Pantai adalah
tempat yang sangat indah bagi siapapun yang mencintai senja. Keindahannya tak akan pernah bisa didiversifikasikan dengan panorama lainnya. Kulihat laut membentang
bagai hamparan permadani biru, ditemani tarian lihai rumput laut di dalamnya. Ah! Banyak ikan bersembunyi di balik terumbu
karang yang beraneka rupanya. Ini kali pertama aku menghabiskan waktu
bersamanya.
“Bagaimana, kamu
suka?” tanya Riza yang sedari tadi menemaniku di Pantai ini.
“Emm, ehm.”
Kataku mengangguk pertanda aku mengiyakan pertanyaannya. Kulihat senyum
indahnya semakin memperlihatkan rasa cinta yang begitu dalam padaku.
“Aku
mencintaimu, Ra.” Ia mendekap tubuh mungilku. Aku tak kuasa menahan air mata
yang sudah menggelayut meminta dijatuhkan saat itu juga. “Aku akan selalu
menemanimu untuk selamanya.” Lanjutnya. Semakin erat pula dekap hangat
pelukannya.
“Makasih.” Hanya
satu kata yang bisa aku ucapkan. Aku terlalu bahagia sampai aku tak bisa berkata-kata
lagi.
“Iya, sayang.”
Katanya sambil mencium keningku.
Tuhan, aku masih
ingin menghabiskan waktu dengannya. Jika bisa, aku ingin meminta waktu seribu
tahun lagi untuk bersamanya. Riza yang Kau berikan untukku adalah hadiah dan
anugerah terindah dalam hidupku.Hidupku yang singkat ini.
“Ra, badanmu
panas. Ayo kita pulang!” Riza langsung panik mengetahui tubuhku yang mulai
panas. Demam tinggi menyerangku lagi!
Lagi-lagi aku
hanya mengangguk. Aku merasakan panas menjalar ke tubuhku. Tubuhku menjadi
sangat lemas. Bahkan menggerakan jemari pun aku tak sanggup. Aku yang sedari
tadi tengah duduk di kursi roda kembali pulang. Riza membawaku ke paviliun yang
sudah kami sewa di sekitar pantai.
“Sabar ya Ra.
Aku akan menelpon dokter ke sini. Aku menyayangimu, Ra.” Air mata menyembul di
sela-sela kelopak mata Riza. Aku sudah tak bisa lagi berkata-kata. Perlahan,
kurasakan dingin yang sangat dingin di pangkal kaki. Kemudian dingin itu terus
naik, semakin naik. Aku menggigil, sangat menggigil. Tuhan, apakah ini waktunya
aku pulang? Melihat keadaanku seperti ini, tanpa disadari kudengar tangisan
Riza membuncah. Suamiku tercinta mungkin akan sangat bersedih jika kehilangan
aku, istri ketiganya. “Ra, Rara! Sabar ya sayang, sebentar lagi dokter datang.
Rara!” Masih dalam dekap hangatnya, nafasku mulai tersengak-sengak.
Riza mungkin mengetahui
keadaanku yang menandakan aku sudah tak sanggup lagi hidup. Maut kini menjelma,
mungkin ini adalah akhir hidupku di dunia. Dengan suara yang parau, Riza
menuntunku mengucapkan kalam-kalam Illahi. Tahlil dan Syahadat terus ia bisikan
ke telingaku. Aku mengikuti perlahan hingga aku tak sanggup lagi bernafas,
hingga tiba waktunya saat terpisah ruh dari jasadku. “Innalillahi wa innailaihi
raaji’un.”
EPILOG…
“Rahma, apa yang sedang kamu
lakukan?” Riza mendekati Rahma yang sedang berdiri di balik gordeng kamarnya.
“Tidak, aku tidak sedang
apa-apa.” Jawabnya tanpa melirik Riza sedikit pun. “Mengapa selalu begini?
Mengapa selalu begini, Ayah?!” Lanjut Rahma memeras-meras gordeng yang
dipegangnya sambil menangis. Riza hanya bisa diam.
Ya! Mengapa selalu begini?! Bahkan Rahma putri tunggalku, putri dari
isteri pertamaku menyadarinya. Setiap aku menikah, pernikahan itu tak pernah
berlangsung lama. Selalu saja isteriku meninggal. Beruntung Rahma selamat saat
isteriku melahirkan. Tapi ibunya tak terselamatkan! Apa aku tidak pantas untuk
memiliki pasangan hidup?! Mungkin, aku tidak akan lagi mencari pengganti Rara.
Biarkan Rara menjadi isteriku yang terakhir. Semoga semua isteri-isteriku
tenang di alam sana. Aamiin.-Batin Riza menangis.
Catatan: tadinya mau dibuat
cerita si Rahma anaknya itu mau dinikahi sama ayahnya. Tapi gaboleh ya? Haram ya? Ya sudah
sampai sini saja hhe. *pusing*
Tulisan #Jumatulis ke-13 dengan keywords: Senja, Ikan, Diversifikasi, Rumput laut, Terumbu.
No comments:
Post a Comment