Burung-burung berkicau di saat kemarau datang. Kulihat para petani
sedang bermandikan sisa-sisa lumpur
kebahagiaan di sawah. Di sana kulihat pula Bapak sedang duduk dipinggiran
sawah, bercucuran keringat dan
nampak kelelahan. Bapak menatapku dan aku menghampirinya. Nampak pula garis
kerut menghiasi wajah tuanya. Dengan mata berkaca-kaca beliau berkata, “Nak,
kita gagal panen!”
Aku berasal
dari keluarga yang sederhana. Hidup bergantung pada hasil pangan dari sawah
milik pak Haji Salim yang dititipkan kepada Bapak. Mendengar sawah Bapak gagal
panen, aku sangat sedih. Tak bisa dibayangkan bila nanti pulang ke rumah, Ibu
yang sangat mengharapkan hasil panen mengetahui hal seperti itu, apa yang akan
terjadi?
Ibu yang
selalu menuntut banyak pada Bapak, selalu saja merasa kurang saat panen tiba.
Apalagi sekarang, gagal panen, apa yang akan Ibu lakukan pada Bapak? Semoga Ibu
bisa mengerti. Semoga Ibu bisa menerima apa yang terjadi hari ini.
“Bu, hanya ini
hasil panen kita hari ini.” Bapak memberi seember kecil beras hasil panen
barusan. Ibu mengangkat alis. “Ini apa?” katanya sambil mengangkat ember itu.
“Itu hasil panen kita bu, sawah kita gagal panen. Kemarau membuat kering sawah
kita.” Kata Bapak menjelaskan semuanya. Namun, bukan pengertian yang Ibu
berikan tapi hanya amarah yang keluar dari mulut Ibu.
“Bapak pikir
kita ini ayam, apa? Beras segitu cukup untuk apa?!” Ibu melepaskan ember yang
dipegangnya. Seketika, beras yang ada di ember bertebaran, berserakan. “Bapak
ini, mau makan apa kita?!” Ibu pergi meninggalkan Bapak yang masih berdiri di
pintu rumah. Aku hanya menangis melihat sikap Ibu pada Bapak. Bapak
menghampiriku dan memelukku. “Nak, Bapak akan mencari tambahan untuk kita makan
nanti ya. Jangan menangis.” Kata Bapak.
“Tuhan, hamba
tahu bahwa ini yang terbaik dari-Mu. Ampuni isteriku yang khilaf tak mensyukuri
karunia-Mu. Tuhan, mudahkanlah hambamu ini. Aamiin.” Dalam malam Bapak selalu
memohon pada Tuhan yang Maha Kuasa. Air mata selalu membasahi pipi keriputnya.
Dari sisi lain terdengar suara yang membuat Bapak marah saat itu juga.
“Percuma kamu terus berdo’a, Pak.
Tuhan tak akan mengabulkan permohonanmu. Percuma kamu menangis seperti itu,
Tuhan tidak akan menghapus air matamu.” Kata Ibu yang terbangun dari tidurnya.
“Astaghfirullah Bu! Kamu bicara apa?! Istighfar!” hanya itu yang bisa Bapak
ucapkan. Bapak tidak kuat lagi untuk mengeluarkan tenaga.
Aku
hanya diam, menangis tak bisa berkata-kata apa lagi. Aku hanya bisa melihat apa yang sering
terjadi pada Bapak. Aku hanya bisa melihat Ibu yang terus mengeluh kepada Bapak.
Maafkan aku Ibu, jika aku tidak cacat seperti ini mungkin aku bisa membantu Ibu,
mungkin aku bisa membantu Bapak. Maafkan aku yang tak bisa berbuat apa-apa
untuk Ibu dan Bapak. Maafkan aku.
“Jika
Tuhan mendengar do’amu, anak kita tidak akan seperti ini. Cacat mental, hanya
bisa diam, menangis dan hanya merepotkan saja. Aku sudah tak sanggup
mengurusinya.” Lanjut Ibu yang masih belum puas mencerca Bapak. Ingin aku
membantu Bapak, ingin pula aku bertindak tapi, apa daya aku hanya si cacat yang
tidak bisa berbuat apa-apa.
Tuhan, maafkan Ibu, sabarkan Bapak. Aku hanya tidak
ingin melihat semuanya selalu seperti ini. Dalam do’a yang tak ada seorangpun
tahu, kumohon agar Engkau mengabulkan do’aku. Walau Ibu tak pernah tahu isi
hatiku, tapi aku akan selalu memberikan do’a untuknya. Untuk Ibu dan Bapak
tercinta.
No comments:
Post a Comment