Hari ini aku pulang agak terlambat. Nyaris sepuluh menit menuju azan isya, aku baru melaksanakan shalat maghrib. Sungguh, hari selasa hari yang melelahkan. Astaghfirullah~
Sebelum pulang ke rumah, aku mampir dulu ke tempat photocopy. Ada banyak materi yang harus kuperbanyak sebagai bahan untuk semester tujuh ini.
Belum lagi segala yang harus dicopy sangatlah tebal dan menguras uang bekal. Hmmm, semester ini harus ekstra berhemat.
Sebelum pulang ke rumah, aku mampir dulu ke tempat photocopy. Ada banyak materi yang harus kuperbanyak sebagai bahan untuk semester tujuh ini.
Belum lagi segala yang harus dicopy sangatlah tebal dan menguras uang bekal. Hmmm, semester ini harus ekstra berhemat.
Aku menitipkan materi yang akan dicopy dan segera menuju ke mesjid terdekat. Kulihat banyak anak kecil yang sedang mengaji. Bagaimana ya? Aku malu, jam segini baru mau shalat maghrib! Ah daripada sangat terlambat lebih baik aku cepat-cepat mengambil air wudhu dan segera shalat.
Kulihat, mesjid sudah sepi. Hanya mereka yang sedang mengaji saja. Terdengar alunan merdu Pak Kyai sedang melantunkan Surah Al-Mulk. Rasanya hati ini bergetar syahdu. Sampai tak kusadari, air mata mengalir lembut ke pipi.
Kulihat, mesjid sudah sepi. Hanya mereka yang sedang mengaji saja. Terdengar alunan merdu Pak Kyai sedang melantunkan Surah Al-Mulk. Rasanya hati ini bergetar syahdu. Sampai tak kusadari, air mata mengalir lembut ke pipi.
Selesai shalat, aku tidak langsung beranjak. Aku mendengarkan dahulu penjelasan Pak Kyai tentang Surah Al-Mulk ini. Beliau menyampaikan bahwa Rasulullah SAW selalu membaca surah ini sebelum tidur. Juga, surah ini bisa mengingatkan kita pada kematian dan menolong kita di hari akhir. MasyaAllah.
Kulihat di ujung sana nampaknya ada seorang pemuda, mungkin selesai shalat juga. Dia menunduk khusuk mendengarkan Pak Kyai yang sedang melantunkan surah Al-Mulk. Sesekali, dia menyeka kedua mata dengan tangannya. Dia menangis? Entahlah. Aku tidak terlalu jelas dan tidak boleh terlalu lama memperhatikannya.
Kemudian, aku pun beranjak karena harus kembali ke tempat photocopy untuk mengambil materi.
Kemudian, aku pun beranjak karena harus kembali ke tempat photocopy untuk mengambil materi.
Aku keluar melalui pintu yang di dekatnya ada pemuda tadi. Ketika hendak aku melangkahkan kaki ke luar, pemuda itu mendongakan kepalanya dan bangun dari duduknya itu. Dia menghampiriku, aku terperanjat. Ada angin apa barusan?
"Maaf, Teteh sudah berkeluarga?" Tanyanya padaku.
"Eh, hehe, belum." Jawabku sambil memakai sepatu.
"Alhamdulillah. Kalau begitu, saya mau datang ke rumah teteh untuk hitbah." Duaaaar, mataku terbelalak mendengar ucapannya. Apa aku sedang bermimpi? Tapi tidak, ini dunia nyata. Pemuda itu tersenyum. Wajahnya yang oriental pun ditambah senyum menawan membuat jantungku semakin berdegup kencang.
"Eh?" Aku kebingungan.
"Mungkin ini memang mendadak. Wajar kalau teteh kaget. Tapi saya yakin, teteh jodoh saya. Teteh yang akan menjadi penyempurna agama saya." Katanya lagi, sekarang dia menundukan kepalanya. Dan aku masih diam terpaku. Kurasakan angin lembut menyentuh pipiku. Dingin. Pusing. Dan merinding.
"Eh, hehe, belum." Jawabku sambil memakai sepatu.
"Alhamdulillah. Kalau begitu, saya mau datang ke rumah teteh untuk hitbah." Duaaaar, mataku terbelalak mendengar ucapannya. Apa aku sedang bermimpi? Tapi tidak, ini dunia nyata. Pemuda itu tersenyum. Wajahnya yang oriental pun ditambah senyum menawan membuat jantungku semakin berdegup kencang.
"Eh?" Aku kebingungan.
"Mungkin ini memang mendadak. Wajar kalau teteh kaget. Tapi saya yakin, teteh jodoh saya. Teteh yang akan menjadi penyempurna agama saya." Katanya lagi, sekarang dia menundukan kepalanya. Dan aku masih diam terpaku. Kurasakan angin lembut menyentuh pipiku. Dingin. Pusing. Dan merinding.
Bagaimana ya?
Memang sih kuselalu mengidam-idamkan untuk dihitbah. Tapi, ketika memang ada orang yang datang serius, aku selalu bingung harus bagaimana. Rasanya aku belum siap.
Apalagi hari ini. Pemuda yang tidak kukenal tiba-tiba datang menghampiri dan menanyaku untuk hitbah. Pede sekali dia, bagaimana jika aku menolaknya? Hmmm, MasyaAllah, aku masih termangu, tak percaya.
Memang sih kuselalu mengidam-idamkan untuk dihitbah. Tapi, ketika memang ada orang yang datang serius, aku selalu bingung harus bagaimana. Rasanya aku belum siap.
Apalagi hari ini. Pemuda yang tidak kukenal tiba-tiba datang menghampiri dan menanyaku untuk hitbah. Pede sekali dia, bagaimana jika aku menolaknya? Hmmm, MasyaAllah, aku masih termangu, tak percaya.
"Satu minggu cukup untuk kita ta'aruf." Lanjutnya lagi tanpa bertanya apakah aku mau atau tidak.
"Eh kok gitu. Duh, saya belum siap. Saya masih kuliah." Kataku padanya. Dia hanya tersenyum.
"Tidak apa-apa, insyaAllah kita akan bertemu lagi jika memang Allah menakdirkan teteh sebagai penyempurna agama saya. Saya sangat yakin. Dan InsyaAllah saya sudah siap." Jelasnya. Kemudian berlalu sambil memberian surat kepadaku. Aneh.
"Eh kok gitu. Duh, saya belum siap. Saya masih kuliah." Kataku padanya. Dia hanya tersenyum.
"Tidak apa-apa, insyaAllah kita akan bertemu lagi jika memang Allah menakdirkan teteh sebagai penyempurna agama saya. Saya sangat yakin. Dan InsyaAllah saya sudah siap." Jelasnya. Kemudian berlalu sambil memberian surat kepadaku. Aneh.
Aku kembali berjalan ditengah gelap malam. Menuju tempat photocopy yang mungkin sudah selesai dicopy. Pikiranku masih melayang sembari memegang surat yang entah apa isinya. Pemuda tadi siapa? Rasanya aku tidak mengenalnya. Niatnya memang mulia. Ingin menyempurnakan agama tanpa melalui embel-embel dosa. Arrrghh, apa aku sudah siap untuk menikah? Judul skripsi saja belum disetujui, mana mungkin aku bisa menikah. Ah sudahlah. Sesampai di rumah, aku akan membaca surat ini.
Kupergi dan siap-siap menerima kenyataan yang akan terjadi.
.
.
.
Bersambung.
Kupergi dan siap-siap menerima kenyataan yang akan terjadi.
.
.
.
Bersambung.
No comments:
Post a Comment