Selamat pagi, hari Sabtu yang sedikit mendung. Hari ini awal bulan yang kuharap bisa menjadi lebih baik lagi. Angin semilir menyentuh kulit, menusuk tulang yang tak sempat kulindungi. Semoga hari ini menjadi pelopor akan segala kebaikan.
Aku ingin bercerita tentang seseorang yang benar-benar kukagumi namun entah bagaimana awalnya, aku bisa setertarik itu.
Dia biasa saja, senyumnya tersimpul indah, tertawanya sungguh renyah, dan matanya menyorot tajam. Dia tak terlalu tinggi untuk ukuran lelaki, tapi dia masih pantas untuk ikut tim basket jika dia mau. Tapi bukan soal itu, aku kagum pada sifatnya, sifat ramah dan tulus kepada semua orang. Aku menyukainya.
Baiklah, saat itu hujan rintik tak henti-henti. Aku berteduh di shelter bis yang kaca-kacanya sudah tak beraturan. Angin dan hujan, riuh saling bertebaran. Pun debu yang mengering kini mulai basah oleh hujan. Saat itu tanggal 01 Oktober 2015, awal bulan yang basah. Gemercik indah kini mulai menghiasi kaca penuh debu nan usang.
"Syifa?"
"Ya?"
"Hallo, apa kabar? Kamu sedang apa?"
Tunggu, apa aku mengenalnya? Rasanya wajah ini sudah pernah kurekam dalam pikiran. Aku masih termangu melihat wajah teduhnya.
"Hei! Aku Reno, lulusan SMAN 6, kakak kelasmu. Ya ampun." Katanya menjelaskan tanpa kuminta.
"Ya Ampun, Kak Reno? Haha. Pangling Kak. Maaf." Jawabku, salah tingkah.
"Pangling? Jadi makin ganteng ya?" Katanya sambil tertawa. Tak bisa kupungkiri, senyum dalam tawanya selalu indah.
"Iya. Selalu ganteng. Haha." Balasku.
Lalu kami mengobrol, mengenang masa SMA dulu.
Saat SMA, kami tidak terlalu dekat, hanya saja kami kenal karena kami satu organisasi. Dia ketua OSIS dan aku hanya anggota yang tidak tahu diri. Bagiku, dia ketua yang sangat bijaksana. Namun entah mengapa, aku selalu menolak program-programnya, dengan alasan tidak sesuai dengan kondisi sekolah. Maka berdebatlah aku dengannya. Sampai berujung dengan tangan kepala sekolah. Ya, dulu semua warga sekolah memanggil kami, Kak Reno dan aku, Cat And Dog, tidak pernah akur.
"Kamu maunya apa?!" Tanya Kak Reno, matanya tajam, berkacak pinggang.
"Kak, kalau program tuh yang realistis dong! Masa siswa disuruh liburan panjang! Bukan waktunya!" Jawabku.
"Ini bukan liburan! Tapi ini sebagai ajang untuk menurunkan keagresifan pihak sekolah, ingat itu!" Balasnya, masih dengan nada yang tinggi.
"Demo? Untuk apa? Memangnya seluruh siswa di sekolah ini mau mengikutinya?" Timpalku lagi.
"Syifa, saya hargai semua pendapatmu. Tapi untuk kali ini, jadilah angota yang patuh. Saya dan pengurus akan tetap menjalankan program itu!" Katanya sambil berlalu.
"Sudahlah, kalian selalu saja ribut. Nanti berjodoh, loh!" Celetuk kak Serli, pengurus OSIS juga.
Aku pun pergi dengan senyum sinis kepada orang-orang berorganisasi itu.
Mungkin, masih banyak lagi yang sering aku debatkan dengan pengurus, terlebih dengan Kak Reno. Sampai suatu ketika, aku dibuat hampir mati karena programnya. Kami menyebutnya diklat. Saat angkatan Kak Reno akan lengser dari jabatan, maka kini angkatan aku yang akan dilantik sebagai pengurus baru.
Jujur, aku tidak suka berada di tempat gelap dengan mata tertutup syal. Jika seperti itu, aku akan langsung pusing bahkan pingsan. Seperti yang Kak Reno lakukan padaku, hanya kepadaku. Saat aku disuruh memasuki salah satu pos diklat, di ruangan gelap, aku disuruh memakai penutup mata. Yang benar saja! Hal ini sudah pernah terjadi, aku diperintahkan seperti itu saat awal berorganisasi dan tak lama kemudian aku pingsan tak kuat menahan pusing. Dan kini dilakukan lagi?!
Mungkin, niat mereka untuk menguji mental kita. Tapi bagiku mereka keterlaluan, memakai kelemahan untuk melakukan hal yang tidak wajar. Rasanya saat itu aku seperti disekap. Ruangan gelap dan mata ditutup jelas itu sangat menakutkan. Jendela pun semua tertutup rapat, hanya udara dingin yang kurasakan karena saat itu pukul dua dini hari.
Aku diperintahkan untuk berdiri, menjawab semua pertanyaan. Aku tahu, ada Kak Reno di sana. Suaranya sangat jelas ketika dia berkata "sekuat apa mental pemberontak ini" dan kalimatnya itu sangat membuatku terpukul.
Tak ada sandaran dan tak ada benda yang bisa kupegang ketika kepalaku mulai pusing berputar-putar. Keringat dingin mulai bercucuran. Aku mengangkat tangan dan bilang, "Kak, saya pusing." Namun dihiraukan, malah terus menanyaiku segala pertanyaan. Aku tidak sanggup lagi, ketika Kak Reno yang kini bertanya, sudah tak bisa kujawab lalu aku jatuh tersungkur, pingsan.
Saat tersadar, aku sudah berada di rumah. Kukira aku tidak akan bangun lagi. Saat itu, aku dilarang Ibu untuk ikut Organisasi. Tapi, tetap aku jalankan, hingga akhirnya aku dilantik pula sebagai pengurus.
Oh ya, saat pelantikan, jabatan Kak Reno jatuh kepadaku. Banyak yang memilihku saat pencalonan Ketua OSIS dulu. Bendera kini diserahkan kepadaku. Jemari Kak Reno masih kuingat, gemetaran. Lalu dia berkata, "Kami memilihmu karena kami yakin, kamu mampu. Maafkan aku." Katanya sambil kembali ke tempat. Entah minta maaf untuk apa, yang pasti aku juga meminta maaf padanya. Dan saat itu, Kak Reno kelas tiga, mulai fokus untuk Ujian Nasional. Sesekali kami mengobrol hanya untuk menanyakan kabar organisasi.
Tepat saat tanggal ulang tahunku, Kak Reno memberiku sebuah hadiah. Di depan banyak anggota dan pengurus OSIS. Semacam acara-acara katakan cinta sebuah stasiun TV lokal. Tapi, bukan untuk menyatakan cinta. Dia hanya datang lalu memberiku hadiah itu dan pergi lagi. Saat itu aku sedang memberikan materi kepada anggota kelas satu. Malu.
Sontak semua yang berada di kelas, memintaku untuk membuka hadiah itu. Apa daya, kubuka saat itu juga. Tahu kah apa isinya? Buket bunga mawar merah dari pita dan kotak musik yang sangat indah. Serentak satu kelas berucap "ciyeeeeee" membuatku malu, salah tingkah.
Maksudnya apa?!
Dan sampai sekarang, hal itu menjadi sebuah misteri, aku tak pernah bertanya dan dia pun tak pernah menjelaskan. Sampai hari kelulusan pun, kami seperti biasa saja. Kak Reno sudah lulus dan melanjutkan kuliah. Sejak saat itu kami tak pernah lagi komunikasi.
..……………………………………
"Dari mana Kak?" Tanyaku pada Kak Reno setelah kami asik bernostalgia saat SMA.
"Ini, hehe, ini nganter ke sekolah." Jawabnya kaku.
"Siapa, Kak?" Tanyaku lagi.
"Anakku. Hehe." Jawabnya singkat.
"Waaaah, kapan nikahnya? Gak ngundang-ngundang nih ah, tau-tau udah punya ekor." Keluhku padanya.
"Maklum, Fa, dijodohin ortu sama orang kampung. Gak rame-rame, ya gitu lah." Katanya.
"Hmmm, yasudah kak, tak apa. Pokonya sehat selalu ya anaknya, istrinya, kakak juga, lancar segalanya." Harapku padanya.
"Aamiin, Syifa, semoga kamu juga dimudahkan segalanya ya! Aamiin." Balasnya.
"Aamiin. Eh Kak, aku duluan ya, bisnya sudah datang, mari, Assalamu'alaikum." Pamitku padanya dan rintik hujan pun kian berhenti.
"Wa'alaikumussalam." Jawabnya. Dan sekaligus ucapan terakhir dari mulutnya. Senyumannya masih tetap sama. Tak ada yang berubah. Eh, suuuut, dia sudah menjadi suami orang.
Tidak disangka memang, seseorang yang kutunggu, ingin kunanti maksud hadiah yang dulu dia berikan, sekarang sudah bersama, bertemu dengan jodohnya. Ah sudahlah, hadiah itu kuanggap hadiah biasa, penghargaan atas apa yang kulakukan di organisasi waktu SMA dulu. Bis pun melaju, mengantarkan hati yang sudah lagi tak menunggu harapan semu.
Itulah, cerita seseorang yang begitu kukagumi. Mungkin sampai detik ini masih kukagumi, karena dia sudah merelakan perasaannya untuk membahagiakan dan menuruti perintah orangtuanya. Semoga keberkahan selalu terlimpah untuk kita semua. Aamiin.
No comments:
Post a Comment