Pagi
yang sangat cerah. Secerah seragam baru, putih abu-abuku. Suasananya begitu
indah, seindah hati yang hari ini akan segera menginjakan kaki di lingkungan
yang baru.
Aku
Reta Andita. Aku siswi baru yang akan menginjakan kaki di jenjang Sekolah
Menengah Atas. Seperti biasa, diresmikannya aku dan juga siswa baru lainnya
harus mengikuti MOPD dahulu atau Masa Orientasi Pendidikan Dasar. Selama satu
minggu kami melaksanakan MOPD itu. Suasana baru, di lingkungan yang baru. Dan
itu adalah satu event yang tidak pernah terlupakan. Mendapat kawan baru, kakak
kelas killer tapi imut juga sih dan yang pasti dapat kecengan baru.
Sejak
SMP aku tidak pernah ada niat untuk melirik satu orang lelaki pun. Dengan
alasan tidak ingin berpacaran sebelum aku menyelesaikan sekolahku sampai aku
lulus di perguruan tinggi nanti. Tapi kenyataannya, saat aku menginjakan kaki
di jenjang SMA, dimana anak-anak bermetamorfosis menjadi remaja, disitulah aku
mulai terkena satu virus yang dinamakan virus merah jambu atau virus cinta.
Saat aku melihat matanya, terpancar cahaya indah yang sepertinya membuka pintu
hati yang sebelumnya aku tutup bahkan terkunci rapat, sangat rapat. “ Eh Des,
lihat cowok itu! Dia anak kelompok berapa? Kelas apa dia? ” tanyaku dengan
berbisik pada Desi teman sekelompok saat MOPD itu. Dan, Desi langsung menjawab
dengan singkat, padat dan sangat tidak jelas “ Anak kelompok satu, gak tahu
dua, atau mungkin tiga. Hehe. ” dia nyengir kuda. “ Ah kamu, aku nanya serius
juga! ” kesal rasanya karena aku tidak mendapatkan info siapa lelaki itu,
lelaki yang telah menerobos masuk kedalam pintu hatiku. Saat ini, secepat ini.
Satu
minggu berlalu, MOPD yang sangat menyenangkan itu menyimpan kesan tersendiri
bagiku. Kesan yang berawal dari seorang siswa lelaki yang matanya indah bak
malam bertabur bintang. Dan, sekarang adalah hari pertama dimulainya proses
belajar mengajar.
Setelah
selesai pelajaran, jam istirahat berbunyi. Aku dan temanku pergi ke kantin
untuk membeli makanan. Saat di kantin, sepertinya ada hembusan angin yang ingin
bermain-main denganku. Ia masuk kedalam telingaku dan membisikkan sesuatu
kepadaku “ Lihat siapa yang duduk disebelahmu? ” tanpa sadar aku langsung
menoleh kesebelah kanan tempat dudukku. Mataku menjadi sangat tajam melihat
sosok yang memang selama ini aku cari semenjak pertama bertemu. Ya, siapa lagi
kalau bukan lelaki yang telah menerobos masuk kedalam hatiku. Jantungku
dag-dig-dug tak karuan, padahal kami hanya duduk bersebelahan saja. Entah apa
yang membuatku begitu sangat terobsesi untuk mencari tahu siapa lelaki itu. “
Kali ini aku harus tahu, siapa namanya, kelas apa dan…” lamunanku dibuyarkan
oleh Desi temanku, “ Retaaaa, jangan melamun woy.” Teriakan itu hampir
memecahkan gendang telingaku. Aku hanya tersenyum malu saat itu. Saat aku
tersadar, lelaki itu mulai pergi meninggalkan kantin dan ini adalah kesempatan
yang tepat untuk mencari informasi. “ Eh Des, aku tinggal dulu ya. Ada urusan
penting banget.” Aku langsung pergi juga dari kantin dan mengikuti lelaki itu.
Setelah aku tau dia kelas apa, aku langsung pergi lagi dengan perasaan yang
bahagia. Rasanya aku sedang menari-nari ditengah taburan bunga mawar merah yang
harum wanginya.
“
Setidaknya aku tahu dia kelas apa. Kelas X1 dan aku X2. Ya Tuhan rasanya aku
seperti mendapatkan satu takdir. Apa mungkin ini pertanda aku berjodoh
dengannya? Ahh sudahlah Reta, jangan menghayal.”
…
Hari
demi hari, aku semakin mendambakannya. Setiap aku melihatnya, selalu saja ada
angin yang datang berhembus padaku, yang menggetarkan seluruh tubuhku. Namun
sampai saat ini aku masih belum tahu siapa namanya. Aku belum berani bertanya
pada siapapun untuk mengetahuinya, biarkan waktu yang menjawab segalanya.
“
Hmm, sudah sejauh ini aku belum tau namanya. Sepertinya aku harus cari tau
sendiri supaya lebih bermakna kali ya.”
Entah
mengapa, setiap aku melamunkan lelaki itu selalu ada Desi yang siap membuyarkan
lamunan indah yang sedang aku nikmati. Katanya, “ Entah mengapa, aku sering melihatmu melamun
Reta. Kamu ada masalah? ” Desi berdiri disampingku didepan pintu kelas X2 itu. Akupun
menjawab “ Dan entah mengapa pula, setiap aku melamun, selalu ada kamu yang
membuyarkannya haha. GUKD lah Des!” Aku menyenggol Desi sambil tertawa pelan. “
GUKD? Apaan tuh?” Desi mengangkat alis kirinya. “ Gak Usah Kepo Deh, hahaha.”
Aku langsung lari ke dalam kelas dan Desi mengejarku, “ Retaaa,
nyebeliiiiinnnn.”
Bahagia
itu mudah. Di lingkungan yang baru ini aku mendapat teman baru yang sekaligus
sahabat baikku. Desi Wulandari, teman sekelasku dan duduk sebangku denganku.
Aku bahagia memiliki sahabat seperti Desi walau kadang dia selalu saja
mengganggu imajinasi yang aku rajut saat aku sedang melamunkan lelaki pujaanku.
Tapi bersama dialah aku menghabiskan waktu. Saat senang maupun sedih, dia selalu
ada waktu untuk mendengarkan curhatanku. Terimakasih sahabatku.
…
Waktu
berjalan begitu cepat, tak terasa aku akan menginjakan kaki di kelas XI. Aku bahagia
karena aku masuk kelas IPA yang memang aku inginkan. Setelah libur semester
selama tiga minggu, aku merasakan kehampaan. Tak ada Desi temanku, dan yang
paling membuatku hampa adalah selama tiga minggu itu aku tidak melihat si
pujaan hati. Tapi tak masalah, karena besok harus daftar ulang untuk menentukan
kelas yang nanti didapat. Sehingga, semoga saja aku bertemu dengannya.
Senin,
adalah hari yang sangat aku tunggu. Hari ini aku segera bergegas pergi ke
sekolah untuk daftar ulang. Sepanjang perjalanan, aku terus membayangkan wajah
sang dambaan hati. Sampai tak terasa aku hampir tiba di pintu gerbang sekolah.
Aku segera masuk dan mencari tahu tempat daftar ulang jurusan IPA. Setelah aku
tiba, tepat didepan pintu kelas XI IPA 1 terpasang nama-nama yang masuk di
kelas itu salahsatunya adalah aku. Aku langsung masuk untuk melakukan daftar
ulang. Setelah aku duduk di dalam kelas itu, aku menengok ke arah jendela dan
disana ada sosok lelaki sang pujaan hati. “ Ya Tuhan, semoga dia mendapat kelas
yang sama denganku. Aamiin.” Belum kering mulutku berbicara, lelaki itu masuk
kedalam kelas yang sama. Dan, DEG! Dia duduk disebelahku. Oh My God! Apakah ini
mimpi? Aku mencubit pipiku satu persatu. Aku refleks bicara sendiri disitu, “
Aww sakiit, ini bukan mimpi, bukan mimpi, ini asli.” Lalu tiba-tiba lelaki itu
mengagetkanku dengan menepuk pundakku, “ Hei, kamu kenapa? Hehe.” Ya ampun,
senyumnya sungguh menawan. Rasanya aku seperti keju yang dipanaskan, meleleh.
Aku masih tak sadar, mataku terus saja memandang wajahnya. Dan, aku tak sadar
pula saat dia menggibaskan tangannya didepan wajahku. “ Hey, hey, hey.” DEG! Aku
mulai sadar bahwa aku telah lama menatapnya. Menatap mata indahnya. “Eh, hey.
Maaf a.. aku, aku, maafkan aku.” aku menjadi sangat gugup saat itu. Dia
membalasku dengan senyumnya yang menawan, lagi. “ Kamu lucu deh, gak apa-apa
kok. Kamu kelas IPA 1 juga? Aku juga masuk kelas ini nih. Hehe.” Bibirku
semakin membeku, rasanya Tuhan telah menuliskan permohonanku beberapa menit
yang lalu. “ I..iya hehe, aku di kelas ini.” Belum lama saat kami berbincang,
namaku dipanggil oleh salahsatu panitia daftar ulang. “ Reta Andita”.
“Eh
maaf, aku kedepan dulu ya. Udah dipanggil nih.” Aku segera beranjak.
“Oh
Reta? Iya silahkan.” Lagi lagi dia melemparkan senyumnya yang menawan itu.
(
Ternyata Reta nama perempuan itu.)
Setelah
aku selesai daftar ulang, aku segera duduk lagi. Belum aku bertanya pada lelaki
itu, tapi dia langsung memperkenalkan dirinya. “ Aku Arfa, Arfa Kustia
Hermawan. Salam kenal.”
Arfa
Kustia Hermawan, nama yang selama ini aku tunggu. Setahun lamanya aku
menantikan nama itu dan kini aku tau namanya langsung dari pemiliknya. Kali ini
aku merasa semakin bahagia. Mungkin ini salahsatu keberuntunganku. Segalanya
yang terjadi hari ini adalah sama seperti yang aku inginkan. Arfa, aku hanya
tersenyum bahagia.
Seminggu
kemudian, di kelas yang sama, aku menjadi semakin akrab dengan dia. Mulai dari
ke kantin, mengerjakan tugas, bersenda gurau, kami selalu bersama. Desi,
sahabatku. Kami tidak sekelas lagi. Dia mengambil kelas IPS namun kami tetap
bertemu dan pulang bareng. Saat istirahat, dia datang ke kelasku. “ Retaaaaa,
aku kangeeennn.” Teriakannya masih sama seperti dulu, hampir memecahkan gendang
telingaku. “Aku juga kangen Des, hahaha. Kangen bully kamu.” Candaku. “Ahhh
Reta tetap saja begitu, jahatnya minta ampun,hehe. Eh Reta, bukannya dia itu
cowok yang kamu dambakan? Kalian satu kelas?? Oh My God!” lebaynya mulai keluar
deh.
“
Desiiiii, berisik! Rasanya aku itu kayak dapet durian runtuh hehe.” Bisikku
pada Desi.
“Iya
Reta, keberuntungan sedang bersamamu. Oh ya, aku pulang duluan ya. Ayahku mau
pergi ke luar kota jadi aku harus cepat sampai di rumah.”
“Yaaah,
padahal baru ketemu. Yasudah salam ke Ayah sama Ibu yaa. Dari Reta yang cantik
jelita, hehe.”
“Wuuuu,
okedeh siap Retaaa keretaaa. Byeee.”
Bayangan
Desi menghilang dari balik pintu kelasku. Saat aku menengok kebelakang, Arfa
lagi lagi melemparkan senyumannya kepadaku. Aku langsung memalingkan wajah dan
rasanya kembali seperti dilingkari oleh bunga mawar merah yang harum wanginya.
Saat aku menengok lagi kebelakang, tiba-tiba Arfa sudah ada tepat dibelakangku.
“Ayooo,
curi-curi pandang. Nih daripada curi-curi lebih baik pandangin langsung
orangnya.” Arfa menyodorkan wajahnya tepat didepan wajahku. Jantung ini
berdegup kencang bagaikan atlet marathon yang tidak ingin kalah dari lawannya,
sangat kencang. “Arfaaa! Sudahlah jangan menggodaku.” Aku kembali duduk di
tempatku.
“Reta,
pulang bareng yuu.” Dia duduk dibangku kosong disebelahku.
“Eh?
Bukannya jalan pulang kita berlawanan arah? hehe” aku kebingungan namun ada
rasa senang juga.
“Oh
iya aku lupa. Hehe. Atau bagaimana kalau hari ini kita pergi main saja?”
“Main
kemana? Hehe.” Aku masih saja gugup
“Ikut
saja denganku, aku tau kok tempat bagus di daerah ini. Ok?”
“Okedeh.”
Aku
masih belum percaya, hari ini kau akan pergi dengannya.
…
Angin
sepoi-sepoi menemani kami yang sedang berjalan di sebuah taman yang sangat
terlihat asri. Dan aku baru sadar, taman ini terletak tidak jauh dari rumahku.
“Fa,
ini jalan aku pulang loh.”
“Iya
aku tau, hehe. Sekalian nganterin kamu pulang kan.”
“Hah?
Kok kamu tau? Suka mata-matain aku yaaa, ayoo ngaku ayo ngaku.” Godaku
“Akhirnya
ketahuan juga. Hehe.” Suasana menjadi sepi, kami duduk dulu disalahsatu kursi
taman itu. Dan Arfa melanjutkan pembicaraan yang sepertinya ini amat serius.
“Reta, sebenarnya aku suka sama kamu. Sejak aku melihatmu saat MOPD rasanya ada
sesuatu yang beda darimu. Aku tak tau harus bagaimana saat itu. Kamu tau kan,
saat itu kita baru melepas seragam putih biru bisa dibilang sih belum ada
keberanian buat bilang kaya gini.” Aku hanya terdiam, aku teringat dulu saat
MOPD akupun mulai menyukainya, mendambakannya bahkan menjadikan dia pujaan
hatiku. Tuhan, apakah ini takdir-Mu?
“Reta,
aku menyayangimu.” Arfa hanya tertunduk dan akupun begitu. Aku mulai
menceritakan hal sama seperti apa yang Arfa alami. “ Fa, aku juga sama Fa.”
Arfa tertegun mendengar ucapanku. Namun dia tak berani bertanya, aku lanjutkan
ucapanku. “ Saat MOPD sampai kita daftar ulang itu, aku sangat terobsesi untuk
mencari info tentangmu. Aku juga menyukaimu. Tapi ya hanya sekedar suka, tidak
lebih.” Nampaknya ucapanku membuat Arfa termangu. “Reta, serius? Hahaha. Sampai
segitunya, pantesan saat kelas X aku merasa kamu terus saja memperhatikanku.
Tidak dari dekat, jauhpun begitu.” JLEB! Maksudnya apa?? Rasanya mulai ada
burung menari-nari di kepalaku. Pusing melanda otakku. Malu rasanya, menyesal
aku mengatakan itu pada Arfa. Wajahku memerah, kepalaku semakin menunduk dan
terus menunduk seakan tenggelam di lautan yang sangat dalam. “Kamu kenapa Ret?”
Arfa memegang wajahku dan mengarahkannya tepat di depan wajahnya. Aku sangat
malu dan aku tak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba, air mataku menetes entah
mengapa harus datang disaat yang tidak tepat seperti ini. Otomatis Arfa
langsung mengusapnya dan wajahku semakin merah, malu. “Loh kok nangis sih Ret,
aku salah ya?”
“Tidak
Fa, kamu tidak salah. Aku hanya malu. Dan ingat ya, hanya sekedar suka!”
kataku.
“Malu?
Malu untuk hal apa? Sekedar suka? Tidak lebih kah? Tapi Reta, aku menyayangimu.
Jika perasaanmu sama sepertiku, bolehkah aku jadi kekasihmu?” serangkai
pertanyaan dia lontarkan. DEG! Inilah hal yang tidak ingin pernah aku alami.
Rasanya bumi ini berada diatas kepalaku. Aku merasa sangat berat dan aku tidak
bisa bergerak apalagi mengucapkan satu katapun sulit saat itu. Aku hanya bisa
diam tanpa kata. “Reta… Reta… Reta.. kamu kenapa hey??!”
“Kekasih?
Berarti kita akan pacaran?” jawabku gugup, sangat gugup.
“Ya,
tentu saja. Aku dan kamu sama-sama cinta kan?!”
“Tapi
aku tidak ingin pacaran Fa!” kataku sambil menunduk lesu.
“Me..mengapa?”
katanya sambil memandang ke arah ku.
“Jika
kamu ingin aku menjadi pacarmu, lebih baik kamu jangan mencintaiku.”
Lalu aku pergi meninggalkannya. Acap
kali ada seseorang yang ingin menjadi pacarku, aku selalu bersikap seperti ini.
Bukan aku apa, tapi aku sudah berjanji hanya sekedar berteman saja. Itu sudah
cukup dan membuatku bahagia. Sempat aku membayangkan, Arfa akan mengatakan satu
hal seperti, “Aku akan menunggumu, Reta.” Namun bayangan itu hanya angan semata
nyatanya dia hanya mengatakan, “Baiklah Reta, jika itu maumu aku takan memaksa.
Terima kasih sudah membuatku sadar, bahwa kamu memang benar-benar
mempermainkanku!” sakit rasanya mendengar ucapan itu. Aku tidak mempermainkanmu,
Arfa. Sungguh tidak seperti itu.
Setelah
kejadian itu, kami, aku dan Arfa menjadi sangat jauh. Dan saat itu pula aku
mulai melihat perubahan yang sangat drastis pada dirinya. Aku sempat bertemu
dengannya ketika hendak pulang dari sekolah. Seperti biasanya, aku pulang
melewati taman. Di sana kudapati Arfa sedang asik mengobrol berduaan dengan
seorang perempuan kelas sebelah, sembari rangkulan. Maksudnya apa?! Mereka
masih memakai seragam dengan atribut sekolah, melakukan hal sedemikian rupa di
tempat umum seperti ini. Aku merasa sangat malu. Bukan malu karena aku tak bisa
bersama lagi dengannya. Tapi, aku malu karena sempat mencintainya. Mencintai
orang yang jelas jelas tidak menjaga kehormatannya.
“Tuhan,
cabutlah perasaanku padanya!” batinku ketika aku melewati mereka yang sedang
asik berdua. Aku tak kuasa melihatnya. Bukan aku cemburu, tapi sekali lagi, aku
malu karena mereka masih mengenakan atribut sekolah. Lalu, “Hai, Reta! Mengapa
buru-buru? Mampir saja dulu ke sini.” Katanya dengan nada yang sangat tidak
enak. Meremehkan. “Tidak. Terima kasih.” Lalu aku berlalu.
Tuhan,
apa aku harus menutup kembali pintu hati ini seperti sedia kala? Menutup untuk
mencintai seseorang sebelum waktunya? Ternyata, yang nampak dari luar belum
tentu sama dengan yang di dalam. Apa jadinya jika aku menerima menjadi
pacarnya? Apa aku akan melakukan tindakan buruk seperti tadi? Tuhan, terima
kasih karena telah menunjukan semuanya. Terima kasih pula karena sudah
menyempatkan aku mencintainya. Sehingga aku tau kebenarannya. “Aku akan tetap
Istiqamah!” teriak batinku.
No comments:
Post a Comment