Rintik air masih terdengar setelah hujan senja tadi. Suasana masih begitu gelap kala hujan reda. Mungkin memang sudah waktunya siang berganti malam, langit pun mulai menampakan warna mencekam bagi insan yang kesepian
"Ibu hanya pergi tiga hari, Ayahmu sedang sakit di sana." Kata Ibu sambil berlalu.
Ucapan itu berakhir dengan tertutupnya pintu rumah dan hilangnya sosok Ibu dari pandanganku. Kurasakan angin tiba-tiba berhembus dalam sepinya rumah yang baru saja ditinggalkan. Ibuku pergi untuk menemani Ayah yang sedang sakit di tempat dinasnya, di luar kota. Kini aku tinggal sendiri, ditemani gemercik sisa-sisa air hujan. Kumohon, bersahabatlah denganku wahai rumah yang sering kurasakan adanya kehadiran bayang semu seseorang.
"Ah, hanya perasaanku saja. Lebih baik aku pergi tidur." Ujarku. Aku langsung masuk kamar setelah mengunci semua pintu. Saat itu, jam dinding masih menunjukan pukul lima tepat. Aku memilih untuk membenamkan segala pikiran anehku dalam mimpi-mimpi di tidurku.
Belum lama aku memejamkan kedua mata, terdengar ada seseorang yang mengetuk di balik puntu. Kulihat ke luar lewat jendela kamar, ternyata masih hujan. Siapakah gerangan yang datang di saat hujan? Suara ketukan pintu itu semakin terdengar kuat. Aku semakin ketakutan. Aku masih belum beranjak dari tempat tidur, malah semakin kubenamkan tubuhku ini ke dalam selimut. Aku takut, Tuhan.
Kriiing. Suara ponselku berdering kencang, membuatku terpaksa keluar dari dalam selimut. Segera kuambil ponsel yang ada di meja belajar. Ada telepon.
"Hallo, ada apa?," kataku. "Ya ampun, maafkan aku! Aku buka sekarang." Lanjutku kepada seseorang yang sedang meneleponku itu.
Aku segera membuka pintu, entah mengapa, kuncinya mendadak macet. Butuh lima menit untukku membuka pintu itu. Klik. Akhirnya, pintu terbuka.
"Aku kedinginan!" Katanya. Kulihat wajahnya begitu pucat. Entah nampak seperti orang sakit atau orang kedinginan. Namun tatapannya begitu dingin dan kosong.
"Maafkan aku! Ayo masuk!" Balasku, sambil menunduk-nundukan kepala, meminta maaf.
Sosok itu, Nita namanya. Teman sekelasku yang sengaja kupanggil untuk menemaniku di rumah selama Ibu tidak ada. Tubuhnya basah kuyup. Dari pangkal rambutnya terus meneteskan air. Melihat itu semua, aku segera menuju kamar untuk membawakannya handuk. Kamarku ada di lantai atas. Ketika kumenaiki anak tangga, kulihat Nita masih diam, tubuhnya menggigil. Dia menyilangkan tangannya ke dadanya. Ah Nita, maafkan aku.
Aku membuka pintu lemari yang sedikit menjulang itu. Kuambil handuk dan baju tidur untuk Nita. Belum sempat aku menutupnya kembali, aku mendengar ada sesuatu yang mnggebrak di luar jendela. Brakk! Sejurus kemudian, tubuhku berbalik ke arah jendela kamarku itu. Gordeng yang masih terbuka, sangat jelas memperlihatkan langit yang amat gelap mencekam. Rintik hujan masih membasahi tanah-tanah alam. Di tepi jendela, kumelihat sekitaran jalan, tidak ada apa-apa. Tapi tunggu, sesaat kumelihat ada sosok hitam melintas di depan mataku. Bukan, itu hanya bayangan angin. Tapi, kumerasa bayangan itu mengawasiku. Sebelum pikiranku berpencar kemana-mana, kufokuskan kembali untuk segera memberikan handuk ini kepada Nita. Kutinggalkan segala resah yang kulihat di luar jendela tadi.
"Nita, Nita," aku memanggilnya, dia tidak ada di tempat tadi, "dia pergi kemana?" Kulanjutkan mencarinya. Barangkali dia pergi ke kamar mandi. Pikirku dalam hati.
"Rosi, mana handuknya?" Suara itu mengagetkanku. Nafasku tersengah, mengapa Nita muncul di belakangku?
"Ya ampun, Nita! Kau mengagetkanku. Ini handuknya," aku menyodorkan handuk dan baju tidur, "dan ini baju ganti. Kau habis dari mana?" Tanyaku padanya.
"Dari toilet." Jawabnya singkat. Nita langsung pergi meninggalkan aku seorang diri. Mungkin Nita pikir, tak usah mengajakku ke kamar mandi pun. Untuk apa? Sejenak, aku kembali teringat sosok bayangan hitam tadi. Namun, bagiku hal itu sudah sering terjadi. Rumah ini sedikit membuatku takut jika sedang sendiri. Kuharap, semua akan baik-baik saja.
Aku pergi ke dapur, untuk menyiapkan makan malam. Nita yang sudah rapi dengan baju tidurnya pun ikut membantuku memasak. Kuharap Nita tidak marah. Kami memasak ramen kuah, dengan level paling hot ditambah toping udang dan bakso diatasnya. Gemercik hujan masih enggan pergi. Menambah suasana mencekam, di malam yang jelas tak berbintang.
"Nita, kau tak marah kan?" Kumemulai perbincangan yang sedari tadi membisukan ruangan ini.
"Tidak. Ayoo, ramennya sudah makan. Mari makan!" Katanya, sambil membawa semua hidangan ke meja makan. Syukurlah, Nita memang teman yang baik.
Di ruang makan, kami hanya berdua. Terdengar ranting pepohonan yang tertiup angin menubruk kaca jendela. Selain itu, terdengar pula suara gemercik air dari bawah meja makan. Aku menurunkan kepalaku ke bawah meja. Tak ada apa-apa. Dari mana suara gemercik itu berasal? Kulihat Nita sedang asik menyantap ramen yang asapnya masih mengepul. Rambutnya terlihat masih basah. Dia benar-benar kedinginan.
"Setelah makan, aku mau langsung tidur ya, Ros." Kata Nita. Dia setengah merebahkan badannya di kursi. Mangkok ramennya masih penuh, kukira dia akan menghabiskannya. Aku mengeryit, bukankah dia tidak suka sepertu itu? Sudah makan langsung tidur, dia tidak begitu. Ah tapi, mungkin dia sangat lelah, pikirku.
"Baiklah." Jawabku, sambil menghabiskan sisa ramen di mangkok.
Seusai makan, kami langsung pergi ke kamar. Nita langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Aku tidak langsung tidur, tapi aku membuka dulu laptop untuk sekedar menonton film. Beberapa menit kemudian, ketika durasi film ada di menit ke dua puluh lima. Ketika mataku sedang fokus menatap layar monitor. Tiba-tiba ada yang melintas dibelakangku. Aku melihatnya dari monitor laptopku. Aku langsung berbalik, namun hanya Nita yang kulihat sedang tertidur pulas di sana. Entah mengapa, aku menjadi takut. Akhirnya kuputuskan untuk tidak menyelesaikan film itu. Aku pun segera beranjak dan pergi ke tempat tidur. Kubenamkan tubuhku di dalam selimut. Gelap.
Suara itu terdengar lagi. Suara gemercik air yang seharusnya membuat ketenangan, mendadak berubah, malah membuat ketakutan. Aku tak berani keluar dari balik selimut. Aku terus menenggelamkan diri. Kudengar nafas Nita yang sedang tidur, berhenti.
"Rosi. Kamu kenapa?" Syok! Tiba-tiba aku dikagetnya oleh suara Nita.
"Tidak, Nita. Aku tak bisa tidur." Jawabku masih di dalam selimut.
Nita tidak bersuara lagi. Dasar tukang tidur. Dia pasti melanjutkan kembali mimpi-mimpinya. Apa Nita tidak mendengar suara gemercik air itu? Itu bukan gemercik hujan, bukan pula gemercik air keran di kamar mandi. Itu suara gemercik air yang aneh. Suaranya begitu dekat, namun entah berasal dari mana. Tuhan, lindungi aku. Dan hingga akhirnya, aku bisa menutup mata untuk merajut mimpi.
Mungkin hanya sebentar saja aku tertidur, mataku terbuka kembali. Kulihat waktu menunjukan pukul 23.45 WIB. Ini malam Sabtu, tapi mengapa suasananya seperti malam Jum'at Kliwon? Kulirik lagi ke arah Nita, dia masih tidur. Tapi aku tak bisa melihat wajahnya. Dia pun sama, membenamkan tubuhnya di balik selimut. Hanya rambut panjangnya saja yang kulihat sampai terurai ke luar ranjang.
Tunggu! Aku baru menyadari sesuatu. Mengapa rambut Nita panjang? Bukankah kemarin yang kulihat di sekolah, rambut Nita itu hanya sebahu, seperti karakter Dora The Explorer? Tidak, tidak, tidak. Pikiranku mulai menggila. Kuberanikan diri untuk memastikan bahwa itu memang rambut Nita. Aku beranjak dari tempat tidur, melangkah pergi ke sisi ranjang searah dengan Nita. Tiba-tiba langkahku terhenti. Basah. Aku menginjak lantai basah. Kuarahkan pandanganku mengikuti arah air yang membasahi lantai itu.
Betapa tersentaknya jantungku, kulihat air itu berasal dari ujung-ujung rambut panjang Nita. Sedari tadi, gemercik air itu berasal dari ujung rambut Nita. Kini, air itu semakin deras mengalir dari rambutnya yang terurai ke lantai. Kakiku gemetar, tak bisa bergerak. Aku menelungkupkan telapak tangan di atas mulut yang menganga. Tidak percaya. Mataku terbelalak ketika sosok di balik selimut itu bangun. Jantungku semakin berdegup kencang, nafasku menderu tak karuan. Kurasakan air yang kuinjak menjadi terasa kental. Aku menundukan pandanganku. "Aaaaaaaaaaak!" Aku tak kuasa berteriak, menutup mataku dan menangis ketika melihat yang kuinjak adalah sesuatu yang terlihat seperti darah. Kakiku kaku, tak bisa digerakan. Sosok itu masih tertutupi selimut. Namun perlahan selimut itu turun, membiarkan sebagian wajah sosok itu terlihat. Matanya kosong. Hitam tanpa ada bola mata di dalamnya.
Tuhan, aku takut! Bibirku terus bergetar, sekedar untuk mengucap do'a pun rasanya sulit. Mataku tak bisa kupejamkan. Seakan aku harus melihat sebenarnya siapa sosok yang ada di tempat tidurku itu.
Sosok tanpa bola mata itu perlahan menuju ke arahku. Aku yang masih berdiri terpaku di tepi ranjang. Air mata terus mengalir membasahi pipiku. Tenggorokanku panas, rasanya ingin berteriak namun tak bisa.
Sosok itu semakin mendekat. Aku semakin ketakutan. Matanya hitam, rambutnya panjang masih terurai dan terus mengeluarkan air. Gemercik itu terdengar menakutkan. Dengan cepat, mata sosok itu ada dihadapanku. Menatap mataku dari jarak dua senti meter. Tak lama kemudian, matanya mengeluarkan darah. "Aaaaaaaaaaaaaaaaak!" Teriakanku tak bisa kubendung hingga akhirnya aku terkulai lemas, pingsan.
Sinar mentari menyorot ke arah mataku. Aku terbangun dengan badan yang kurasa begitu berat. Aku tertidur di lantai, samping tempat tidur. Tubuhku lemas, nafasku naik turun. Apakah tadi malam hanya mimpi? Tapi tidak! Itu bukan mimpi, ada bekas darah di kakiku ini. Alarm ponselku menyala. Kuraih dengan sisa tenaga yang kupunya. Terpampang dengan jelas ada pesan dari Nita di situ.
Thursday, 05:15 PM
Rosi, maafkan aku. Aku tak jadi menginap di rumahmu. Ibuku sakit. Maafkan.
Pesan dari Nita, bersamaan dengan datangnya sosok yang menyerupai Nita. Tak kusadari air mata ini mengalir, mengingat sosok menakutkan tadi malam. Kuputuskan untuk tak bercerita pada Nita. Dan selama Ibu tidak ada, aku menginap di rumah Nita. Semoga, sosok wanita menyeramkan itu segera hilang dari bayanganku.