untuk hal itu, aku tidak akan menemui
kebahagiaan saat ini.
Kulihat waktu terus melaju dan kini mulai
menunjukan pukul 20.30 WIB. Kami semua larut dalam kebahagiaan, terutama aku.
Aku sangat bahagia karena semua ini membuatku lupa tentang mimpi yang baru saja
terjadi. Aku takan menceritakan mimpi burukku. Lebih tepatnya mimpi yang sangat
bodoh itu.
Pukul 21.00 WIB, Ayah dan Ibu mengantar pulang
teman-temanku. Dengan wajah penuh suka cita kami berpisah dan siap menjalani
kehidupan baru yang lebih baik lagi, esok dan hari-hari berikutnya. Karena,
perjuangan, tantangan dan rintangan kelak akan datang.
Aku kembali ke kamarku. Mengambil handphoneku dan
menuju jendela untuk memandang kembali lampu-lampu yang mempesona itu. Nampak
lebih indah jika dilihat dari atas sini.
Kubuka handphoneku dan ternyata kini ucapan
selamat ulang tahun terus masuk silih berganti. Baik lewat sms, BBM, WhatsApp,
Line dll.
"Hah! Ini adalah suatu kebetulan yang direncanakan." Ujarku dan
senyuman ini mulai merekah tanpa henti.
Satu lagi, aku membuka pesan Riza yang tadi tak sempat aku baca.
Riza: PING!!!
Riza: Ra, please balas!
Riza: Ra, coba tengok ke
luar jendela!
Riza: Claraaaa jangan bunuh
diriiii!!!
Riza: PING!!!
Riza: PING!!!
Riza: PING!!!
Ya Tuhan, betapa bodohnya diriku ini. Aku sudah
berprasangka buruk pada teman-temanku dan pada orangtuaku. Kenyataannya mereka
semua menyiapkan kejutan yang begitu indah. Terima kasih semuanya.
Bersama bergulirnya waktu, aku menangis dan
tersenyum dalam indahnya kebahagiaan di malam yang penuh kejutan itu. Satu hal
yang aku tahu, bahwa waktu lah yang bisa mengantarkan kita pada kebahagiaan
asal kita mau menjemputnya.
No comments:
Post a Comment