Siapa sangka hari yang seharusnya
menjadi moment penting dan bahagia itu akan menjadi sebuah kisah yang yaaa
memang “takan terlupakan” seumur hidupku.
Namaku Zahra Nisa, saat itu aku
masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas empat dan akan naik ke kelas lima.
Seperti anak-anak pada umumnya, aku pernah mengalami hal yang bagiku takan
pernah ku lupakan saat itu.
Subuh oh subuh, mengapa aku harus
mandi disaat pagi masih gelap ini. Rasanya seperti jarum yang menusuk-nusuk seluruh tubuhku.
Dan, entah mengapa aku merasa sangat malas untuk bangun di hari yang sepagi
ini. Selimut hangat masih saja membungkus tubuhku yang mungil, dan lebih tepatnya tubuh yang kurus kerempeng.
Sehingga, angin subuh bisa seenaknya menggoda tubuhku ini.
Teriakan dahsyat
dari ruangan sebelah di kamarku mulai mengguncangkan dunia mimpiku. Rasanya
teriakan itu sudah tak asing lagi ku dengar. Ya, itu adalah suara Ibuku. Suara
merdu nan halus namun dengan nada yang sedikit naik, juga volume full
membuyarkan mimpi indah itu.
“Zahra Nisaaa,
cepat bangun waktunya shalat subuh dan hari ini kan kenaikan kelas. Kamu harus
pergi ke salon. Cepat banguun!”
Ahh tidaak!
Waktu masih menunjukan pukul empat lewat tigapuluh menit. Namun aku takut Ibuku
marah akhirnya aku memaksa tubuh ini untuk beranjak dari tempat yang nyaman nan
hangat itu. “Iya bu, Rara bangun nih.”
Setelah selesai
semuanya, aku segera berpakaian dengan sedikit tidak rapih. Mengapa, karena aku
akan pergi ke salon menyewa baju kebaya untuk acara hari ini di sekolah,
otomatis aku tidak usah berpakain terlalu rapih. Aku langsung berangkat ke
salon ditemani kakak perempuanku. Aku memanggilnya teteh. (sebutan kakak
perempuan dalam bahasa Sunda)
“Teh, kenapa
hari ini males banget ya Teh. Rara gak mau ikut acara kenaikan kelas ah.” Aku
merajuk di tengah subuh yang dingin itu.
“Kamu ini!
Jangan mengeluh terus. Udah watak kamu tuh memang malas. Ayo cepat jalannya,
dingin nih!” Kakakku memeluk tubuhnya sendiri karena memang dingin. Dan aku,
aku masih merasa hari ini tidak cukup bersemangat. Namun karena di acara itu
aku ikut tampil, naik ke atas panggung jadi mau tidak mau aku harus datang.
Sesampai di
salon, Salon Andi namanya. Tidak jauh dari rumahku. Aku langsung bergegas untuk
ganti pakaian. Aku memakai baju kebaya warna putih dan samping coklat dengan
corak mega mendung. Setelah memakai kebaya, aku siap-siap untuk dimakeover oleh Ibu Andi pemilik salon
tersebut.
Satu jam
kemudian. Selesailah proses perombakan wajah polosku menjadi wajah yang begitu sangat
asing dengan tamplokan warna warni di setiap sisinya.
“Waaah si neng
meni cantik.” Ujar Bu Andi. Aku tidak yakin. Beliau memujiku entah aku cantik
beneran atau hanya untuk pencitraan hasil makeovernya.
Yang pasti aku tidak nyaman dan ingin segera mengakhiri semua ini.
“Siapa dulu
dong, kakaknya juga kan cantik ya Ra? Haha.” Kakakku menyenggol aku yang saat
itu aku sedang memakai sepatu high heels yang
kurang lebih tingginya hanya lima senti meter. Otomatis aku langsung terjatuh
saat itu dan braaaakksss sanggul yang
aku pakai copot dari kepalaku. “Teteeehhh ihh nyebelin. Udah mau siang juga!
Aku malu lewat ke jalannya kalau harus berdandan seperti ini.” Aku jengkel saat
itu dan Bu Andi langsung membetulkan kembali sanggulku itu. Oke, selesailah
sudah proses makeovernya. Aku dan
kakakku segera pergi meninggalkan salon tersebut setelah membayar sewa segala
barang yang aku pakai kepada Bu Andi. “Semoga sukses acaranya ya.” Bu Andi
melambaikan tangannya. “Aamiin, terimakasih Bu.” Ya, semoga saja.
Karena rumahku
tidak jauh dari Salon Bu Andi dan Salon Bu Andi tidak jauh dari sekolahku jadi
aku dan kakakku jalan kaki ke sekolah. Saat itu waktu menunjukan pukul tujuh
lewat sepuluh menit. Sepanjang jalan aku hanya menunduk. Walau saat itu aku
masih SD namun aku tetap punya perasaan malu saat orang-orang menatapku dari
ujung kaki ke ujung kepala. Entah terpukau atau malah seperti melihat badut
ancol berkebaya putih jalan-jalan. Entahlah. Sepanjang jalan pula aku merasa
tidak nyaman dengan properti-properti yang menempel di tubuhku khususnya
sanggul yang ada dikepalaku. Namun semua itu akan segera berakhir jika aku
cepat tiba di sekolah.
Tempat yang
sangat dinantikan. Sekolah Dasar Negeri Cipanas V. Ya, itulah nama sekolahku.
Bukan sekolah milikku, tapi sekolah dimana aku belajar dan menimba ilmu. Ramai
sekali. Penuh dengan siswa-siswi yang memakai warna warni pakaian adat senasib
dengan diriku, penuh dengan suara-suara nyanyian yang seru, penuh dengan orang
tua murid, dan tak sepi pula dengan pedagang yang memang yakin kalau ada acara
seperti ini seluruh dagangannya akan habis terjual.
Saat waktu
menunjukan tepat pukul delapan. Itulah tanda bahwa acara akan segera dimulai.
Sambutan demi sambutan selesai disampaikan oleh para pemuka sekolah. Dan kini
tiba saatnya penampilan dari kelas empat yakni penampilan dari kelasku. Kami
akan menyanyikan tiga buah lagu. Semuanya segera bersiap-siap sebelum MC mempersilahkan naik keatas panggung.
Namun, tidak denganku. Aku merasa tidak enak hati saat itu. Aku terus merapikan
pakaian yang entah mengapa aku merasa tidak nyaman. Walau tempat acara ini indoor yaitu didalam ruangan yang
sedikit gelap tetap saja aku merasa tidak nyaman.
“Rara, ayo
berbaris. Setelah ini kalian kan akan tampil.” Teriak salahsatu guruku. Aku langsung
berjalan menuju panggung dengan wajah yang cemberut. Saat itu MC mulai berteriak mengeluarkan suara
yang tidak ingin aku dengar, entah mengapa hari ini aku merasa tidak nyaman!!!
“Untuk
menampilan selanjutnya, mari kita saksikan menampilan dari kelas empat. Beri tepuk
tangan yang meriah.” Semua penonton, termasuk orangtuaku yang ikut menonton
juga ikut tepuk tangan. Saat aku menoleh, ibu tersenyum padaku dan ya
lumayanlah untuk sedikit menenangkan jangtungku yang dari tadi terus saja
dag-dig-dug tak menentu.
Setelah semua
berada diatas panggung, dan aku saat itu berposisi di barisan kedua, mulailah
satu lagu ditembangkan. Formasi lagu pertama ini hanya melangkah ke kanan dan
ke kiri saja. Namun formasi untuk lagu kedua yaitu lagu Sunda yang bertemakan
kebahagian, ada gerakan yang harus meloncat-loncat kecil. Namun ya aku ikuti
saja supaya terlihat kompak antara satu dengan yang lainnya.
Salahsatu lirik
dari lagu tersebut adalah bagian “Seuri gumbira, hap hap hap hap jreeenggg”
semua menyanyi sambil melompat-lompat. Tapi tiba-tiba barisan di belakangku
menjerit dan berteriak teriak. Entah apa yang sedang terjadi, tapi adegan ini
diluar dari bagian panampilan kami. Dengan setting lampu yang sedikit gelap,
aku menoleh ke belakang ternyata ada sesuatu yang menggelinding di panggung dan
itu sedikit besar dan hitam. Seisi panggung bergemuruh, loncat-loncat,
teriak-teriak, bahkan ada yang menangis. Dasar bocah. Sedangkan penonton hanya
tertawa. Ya tertawa bagaikan melihat lawak di acara tv swasta.
“Ibuuuuuu, ada
tikuuusss, huuaaaaa tikuuussss huuaaaaaaa..”
“Mamaah aku
takut…papaaa akuu takuut” kenapa tidak kau sebut saja semua keluargamu!
“Haaaaaaa haaaaa
haaaa…” (jeritan anak-anak)
“huaaaaa
huuuuaaaaa huuaaaaa…” (tangisan anak-anak)
Setelah panggung
benar-benar kacau, ada salahsatu temanku Elan berteriak.
“Itu bukan
tikuuus, tapi sanggulnya Zahra jatuuuhhh.”
Refleks aku
langsung memegang kepalaku. Dan, benar sanggulku hilang lebih tepatnya jatuh
dan membawa kekacauan. Seketika semua teman-teman (juga penonton) menatap kepadaku.
Wajahku memerah persis seperti angry bird bahkan lebih merah dari itu. Lalu,
“hahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha” seisi ruangan pengap itu tertawa
terbahak-bahak, aku malu, aku ingin menangis, aku ingin kabur menggunakan
pesawat tempur dan pergi menyendiri. Dan, aku memutuskan untuk berlari turun ke
panggung.
MC
menenangkan
seisi panggung sampai sepi kembali. Untung saja panggungnya tidak roboh. Di
belakang panggung aku hanya menangis dan terus menangis. Ibuku menenangkanku
sambil tertawa terbahak-bahak pula. Katanya, “Pengalaman Ra, pasti akan selalu
terkenang.”
Setelah kejadian
itu, walau sempat libur semester selama dua minggu. Sepertinya teman-teman
tidak lupa akan kejadian itu. Setiap orang yang melihatku pasti tertawa, bahkan
ada yang mengejeku dengan sebutan “Si Kondeh” ya, konde itu nama lain dari
sanggul. Tapi aku ingat pesan ibu bahwa hal itu adalah sebuah pengalaman dan
pasti akan selalu terkenang, jangan pernah marah atau diambil hati. Aku bawa happy saja, mungkin teman-temanku
terlalu mengapresiasiku, lantas semua itu pasti akan hilang sendiri bersama
bergulirnya waktu. Sampai detik ini, aku menulis kisahku ini. Bahwa yang telah
terjadi sepuluh tahun yang lalu adalah moment yang takan pernah terlupakan.