Bandung mendung. Sama seperti
hatiku yang sedang mendung. Bukan karena putus cinta atau dicuekin pacar, ahhh
itu sudah terlalu mainstream. Tapi, karena hari ini aku harus kuliah pagi pukul
tujuh pastinya. Jarak yang aku tempuh dari rumah ke kampus jauhnya bukan main.
Satu jam lamanya, belum ditambah lama menunggu kendaraan, kendaraan ngetem,
macet dan lain sebagainya sehingga waktuku habis hanya sekedar diperjalanan.
Kurasakan dinginnya pagi di kota Bandung yang akhir-akhir ini udaranya tidak begitu segar. Meningkatnya populasi transportasi, semakin meningkat pula polusi yang menggandrungi kota kembang ini. Aku berangkat tepat pukul enam, dan berharap semua dilancarkan tanpa ada halangan-halangan yang menghadang.
Tiba di halte bis, aku mengitari ke sekelilingnya namun tak Nampak satupun bis yang muncul. Akhirnya aku memutuskan untuk naik angkot “Elang-Gede Bage”. Sebenarnya aku enggan naik angkot ini. Banyak yang harus dipertimbangkan. Tapi, melihat waktu yang berjalan begitu cepat akhirnya aku naik angkot tersebut.
Petualanganpun dimulai. Matahari sepertinya malu menampakan diri dibalik gelapnya awan di pagi ini. Kulihat kabut sedikit menutupi gedung-gedung tinggi di kota ini. Hembusan angin menjalar keseluruh tubuhku dan membuatku semakin merasa dingin. Aku memandangi suasana Bandung pagi ini, padat. Selalu begitu.
…..
Selasa, 25 Februari 2014. Aku
berangkat ke kampus dengan menggunakan kendaraan umum yakni angkot “Elang-Gede
Bage”. Belum pernah aku sampai ke kampus dengan lancar kalau naik angkot ini.
Walaupun demikian, karena susahnya
fasilitas bis yang melintasi kampusku di kota Bandung ini, angkot adalah
salahsatu alternatif walau aku harus selalu berkorban karenanya.
Saat itu penumpang angkot Gede Bage tidak begitu penuh. Aku kira quantitas penumpang tidak akan mempengaruhi supir angkot untuk tidak melanjutkan perjalanan. Namun semua itu salah. Saat penumpang hanya satu atau dua saja, diturunkanlah penumpang tersebut di jalan dan dioperkan pada angkot yang lain dan angkot itu kembali putar balik arah. Dan, pengalaman ini sering menimpaku. Saat aku sedang tergesa-gesanya karena sudah terlambat masuk kuliah, disitu pula aku harus diturunkan oleh supir angkot “Elang-Gede Bage”. Rasanya bagaikan tereliminasi disebuah acara pencarian bakat untuk menuju puncak. Biasanya daerah Tegalegalah tempat pengoperan penumpang-penumpang yang malang. Namun sudah tahu sering terjadi hal demikian, masih saja aku pergi ke kampus menggunakan angkot tersebut. Dan selalu berharap tidak akan lagi diturunkan di tengah perjalanan. Walau harapan itu tidak pernah aku dapatkan.
……
Lamunanku membuyar oleh getar
handphone yaitu sms dari teman kuliahku, Radina. Dari pada bosan, aku smsan
saja dengannya. 06.46 WIB
Radina : “Ndeh dimana?”
Aku : “Aku masih di Lotte Mart, udah masuk? Dosennya udah
dateng?”
Radina : “Belum, ayoo cepetan! Katanya kalau telat, bakal
didiemin sama dosennya.”
Aku : “Waahh masaa?? Gimana dong aku? kalau telat aku gak
akan masuk din.”
Radiana : “Ihhh kebiasaan jelek jangan dirawat! Ini hari
pertama, cepetan.”
Aku : “Cepetan gimana? Diikira aku yang ngendarain angkotnya
apa?”
Radina : “Yaudah, sekarang udah dimana?”
Aku : “Baru mau ke Tegalega din, feeling diturunin inimah.
Gimana atuh?”
Radian : “Ihh ya jangan! Berdo’a..”
Aku : “Iyaa ini juga berdo’a, tapi deg-degan. Nanti smsin di
ruang mana ya..”
Radian : “Oke, hati-hati.”
Tibalah aku di kawasan Tegalega. Aku melihat ke kanan kiriku hanya ada tiga penumpang saja termasuk aku. Ya Tuhan, aku berharap hari ini banyak penumpang yang naik agar aku tidak diturunkan dan dioperkan untuk naik angkot yang lain. Itu sangat menyebalkan dan sedikit menghabiskan waktu pula.
Hatiku terus dag dig dug. Di Tegalega ini adalah tempat penentuan bagi penumpang-penumpang yang malang. Lanjut atau tereliminasikah dari angkot Gede Bage ini. Namun setelah melaju, banyak penumpang yang naik angkot ini. Hatiku menjadi tenang kembali, senyumku mulai melebar kembali. “Asiiikkk banyak penumpang yang naik, sepertinya aku tidak akan tereliminasi.”
Aku melihat kebelakang, banyak penumpang yang tereliminasi dari angkot lain yang mereka naiki. Beruntunglah mereka dioperkan ke angkot yang aku naiki. Aku tidak merasa khawatir lagi toh sekarang angkot yang aku naiki sudah penuh bahkan berjejal. Siap-siap meluncur dan segera tiba ditujuan. Siiip.
Mungkin ini adalah kali pertama aku lolos di babak penyisihan angkot Gede Bage. Akhirnya aku merasa menjadi juara dengan tiba di STIE Inaba kampusku. Walaupun hati ini dagdigdug karena sudah terlambat tapi setidaknya aku mendapat suatu pencerahan dibalik kelabunya awan, bahwa kesabaran memang mendatangkan kemudahan.
Saat aku turun dari angkot, rintik hujan membasahiku. Ternyata awan kelabu sudah tidak kuat menampung butiran-butiran air yang dibawanya. Aku berlari menuju ruang B.2.1. Dari kejauhan nampaknya suasana masih ramai. “Ini sudah pukul tujuh lewat duapuluh lima menit kok belum pada masuk ya?” Aku bicara sendiri sambil ngos-ngosan kecapekan. Aku langsung masuk ke ruang itu, “Radina, dosennya mana?” tanyaku pada temanku itu. “Katanya jadinya jam delapan deh.”
Hmmm, mendengar ucapan temanku itu aku langsung lemas. Sepanjang perjalanan aku terus merasa ketakutan tapi ternyata dosennya saja belum datang. Bahkan beliau mengundurkan waktu belajar. Rasanya hari ini cuaca Bandung ada dipihakku. Matahari yang tidak mau menampakan diri, awan-awan kelabu, dan rintik hujan menemani aku, aku yang sedang pilu.
No comments:
Post a Comment