Pagi ini cuaca
sangat dingin, rintik hujan terus membasahi tanah Pharmindo yang sejak tadi
malam tak kunjung usai. (Pharmindo adalah nama komplek rumahku.)
Aku, Zahra Nisa mahasiswi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Kota bandung. Seperti biasa, pagi ini aku harus berangkat kuliah. Setelah siap semuanya dan waktu pun mulai menunjukan pukul enam lewat tiga puluh menit aku segera berangkat karena hari ini jadwalku di kelas pagi.
Aku pergi ke kampus tidak menggunakan kendaraan pribadi baik itu motor, mobil, bahkan pesawat itu sangat tidak mungkin. Jarak yang harus kutempuh lumayan sangat jauh sehingga aku ke kampus pergi menggunakan bis kota. Uniknya, bis kota yang satu ini tidak bisa berhenti di sembarang tempat tapi wajib berhenti pada tempatnya yang disebut shelter. Dan, shelter itu tidak berada di depan kampusku melainkan di depan kampus sebelah sehingga aku harus sedikit berolahraga setelah aku turun di shelter itu.
Baiklah, hari ini aku menunggu bis kota cukup lama. Sebenarnya aku takut terlambat tiba di kampus tapi waktu masih menunjukan pukul tujuh tepat, aku masih punya waktu satu jam lagi agar tidak terlambat. “Pak, bisnya masih lama?” tanyaku kepada salahsatu penjaga di shelter itu. “Engga neng, paling sepuluh menitan lagi lah.” Jawab bapak itu dengan santainya. Dari waktu ke waktu, menit demi menit, penumpang bis kota terus bertambah banyak. Aku takut tidak mendapatkan kursi untuk duduk yang akhirnya terpaksa aku berdiri. Tapi hari ini aku harus lebih gesit lagi agar tidak harus berdiri seperti yang sering aku alami dan itu lumayan pegal.
Jarak lima meter, bis itu mulai nampak terlihat. Semua penumpang berlomba-lomba berdiri tepat di depan pintu masuk bis termasuk aku yang sama-sama ingin mendapatkan kursi. Saat itu pula, dari arah yang berlawanan ada seorang remaja berlari mungkin akan naik bis ini juga “Permisi..permisii…permisii”. Dia laki-laki mengenakan jas almamater namun tidak terlihat nama kampusnya. Dengan tergesa-gesa dia langsung membayar ongkos kepada petugas dan BRAAAAAAKKKKSSSSSS dia menabrakku dan menjatuhkan buku-buku yang sedang kupegang, lalu menerobos masuk begitu saja dan hanya mengucapkan “Ehh, maaf.”
“Ya ampuuunnnn, aku ingin segera
masuk bis dan ingin mendapatkan kursi sepertinya sia-sia.” Aku menggerutu dalam hati dan segera membereskan dulu
buku yang jatuh tadi dan kemudian saat masuk tidak ada kursi kosong. Dan
sebalnya, lelaki yang menabrakku tadi duduk dengan manis padahalkan dia baru
datang sedangkan aku yang sudah lama menunggu harus berdiri, “Huh rasanya tidak
adil dan itu sangat menyebalkan!” Mulutku berkomat-kamit tak karuan. Terpaksa aku berdiri dengan menenteng
buku-buku.
Setelah kurang lebih lima belas menit perjalanan, lelaki tadi datang menghampiri dan menepuk pundakku.
“Hei, maaf ya soal yang tadi.” katanya.
“Ohh. iya tidak apa-apa.”
Padahal hati ini sangat kesal.
“Kalau mau duduk, itu silahkan.”
Menunjukan kursi yang tadi dia tempati.
“Oh, iya terima kasih.”
Belum sempat aku melangkahkan kaki, tiba-tiba ada penumpang lain yang langsung nyerobot duduk di kursi itu. Dan, kami berdua yakni aku dan lelaki itu refleks berpandangan dan tertawa kecil yang pada akhirnya kami berdua berdiri.
“Hahaha. Yasudahlah aku berdiri
saja.” Kini aku pasrah dengan keadaan.
“Hehe. Maaf ya. Oh iya kamu
kuliah dimana?” Hmm mulai deh modus ngajak kenalan nih.
“Aku? hehe aku kuliah di STIE
Inaba.”jawabku singkat, padat dan jelas pastinya.
“Ohh ya? Berarti tetanggaan dong
sama saya. Saya di LPKIA depan shelter bis ini. Kamu tau?”
Ehhh buset dah ini anak nanya
yang gak penting banget, “Hehe ya tau lah orang tiap hari kan aku turun dan
lewat situ. Ohh LPKIA iya iya.” Padahal akukan tidak bertanya. Hehe.
“Ya kali aja gak tau gitu.
Hahaha.” Dia tertawa dengan sangat keras dan membangunkan penumpang yang sedang
asik menikmati perjalanan di dalam mimpi. “Maaf, maaf. Hehe” kata lelaki itu tersipu malu. Aku
hanya menarik nafas dan membuang lagi seketika karena memang bingung dengan
tingkahnya.
Sepanjang perjalanan kami terus berbincang-bincang tidak karuan. Tanpa sadar kami akan segera sampai di tujuan. Semua perbincangan kami terputus karena petugas bis berteriak dengan sangat merdu dan menawan namun menggelegar, “Batununggal, LPKIA, Soekarno-Hataa.” Tanpa menyebutkan STIE Inaba. Huhu. Dan, disinilah shelter tempat kami turun.
“Sudah sampai ternyata. Perasaan
sebentar banget ya? Hehe.” Ucap lelaki itu.
“Oh ya, masa? Bagiku tadi sangat
lama dan membosankan.” Ujarku langsung keluar dari shelter tersebut. Lelaki itu
hanya tersenyum. “Aku duluan ya, sudah mau masuk nih.” Aku langsung lari karena
kampusku tidak begitu jauh dari shelter. “Oh iya sip, silahkan.” Jawab lelaki
itu yang saat ku lihat dia terus menebarkan senyumannya. Sekitar lima menit
kemudian aku tiba di kampus dan Alhamdulillah tidak terlambat. Mata kuliah
pertama mulai berlangsung, dilanjut mata kuliah kedua dan seterusnya sampai
tiba waktunya aku pulang.
Setelah aku pamitan kepada teman-teman, sekitar pukul tiga aku langsung pulang karena takut tidak kebagian bis yang memang pada jam-jam seperti ini selalu penuh. Mataku yang minus tidak terlalu bisa melihat jarak yang begitu jauh tanpa bantuan kacamata. Pandanganku tertuju pada shelter yang sepertinya kosong dan belum terlihat ada bis kota yang datang. Saat aku berjalan dengan santai sambil membaca novel, sekitar sepuluh meter menuju shelter ternyata bis kota itu sudah menepi dan karena tidak ada penumpang bis itu melaju kembali dan melintas dikedua mataku seakan melambaikan tangan dan berkata “Selamat tinggal, silahkan menunggu bis selanjutnya.” Lamunanku membuyar karena aku menabrak salahsatu pejalan kaki di jalan tersebut. “Aduuh. Ehh maaf bu maaf tidak sengaja.” Aku menunduk-nundukan kepala kepada ibu-ibu itu, beruntung beliau sangat baik dan menjawab sambil tersenyum “Iya enggak apa-apa neng, lain kali hati-hati ya jangan melamun, takutnya kendaraan yang nanti neng tabrak hehe.” Canda ibu tersebut dan ya sedikit menghibur, “Iya bu. Hehe.” Aku segera berlalu dan langsung masuk shelter yang penjaganya masih muda dan jujur tidak dapat dipungkiri dia sedikit ganteng. Hehe. Sedikit.
“Ihh si Aa teh, kenapa engga
ditahan dulu bisnya!” Aku mengkritik panjaga shelter itu.
“Kirain gak akan naik bis yang
sekarang neng, hehe. Biasanya juga kan suka jajan dulu dan jajannya suka lama.”
Jawab petugas itu sembari nyengir kuda.
“Yaelah A, kan saya jajan lama
soalnya nunggu bisnya juga lama gimana sih.”
“Ya sudah neng, nunggu lagi aja
paling duapuluh menitanlah kan ada waktu tuh buat jajan hehe kurang pengertian
apalagi coba neng.”
“Hahahaha, yasudah A. Mau nunggu
aja.” Aku tidak jajan karena aku sedang shaum.
Cuaca yang panas semakin mengeringkan tenggorokanku. Kalian tahu PHP? Ya, Pemberi Harapan Palsu. Dan, penjaga shelter ini sudah terbiasa menjadi PHP. Dia bilang sekitar dua puluh menitan lagi bisnya datang tapi ini sudah lewat dari tiga puluh menit bis itu tak kunjung datang. Aku hanya diam saja tak mengeluh, sabar, sabar, sabar. Setelah sepuluh menit dari tiga puluh menit tadi akhirnya bis itu datang juga. Aku membayar dan langsung bersiap di depan pintu shelter. Saat bisnya menepi ternyata sangat penuh bahkan berjejal tapi aku sudah menunggu sejak lama jadi aku masuk saja. Sebelum bis melaju, petugasnya berkata “Tahan, tahan, tahan.” Itu menndakan bahwa masih ada penumpang yang akan masuk. Ternyata, penumpang itu adalah lelaki yang tadi pagi. Entah mimpi apa tadi malam, aku bertemu lagi dengan lelaki itu.
“Ehh hei, ketemu lagi kita.”
Mulai deh dia senyum-senyum tebar pesona.
“Iya ya hehe, padahal aku bosen
ketemu kamu lagi.haha” candaku.
“Kok bosen? Kan baru ketemu.
Ciyeee mungkin udah ngerasa deket jadi bosen.” Lagi lagi lelaki itu nyengir
kuda.
“Salah ngomong aku, hahaha.”
“Hehe, oh ya ngga dapat kursi?
Penuh banget ya ini.” Kalo aku berdiri berarti aku tidak dapat kursilah, itu
pertanyaan aneh kedua yang dia tanyakan.
“Ohh dapat kok dapat, kan ini
lagi duduk.” Jawabku sedikit kesal. Tapi dia biasa saja. Dasar wajah tanpa
dosa.
“Haha, kamu ini bisa aja.”
Inilah waktu yang sangat aku tunggu, bis ini berhenti di shelter Terminal Lewi Panjang. Biasanya banyak penumpang yang turun disini and that is true, aku senyum lebar melihat penumpang banyak yang turun bagaikan merpati-merpati yang keluar dari sangkarnya. Akhirnya aku bisa menghirup udara yang dari tadi hanya sedikit saja aku bisa bernafas. Aku melihat banyak kursi kosong dan aku segera duduk dan diapun ikut duduk juga. Disebelahku. Dan dia mulai lagi bermodus kepadaku.
“Akhirnya bisa duduk juga ya.
Hehe.”
“Iya ya, Alhamdulillah.”
“Oh iya, dari tadi ngobrol terus
tapi gak tau nama masing-masing hehe.” Terus aku harus tau siapa nama kamu
gitu? Haha tapi yasudahlah hitung-hitung silaturahim nambah teman. “Nama kamu
siapa?” lanjut lelaki itu. Aku langsung menjawabnya, “Iya hehe, aku Zahra.”
Sudah pasti aku tidak akan balik menanyakan namanya karena sudah pasti pula dia
akan langsung menjawabnya. “Aku Muhammad Randi Hidayatullah, panggil saja Randi
hehe salam kenal.” Bahkan aku tidak menanyakan nama lengkapnya. Aku tersenyum
dan mengiyakan saja.
Sampai di shelter pemberhentian terakhir, dimana aku harus turun. Dan saat itu aku tidak langsung pulang karena jarak yang lumayan jauh dari shelter aku harus naik lagi satu kali kendaraan umum, waktu menunjukan pukul empat lewat dua puluh menit. Aku memutuskan untuk shalat ashar dulu di mesjid dekat shelter itu karena takut tidak sempat dan kesorean di jalan. Dari belakang terdengar ada yang bertanya padaku, siapa lagi kali bukan lelaki itu, Randi.
“Zahra, kamu enggak pulang? Mau
kemana?”
“Iya aku mau ashar dulu di mesjid
itu.”
“Oh yasudah bareng ya.” Aku hanya
menundukan kepala tanda mengiyakan.
Seusai shalat ashar, aku pamit
pulang duluan kepada Randi. Dan Randipun pamit pulang kepadaku. Jadi kami
langsung berpisah di depan mesjid itu. Aku langsung naik angkot merah namun
Randi berjalan lagi menuju shelter yang tadi. Aku merasa ada yang aneh dengan
anak itu. Yasudahlah jangan dipikirkan. Setelah duapuluh menit perjalanan, aku
tiba di rumah. Aku langsung istirahat sejenak setelah itu mempersiapkan untuk
buka puasa. Terima kasih Ya Allah, Kau telah memberikan kemudahan dan
kenikmatan untukku hari ini.
Keesokan harinya, jadwal kuliahku siang pukul Sembilan jadi aku tidak terlalu harus tergesa-gesa. Setelah siap aku langsung berangkat. Seperti biasa, aku harus naik bis kota lagi dan berharap hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari ini aku bisa mendapatkan tempat untuk duduk. Sampai di shelter dari kejauhan sepertinya aku melihat sosok yang sudah tidak asing lagi, ya itu adalah Randi. Dia melambaikan tangannya kepadaku, aku hanya tersenyum, bingung.
“Udah lama nunggu? Bisnya belum
datang ya.” tanyaku pada Randi dan aku langsung duduk.
“Iya nih aku udah nunggu satu jam
lebih bisnya belum datang, katanya sih lima belas menitan lagi. Iya kan Pak?”
Kata Randi dan melontarkan pandangannya pada Bapak petugas shelter. Namun itu
adalah suatu kesalahan yang sepertinya membuat aku ingin tertawa puas dan
menimbulkan sebuah tanda Tanya besar. Bapak petugas itu menjawab sambil
tersenyum.
“Ah si Aa ini. Udah dua bis yang
lewat tapi tidak naik naik ya pantas bilang nunggunya satu jam lebih juga
padahal tidak terlalu penuh loh bisnya. Nungguin si Nengnya kali ya.” Bapak itu
tertawa kecil dan melihat ke arahku. Aku bingung, sudah dua bis yang lewat
kenapa Randi tidak naik? Aku tanyakan saja padanya, dan dia tidak bisa
beralasan bisnya penuh karena sudah diperjelas oleh Bapak petugas tadi.
“Serius ran?? Haha kenapa kamu
tidak naik? Aduuh ada-ada saja.” Tanyaku sedikit cuek.
“Hehehe, aku masuk jam sebelas
kok. Jadi ya santai saja.” Jawaban yang membuatku ingin mengajukan lagi
pertanyaan.
“Jam sebelas?? Masih lama, tapi
kenapa jam segini udah nunggu disini haha kamu ini aneh.”
“Aku kan rajin Ra, gesit pula.
Jadi ya lebih cepat lebih baik kan. Hehe.” Sepertinya Randi sudah tidak bisa
menjawab lagi dan aku sudah tidak ingin bertanya lagi. Aku melirik padanya,
dilihat wajahnya memerah sangat merah. Aku hanya tersenyum dan tidak merasa
bahwa yang Randi lakukan itu adalah untuk menungguku, aku tidak berpikir
seperti itu, tidak sama sekali.
Bispun akhirnya datang, keinginanku terkabul hari ini. Tidak banyak penumpang yang akhirnya aku bisa duduk dengan nyaman. Aku melihat banyak kursi kosong tapi mengapa Randi duduk disebelahku? Ya mungkin hanya aku yang dia kenal, ya mungkin saja. Sepanjang perjalanan, Randi yang biasanya berkicau bagai burung beo hari ini dia hanya diam saja. Entahlah, aku bingung menanggapinya.
Belum sempat aku bicara, dia duluan memulai pembicaraan. Akhirnya, suasana mencair kembali dan sedikit tidak sepi.
“Zahra, kamu tau Holis?
Pasirkoja?” dan ini adalah pertanyaan aneh ketiga yang dia tanyakan padaku.
“Kamu ini. Ya jelas tau lah. Kan
tiap hari bis ini lewat jalan itu. Dan lumayan cukup jauh sih.”
“Iya jauh ya, rumah aku kan di
daerah pasir koja.” Bicaranya dengan nada yang datar. Hah? Rumahnya di
pasirkoja?! Lantas mengapa dia naik bis di daerah Rajawali? Tanda Tanya besar
mulai mengitari otakku.
“Loh? Terus kenapa kamu naik bis
di Rajawali? Kan muter lagi dan jauh pula. Aneh memang ya kamu ini. Hehe.”
“Iya aku memang aneh hehe ya
sedikit ingin jalan-jalan lah.” Jawabannya masih dengan nada yang datar. Aku
semakin bingung dengan lelaki ini. Aku hanya senyum dan tidak bertanya-tanya
lagi. Dia meneruskan pembicaraannya, “Ra, setiap hari aku lihat kamu ada di
shelter depan kampusku. Setelah kamu naik bis, aku langsung tanyakan kepada
penjaganya “Cewek tadi turun dimana A?” dan petugas itu menjawab shelter
Rajawali. Jadi, kemarin pagi aku langsung pergi ke shelter Rajawali dan
akhirnya memang benar aku ketemu kamu. Dan aku ikut naik bis ini, motorku
dititip saja ke petugas shelter Rajawali.” Aku masih belum bisa berkomentar
tentang cerita Randi, penjelasannya belum bisa aku cerna. Maksudnya apa dan
tujuannya apa sehingga dia melakukan hal itu. Tapi mungkin Randi juga belum mau
mendengar komentarku jadi dia melanjutkan lagi pembicaraanya. “Sepertinya ada
sesuatu yang beda darimu Ra.” Nah loh, ko jadi aku?? Aku menjadi tegang dan
deg-degan. Aku bingung kaget dan perasaanku mulai tidak enak, “Ehh? Ko jadi
aku?” aku menjawab dengan sedikit grogi.
“Iya kamu. Kamu beda Ra. Walau
saat itu aku tidak mengenalmu tapi rasanya hatiku terpanggil untuk bisa
berkenalan denganmu. Dan akhirnya aku bisa mengenalmu Ra.” Aduuh bicara apa sih
ini anak, muter-muter deh ngomongnya. Bukan aku pura-pura tidak mengerti
maksudnya tapi aku memang benar-benar tidak mengerti. “Iya Randi, kita jadi
kenal kan ya sekarang hehe.” Jawabku ceplos. Namun sepertinya Randi tidak
mengharapkan jawabanku itu. Dia bicara lagi dan lagi sampai aku tidak diberikan
kesempatan untuk bicara. “Tuh kan Ra, kamu memang beda haha kamu ini baik dan
pendiam. Yasudah jika kamu ngga ngerti-ngerti aku mau to the point aja. Aku
suka sama kamu Ra. Kamu pasti bingung kan, baru kenal tapi sudah bicara seperti
ini. Ya, akupun bingung kenapa aku bicara seperti ini. Tapi siapa sangka kan?
Cinta itu bisa datang kapan saja dan dimana saja. Mungkin aku menemukan cintaku
di shelter itu.” Randi diam, aku diam dan semua penumpangpun diam. Namun ada
satu penumpang yang melontarkan kalimat yang membuat penumpang lain tidak jadi
diam, “Udaah Neng, terima aja! Hahaha.” Aduuh apa-apaan ini. Aku menjadi malu
tapi tidak dengan Randi. Rasanya dia mendapat dukungan dari salahsatu penumpang
itu. Randi hanya tersenyum menyeringai dan aku hanya diam tanpa kata.
Speechless.
“Randi malu ihh jangan disini!”
suaraku sedikit aku pelankan.
“Kenapa Ra? Sebentar lagi kita
turun nih. Kamu mau kan jadi pacar aku?” Ya, sebentar lagi kami akan turun.
Belum sempat aku menjawab, bis menepi di shelter Batununggal dan aku harus
segera turun.
Setelah kami berdua turun dari bis, Randi masih saja menguntitku. Aku bingung harus menjawab apa. Aku takut membuat dia marah dengan jawabanku. Tapi mungkin ini yang terbaik daripada dia harus terus larut masuk kedalam rasa yang dialaminya padaku. Akupun menjawab dengan sedikit gugup.
“Maaf Randi, tapi apa yang kamu
pikirkan tentangku itu tidak sama. Aku tidak bisa menjadi pacar kamu. Maaf.”
Aku menunduk, Randi melotot mungkin dia kecewa. “Kamu sudah punya pacar?” nada
suaranya kini menjadi melemah.
“Iya Randi, maafkan aku.” aku
hanya bisa terus meminta maaf padanya, aku takut menyakiti hatinya dan walau
saat itu aku tau hatinya pasti merasa sakit. Tapi bagaimana lagi, sebelum semua
terlambat kan?
“Hehe, maafkan aku Ra. Aku tidak
tau. Pantas saja kamu selalu cuek menanggapiku. Ternyata sudah ada lelaki yang
beruntung mendapatkanmu.” Beruntung? Dikata ini undian apa! Huh.
“Hehe, maafkan aku. Tapi kita
masih bisa berteman kan.” Aku bingung harus bicara apalagi.
“Iya Ra, kita bisa berteman.
Walaupun sebagai teman, aku akan sangat bahagia.” Randi menyembunyikan sesuatu
dibalik matanya. Dan aku tau itu. Sebuah kekecewaan yang dia dapati dariku.
“Senyum dong hehe, kamu adalah
teman yang paling aneh yang aku kenal. Mulai besok jangan titip-titipkan lagi
motormu di shelter itu ya. Hahaha.”
Randi hanya tertawa dan aku juga tertawa jadi kami berdua tertawa. Orang-orang sepertinya aneh melihat kami. Tapi tak apa karena ini semua akan segera berakhir dengan bergulirnya waktu yang menunjukan pukul 08.45 WIB. Ya! Sebentar lagi aku akan masuk. Sebelum terlambat, aku segera pamit pada Randi.
“Ran, aku masuk pukul Sembilan.
Aku duluan yaaa. Semangat.” Aku melontarkan senyuman dan semangat kepada Randi
sekedar untuk membuat dia tenang.
“Iya Ra, sampai jumpa lagi ya.”
Aku berlari dan mengangkatkan jempol pertanda mengiyakan ucapan Randi.
Sepanjang jalan menuju kampus,
aku merasa tenang. Meski aku tau bagaimana perasaan Randi saat itu. Perempuan
yang dia sukai ternyata sudah mempunyai kekasih hati. Mungkin batinnya menyesal
mengapa dia harus mengungkapakan perasaan yang akhirnya menimbulkan kekecewaan.
Aku berharap Randi bisa menerimanya. Dia orang yang baik, walau sedikit aneh
dan menyebalkan.
Hari demi hari mulai terlewati. Aku tidak pernah lagi melihat dia menunggu di shelter dengan melewatkan beberapa bis hanya sekedar untuk pergi bareng denganku. Namun aku merasa senang akan hal itu. Begitupun setelah pulang kuliah, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya di shelter depan kampusnya. Pernah aku merasa bahwa, apakah dia marah padaku? Merasa kecewa padaku? Tapi ya sudahlah mungkin ini yang terbaik.
Sampai suatu hari, saat aku pulang kuliah dan segera pergi ke shelter, kudapati banyak namaku tertulis disebuah kertas yang menempel di kaca-kaca shelter itu.
“Zahra” “Zahra I Love You” “Zahra
aku menunggumu” “Zahra pujaanku” dan kertas terakhir bertuliskan “Zahra, semoga
kelak kau bahagia dengan seseorang yang beruntung mendapatkanmu J”
Aku segera mencabuti semua kertas-kertas
itu. Ini pasti ulahnya Randi. Aku bertanya pada panjaga shelter disitu. “A,
kenapa ngga dilepas sih kertas-kertas ini?? Kan jangan mengotori shelter.”
Dengan santainya panjaga itu menjawab, “Ahh biarin aja Neng, Aa Cuma menghargai
perjuangan cintanya si Randi.” Loh? Dia tau Randi. “Tuh kan Randi! Kok Aa tau?”
heran aku dengan anak itu. Penjaga shelter meneruskan ceritanya. “Hampir setiap
hari dia mewawancarai Aa, neng. Dan semua pertanyaannya tentang Neng semua.
Neng lihat tuh ke seberang, ada penampakan. Haha.” Aku langsung melihat
keseberang shelter dan ternyata disana ada Randi melambaikan tangan dia
tersenyum padaku dan mengeluarkan poster yang tidak begitu besar. Aku merasa
beruntung dengan mata minusku, aku tidak bisa melihat jelas tulisan yang ada di
poter itu. Karena aku yakin tulisannya adalah ungkapan hatinya Randi. Jika aku
mengetahui isi tulisannya maka aku akan merasa tidak enak lagi padanya.
Randi… Randi, aku hanya tersenyum melihat tingkah lakunya. Biarlah yang pernah aku alami akhir-akhir ini bisa menjadi pengalaman bagaimana caranya tetap menjaga sebuah hubungan walau sebatas teman. Aku mulai berpikir, bagaimana kalau pacarku yang jauh disana mengetahui hal ini. Yang pasti aku merasa tenang saja, karena aku tetap bisa menjaga hatiku untuknya. Cintaku hanya untukmu yang berada jauh disana.
No comments:
Post a Comment