Tulisan ini aku buat karena aku sadar, dahulu aku telah melakukan kesalahan.
Kajian yang aku dapat kemarin lusa, telah mengingatkanku akan perilaku saat Sekolah Menengah Pertama dahulu. Rasanya malu bercampur sedih jika kembali membayangkan saat itu.
Kata Teh Nina, mentorku, "Berbuat jahil kepada orang lain adalah hal yang buruk, meski itu hanya bercanda. Kita tidak tahu kan, yang kita jahili mungkin saja sakit hati, mungkin mulai membenci, yang akhirnya dapat memutuskan tali silaturahmi. Dosa lah ketika silaturahmi diputus. Naudzubillahimindzalik!"
Saat Sekolah Menengah Pertama, aku sering menjahili orang-orang yang tak kukenal lewat ponsel. Entahlah, bagiku hal tersebut terasa menyenangkan. Terkadang bukan aku saja yang melakukannya, tapi ditemani dua sahabatku yang bernama Sheaty dan Shintya. Hehe.
Suatu ketika, aku menjahili teman di sekolahku. Dia lelaki, tubuhnya tinggi, kulitnya putih, matanya sipit. Kami berbeda kelas, namun dia adalah salah satu siswa di sekolah yang kusuka.
Mungkin karena rasa suka ini akhirnya aku selalu menjahilinya, karena saat itu aku bahagia bisa berkirim pesan dengannya, meski aku menggunakan identitas palsu.
Aku dan kedua sahabatku berniat menjahili lelaki itu. Tentunya semua itu atas ideku. Kami menggunakan salah satu nomer ponsel milik sahabatku, Shintya. Kurang lebih percakapannya seperti ini.
(A: Kami, B: Lelaki itu)
A: hi, boleh kenalan?
B: ini siapa?
A: kamu siapa?
B: aku Gunawan (padahal namanya bukan itu)
A: Oh, Gunawan. Gundul tapi menawan? Hahaha
B: gundul beungeut sia?! (Itu bahasa Sunda ucapan kasar yang artinya gundul wajahmu?!)
Kami langsung tertawa terbahak-bahak setelah membaca respon pesan singkat itu. Kami, khususnya aku, tidak menyadari mungkin balasan pesan darinya adalah ungkapan rasa marah karena telah dijahili. Astaghfirullah.
Dan pada malam hari, Shintya bilang, bahwa lelaki itu terus menelepon ke nomer ponselnya. Shintya tak berani menjawab, karena mungkin dia tidak tahu harus berkata apa nantinya, karena itu semua adalah ideku.
Selang beberapa hari dari kejadian itu, aku memutuskan untuk menjahilinya lagi. Menggunakan nomer yang baru kubeli dari counter di jalan Cipanas. Dengan modus salah sambung, aku mulai berkirim pesan dengannya. Bahkan aku menyamarkan lagi identitasku, dengan nama "Dian", aku memulai menjahilinya. Rasanya bahagia sekali bisa mengobrol, bercerita (tentang kisah yang kukarang sendiri) namun, dia sering menelepon tapi tak pernah kuangkat dengan alasan sedang batuk atau sebagainya.
Hal itu terus aku lakukan, terkadang aku berganti nomer lagi, dan menjahili lagi, lagi dan lagi. Tanpa berpikir panjang akan ketahuan ataupun tak berpikir bahwa semua itu adalah salah.
Sampai suatu ketika, aku mencoba menjahili menggunakan nomer milikku sendiri. Namun masih menggunakan identitas palsu. Entah kenapa aku tak berani jujur padanya. Karena saat Sekolah Menengah Pertama dulu, menyatakan rasa suka itu adalah hal yang rumit dan mungkin butuh persiapan yang panjang untuk itu. Apalagi aku kan perempuan, masih gengsi kalo menyatakan cinta duluan. Haha.
Awal-awalnya lancar, namun setelah beberapa hari kemudian dia mengirim pesan seperti ini padaku, "Mau sampai kapan menjahiliku? Mau sampai kapan membohongiku?" Syok bukan main. Bagaikan petir menghujam jantungku, apa dia tahu?
"Maksudnya?" Balasku pura-pura tak tahu apa-apa.
Tak ada lagi balasan darinya. Apakah ini akhir dari kebahagiaanku? Itulah yang aku pikirkan dahulu. Tentang kebahagian, bukan tentang dosa apa yang nantinya aku tanggung. Niatku memang hanya untuk bersenang-senang, tapi ternyata dibalik semua itu ada banyak kesalahan yang kuperbuat.
Kesalahan itu baru kusadari kini, seperti halnya kesalahan bahwa tak boleh sering-sering berkomunikasi yang tidak penting dengan bukan mahromnya, tidak halal. Selain itu, waktuku hanya dihabisnya untuk memikirkan balasan darinya. Berbohong dengan memalsukan identitas, juga yang paling aku takutkan saat ini adalah kesalahan itu masih berbekas, memunculkan dosa yang tidak terasa. Semoga lelaki itu sudah melupakannya dan memaafkanku sebelum aku meminta. Karena aku sendiri malu jika harus mengakui semuanya.
Usut punya usut, dia tahu bahwa aku yang selama ini mengaku bernama 'Dian', yang selalu berkirim pesan dengannya, adalah dari teman sekelasnya yang juga tetanggaku. Aku tak berpikir panjang bahwa akhirnya pasti akan ketahuan. Ah semoga saja dia maklum, jaman Sekolah Menengah kan masa-masa alay. Hmmmm.
Jadi, selain aku menulis ini, pun aku ingin meminta maaf kepada lelaki yang dahulu, kurang lebih tujuh tahun yang lalu kusukai, maafkan karena aku sering menjahilimu. Semoga Allah mengampuniku karena kesalahanku padamu.
Juga, aku pun meminta maaf kepada siapapun yang pernah aku jahili dahulu, semua adalah proses belajar sehingga aku mengetahui bahwa itu adalah salah.
Untuk lelaki yang bertubuh tinggi, berkulit putih, bermata sipit, maafkan aku.
No comments:
Post a Comment