Panas terik Kota Bandung merupakan hal yang biasa bagiku. Bahkan suara-suara klakson kendaraan pun, sudah menjadi sarapan rutin di pagi hariku. Mereka beradu bagaikan dalam perlombaan, klakson milik siapa yang paling merdu. Nyatanya, semua itu hanyalah kebiasaan orang-orang yang tidak sabar menunggu. Kemacetan sudah menjadi hal yang lumrah. Namun, selalu saja para pengendara saling serobot tak mau mengalah. Ah sudahlah, tak ada habisnya jika berbicara soal jalanan. Biarkan mereka sadar dari dalam hati nuraninya masing-masing.
Matahari sedang asik sendiri, ia tepat berada di atas kepalaku. Siang ini begitu terik tanpa ada angin sepoi menemani. Tepat pukul dua belas, aku selesai kuliah. Kuputuskan untuk pulang bersama sahabatku, Radina namanya. Dia mengendarai motor, jadi aku nebeng padanya. Jujur, aku tidak punya ongkos untuk pulang. Jadi, kepada siapa lagi aku meminta tolong? Allah SWT, Tentu! Aku meminta tolong kepada-Nya, agar Radina bersedia memboncengku hingga arah jalan pulang. Itulah sahabat, membantu kapanpun tanpa pamrih.
"Radina, aku gak pake helm. Tidak apa-apa kan?" Tanyaku pada Radina. Karena, kalau ingin dibonceng olehnya, wajib pakai helm. Bukan apa-apa, tapi sekarang musim razia. Meski Radina membawa perlengkapan berkendara yang komplit, tetap saja akan dirazia jika aku tak memakai helm.
"Semoga saja tidak ada polisi." Jawabnya, sambil memakai jaket dan masker. Dalam hati kuberdo'a, Ya Allah, kami telah melaksanakan kewajiban yaitu menuntut ilmu, maka selamatkanlah kami dari godaan polisi. Aamiin.
"Kalau ada, gimana?" Aku bertanya lagi, masih bimbang.
"Akan kuturunkan kau di jalan. Haha." Balasnya, sambil tertawa mengejekku. Huh.
"Bismillah, ya!" Kumenggerutu. Berharap, polisi-polisi itu tak melihat keberadaanku. Terkadang aku ingin mempunyai jubah yang dimiliki Harry Potter, agar aku bisa dibonceng kapanpun tanpa helm dan tanpa terlihat oleh siapapun.
Akhirnya kami meluncur dari parkiran kampus menuju jalan lurus, Jalan Soekarno-Hatta. Kata orang, kalau hati was-was, maka yang kita takutkan akan terjadi. Walau sepanjang jalan kuberdo'a sepenuh hati, berzikir sekuat tenaga, namun jika Allah SWT berkata lain, maka kita harus menerimanya. Ketika motor sedang melaju di daerah sebelum lampu merah Cibaduyut, terlihat pasukan berseragam coklat dengan rompi hijau dibagian luarnya, sedang menjalankan misi operasinya. RAZIA. Mataku membelalak ketika salah satu polisi menyuruh kami untuk menepi. Ya Allah, ujian persahabatan ini terlalu berat untukku. Aku tidak membawa uang jika memang harus membayar. Ah Radina, maafkan aku.
"Maaf, Dek, boleh lihat surat-suratnya?" Pinta polisi dengan nama Alex itu kepada Radina. Aku hanya salah tingkah dan gemetaran. Wajah Radina pun terlihat merah, entah karena takut, malu atau kepanasan di jalan. Rasanya aku ingin lari, tapi tak ada waktu.
"Ini, Bang, surat-surat Adek. Hehe." Kata Radina, sambil menyodorkan SIM dan STNK. Aku tak percaya jika Radina memanggil polisi itu dengan sebutan Abang. Seketika aku menahan tawa. Polisi itu memang terlihat muda dan ganteng, dia tersenyum mendengarnya. Sejurus kemudian dia memeriksa SIM dan STNK.
"Surat-suratnya lengkap, Dek. Tapi Adek saya tilang, karena temannya tidak pakai helm." Kata Pak Polisi, "helm itu penting Dek, gimana kalo ada kecelakan? Kasian temannya ini." Lanjut Pak Polisi itu. Penjelasan yang membuatku terpaku. Rasanya ada petir yang menghujam jantungku.
"Amit-amit, Naudzubillahimindzalik!" Ucapku refleks ketika mendengar polisi itu.
"Maaf, Pak. Saya cuma mengantar teman saya saja. Saya ketemu di jalan. Kasian dia, Pak. Jomblo." Ujar Radina. Dan entah kenapa, di saat genting seperti ini, bisa-bisanya dia mengejekku di depan polisi ganteng ini. Lagian, kita pergi barengan dari kampus kan? Ah dasar, aku hanya diam tanpa kata, karena di sinilah aku tersangkanya. Dalam hati, aku menggerutu entah pada siapa.
"Begini, Dek, Adek tetap saya tilang dan temannya suruh naik angkot saja. Bahaya kalau tidak pakai helm." Kata si Polisi sambil menuliskan surat tilang.
"Radina, maaf." Kataku, lirih. Tidak biasanya kami kena tilang. Sedih sekali. Rasanya seperti putus cinta ketika tak punya uang disuruh naik angkot. Apa sekarang aku harus meminjam uang? Ya Allah, bantulah hambamu yang tak berdaya ini.
"Aku yang minta maaf." Balas Radina, menunjukan wajah ibanya.
Rupanya sang surya masih enggan beranjak, sinarnya masih menelusup ke dalam raga-raga yang sedang beraktivitas. Ketika Radina sedang mengurus surat tilang bersama polisi itu, tiba-tiba datang sosok pahlawan yang nyaris kesiangan, menepi diantara kami.
"Nisaa, maafkan aku. Ini helm milikmu. Tadi aku meminjamnya tak bilang dulu padamu." Kata sosok lelaki berparas rupawan itu, "maaf, ya?" Lanjutnya.
Ya Allah, inikah yang dinamakan penyelamat? Inikah hadiah dari-Mu atas do'a dan zikir-zikirku? Seketika, panas terik ini terasa menjadi hujan rintik yang menyejukan. Sahabatku yang lain datang membantuku. Rizki, namanya. Dia memang benar-benar rizki yang Allah turunkan untukku.
"Maaf, Pak Polisi. Ini salah saya. Helmnya saya pinjam tadi. Mau nganter Ibu ke Rumah Sakit," kata Rizki, "ehh untung aku lihat kalian." Katanya lagi. Rizki berbohong, itu bukan helmku. Dia sengaja berkata begitu demi menyelamatkanku, atau mungkin menyelamatkan Radina yang nyaris kena tilang? Ah entahlah, siapapun yang diselamatkan, tidaklah masalah. Kami bersahabat, sahabat harus saling membantu.
Terlihat gurat kebingungan di wajah Pak Polisi itu. Helm kini sudah terpasang di kepalaku. Apa yang harus ditilang? Surat-surat lengkap, termasuk perlengkapan lain. Helmku ini. Akhirnya, kami terbebas dari cengkraman Pak Polisi. Terima kasih Ya Allah.
"Lain kali jangan ceroboh, ya!" Nasihat Pak Polisi kepada kami.
"Siap, Pak!" Sahut kami bertiga sambil mengangkatkan tangan dan bersikap hormat kepadanya. Kami pun pergi dari zona razia tersebut. Alhamdulillah.
Sahabat. Bagiku bagai air penghilang dahaga di saat kehausan. Mereka adalah sosok yang mau berjuang demi sahabat lainnya. Tapi, tahukah jika persahabatan antara lelaki dan perempuan tidaklah murni bersahabat? Sedikitnya, akan muncul rasa yang tak biasa atau yang kusebut cinta. Jujur, aku dan Rizki sangatlah dekat. Banyak teman yang berkata kalau kita saling suka. Aku menentang dan Rizki pun menentang akan hal itu.
Namun, siapa yang tahu isi hati kita, selain diri sendiri dan Sang Pemilik? Hal ini selalu menjadi rahasia dalam hatiku.
Sepanjang jalan, kami bertiga tertawa puas. Banyak sekali alasan-alasan konyol yang barusan terjadi. Angin kini bertiup membuat panas yang kami rasakan sedikit hilang. Hingga akhirnya kami sampai di pertigaan, dimana aku hanya nebeng pada Radina sampai di sini saja. Kemudian, aku turun dan melepaskan kepergian Radina. Melepasnya pergi untuk pulang menuju rumahnya di Cimindi.
"Radina, makasih ya! Hati-hati di jalan." Kataku, sambil bersalaman cipika-cipiki (Cium pipi kanan-cium pipi kiri) kebiasaan Ibu-ibu pengajian.
"Siip, hahaha. Hati-hati juga ya! Assalamu'alaikum." Sahut Radina kemudian berlalu dari pandanganku.
"Wa'alaikumussalam." Jawabku dan jawab Rizki. Oh, iya, masih ada Rizki di sini.
"Rizki, makasih ya, ini helmnya." Kataku sambil memberikan helm yang telah menyelamatkan kami dari razia tadi.
"Pakai dulu aja. Aku antarkan sampai rumah." Kata Rizki, tersenyum manis padaku. Ya Allah, mengapa jantungku berdebar sangat kencang?
"Eh? Aku tinggal naik angkot sekali kok. Gak usah!" Tolakku padanya. Namun sebenarnya aku senang sih.
"Hmm, cepat naik! Malu-malu kucing, kan senangnya gratisan kamu mah!" Timpalnya padaku. What? Apa dia membaca isi hatiku?
"Baiklah. Dasar pemaksa!" Balasku. Senyum-senyum sendiri. "Makasih, ya." Kataku.
"Iyaa, sama-sama!" Jawabnya. Dan motor pun kini mulai melaju. Tidak melaju dengan sendirinya, tapi oleh Rizki dikemudikannya.
Jujur, bagiku persahabatan ini palsu. Lebih tepatnya samar-samar. Sejak pertama mengenal Rizki, aku sudah menyimpan perasaan ini untuknya. Sampai tiba di mana Rizki pun menyatakan perasaannya padaku. Betapa bahagianya ketika orang yang dekat dengan kita, bersahabat dengan kita, yang kita cintai, sama-sama menyimpan perasaan yang sama juga. Rasanya dunia ini mulai dipenuhi dengan bunga-bunga.
Namun, kami berdua sepakat untuk tidak mengubah status persahabatan ini menjadi pacaran. Biarkan waktu mengalir dan Allah yang menentukan.
Tidak ada yang tahu tentang perasaanku, perasaan Rizki, dan kisah cinta kami berdua. Bahkan Radina pun tidak tahu akan hal itu. Aku dan Rizki sudah berjanji, akan terus memelihara persahabatan kami dengan cinta walau status kami biasa saja.
"Cinta dan persahabatan akan selalu tertanam, tumbuh dan berkembang sepanjang waktu, hingga akhir waktu. Bukan status pacar yang kubutuhkan, tapi aku akan setia memelihara rasa ini hingga kau halal untukku." Kata Rizki ketika dia menyatakan perasaannya padaku. Aku menangis, terharu. Terima kasih Ya Allah, Engkau benar-benar memberiku "Rizki" yang teramat sangat kubanggakan. Biarkan hatiku, hati kami, kuserahkan pada-Mu. Karena hanya Engkaulah yang mampu menentukan segalanya.
Cinta dan persahabatan akan kami jalin hingga ke surga.
No comments:
Post a Comment