Aku mengintip sosok wanita yang memakai jilbab putih, duduk manis di sofa yang ada di dekat mushola rumah, melantunkan ayat-ayat suci. Hampir setiap hari sehabis shalat lima waktu Ibu selalu membaca Al-Qur’an di sofa itu. Aku menyebutna “Sofkebu” alias Sofa Kesayangan Ibu. Beliau bilang kalau mengaji atau hanya sekedar bersantai sambil duduk di sofa itu suasananya beda, lebih terang di kala siang karena tepat didekat jendela, lebih nyaman di kala malam karena bisa menikmati indahnya alam. Ibu menghabiskan waktu luangnya di sofa itu.
“Ehh Rara,” Ibu terbangun dengan masih mendekap Al-Qur’an
didadanya. “Ibu masih menunggu Ayah pulang, Ra. Jam berapa sekarang?” lirik Ibu
pada jam dinding.
“Sudah hampir jam dua belas bu.” Aku duduk disamping Ibu.
“Kok Ayahmu belum pulang ya Ra?” Ibu beranjak dari sofa itu
menuju jendela yang gordengnya masih belum ditutup.
“Mungkin Ayah lembur. Ibu tidurnya di kamar ya. Kalo di sofa
nanti badan Ibu sakit, pegal-pegal nantinya.” Aku kemudian menghampiri sambil
memijit pundak Ibu.
“Iya sayang. Lah kamu kenapa belum tidur?” Tanya Ibu
menatapku.
“Rara tadi terbangun dan laper bu. Saat Rara mau ke dapur
melihat Ibu tertidur disini yasudah Rara kesini.” Aku kembali duduk di sofa
itu. “Oh iya bu, kenapa Ibu senang sekali menghabiskan waktu di sofa ini bu?
Padahal ini sofa gede aja enggak.”
Lalu Ibu duduk lagi disampingku disofa itu. Lalu, Ibu
menceritakan sesuatu padaku “Sofa ini hadiah dari Ayahmu. Saat kami masih muda,
seminggu sebelum Ayah melamar Ibu, beliau bertanya pada Ibu katanya “Neng, kalo Aa mau beliin Neng sesuatu, mau
motor atau mobil?” Ibu menjawab tidak mau dua-duanya. Ayahmu bertanya lagi “Jadi maunya apa dong, Neng?” Ibu jawab,
minta sofa aja. Ayahmu nanya lagi “kok
minta sofa sih Neng?” Ibu jawab lagi, kalo mobil atau motor gak ada
sofanya, berarti kita tidak bisa duduk bersama. Ehh besoknya Ayahmu langsung
membawakan sofa ini ke rumah, sambil mengucapkan “Neng, kita akan selalu duduk bersama. Sofa ini saksinya.” Begitu
Ra, makanya Ibu nyaman duduk disini.” Aku tersenyum saat mendengar cerita Ibu.
“Waaah kok Ibu baru cerita sekarang sih? Ternyata Ayah so
sweet juga ya bu. Hehehe. Rara jadi ngiri deh bu. Semoga nanti jodoh Rara
pengertian dan perhatian juga. Hehe. Aamiin.”
“Iya Ibu baru sempat cerita sekarang. Iya Ra, Aamiin. Tapi
sekarang jangan dulu mikirin jodoh-jodohan ah. Sekolah dulu yang
sungguh-sungguh. Masalah jodoh pasti Allah sudah mempersiapkanya. Kalau mau
mendapat jodoh yang terbaik, kamu harus baik pula. Jodoh kita cerminan diri
kita.” Ibu merangkulku dan mendekapku semakin dekat.
“Hehe. Iya bu, tapi sekarang Rara sedang mengagumi
seseorang. Orang jauh sih kenal di komunitas gitu bu, belum pernah ketemu juga.
Kayanya Rara Jatuh cinta deh bu sama orang itu. Semoga Allah menunjukan yang
terbaik. Hehe.”
“Aduuuhhh putrinya Ibu lagi kasmaran ceritanya nih? Dengerin
Ibu ya Ra, Ibu titip sama kamu, menyukai atau mengagumi itu boleh tapi jangan
sampai berlebihan. Saat kita sudah terlalu tinggi menyukai seseorang lalu kita
terjatuh pasti akan sangat sakit. Jadi Ibu berpesan sama Rara, jangan terlalu
cepat menyimpulkan isi hati dan perasaan.” Ternyata Ibu sangat ahli dalam hal
beginian.
“Iya bu siap. Rara hanya sekedar mengagumi saja bu. Kayak
lagunya ungu itu loh bu. Cinta Dalam Hati, mengagumi tanpa dicintai. Hehehe.”
“Ahh dasar kamu ini. Sudah cepat tidur sudah larut malam.
Besok kan kamu ada ujian. Harus cukup tidur supaya besok fresh badannya.”
Oh iya, besok aku akan melaksanakan ujian nasional. Aku
sekarang kelas tiga SMA. Besok adalah hari pertama dimulainya perjuangan
akhirku di SMA. Aku segera beranjak dari sofa kesayangan Ibu itu. Lalu pergi ke
kamar. “Ibu jangan tidur di sofa. Rara duluan ya bu.” Tak seperti biasanya,
sebelum pergi ke kamar aku memeluk erat dulu pada Ibu. Mencium pipinya. Mungkin
aku sedang senang saat ini. “Mimpi indah anakku sayang.” Kata Ibu saat itu. Ibu
melanjutkan menunggu Ayah di sofa itu. Dengan Al-Quran yang masih dipegang, Ibu
melanjutkan lagi mengajinya. Lalu, Ayah pulang saat setelah lima belas menit
berakhirnya obrolan aku dan Ibu di sofa itu.
Angin subuh mulai aku rasakan. Kumandang adzan terdengar
mendayu memasuki sela-sela kamarku. Aku segera bangun dan mengambil air wudhu.
Seperti biasa, shalat subuh adalah satu moment yang sangat aku nantikan. Bisa
shalat berjamaah bersama Ayah dan Ibu. Aku segera menuju mushala. Tapi mengapa
masih sepi? Lalu aku mengetuk pintu kamar Ibu, tidak dikunci. Aku buka namun
tak ada Ibu dan Ayah disana. mereka pergi kemana? Apakah Ayah dan Ibu pergi
berjama’ah ke mesjid? Tapi mengapa tidak mengajakku? Aku memutuskan untuk
menyusul ke mesjid. Namun saat aku akan mengunci pintu rumah terlihat sorotan
lampu mobil tepat diwajahku. Itu mobilnya Ayah.
“Rara mau kemana?” Tanya Ayah dengan nada suara yang sangat
kecapean.
“Ayah darimana? Rara mau nyusul shalat ke mesjid kan?”
“Rara belum shalat subuh? Yasudah ayo Ayah antar ke mesjid
saja.” Ayah mengandengku masuk ke dalam mobil.
“Ayah, Ibu mana? Kenapa ninggalin Rara? Kan Rara ingin
shalat berjamaah. Ingin berdo’a bersama demi kelancaran ujian nasional hari
ini.”
“Iya nanti kita berdo’a bersama.” Jawab Ayah dengan nada
yang dingin tak seperti biasanya. Dan, semua pertanyaanku tidak beliau jawab.
Aku hanya diam ikut apa kata Ayah.
Akhirnya aku shalat di mesjid yang bersebrangan dengan
salahsatu rumah sakit. Setelah shalat subuh, Ayah membawaku masuk kedalam rumah
sakit itu. Pikiranku langsung tertuju pada Ibu. Apa Ibu sakit?
“Ayah, Ibu mana? Kenapa ke rumah sakit? Apa Ibu sakit?”
hatiku mulai tak menentu. Ayah tak pernah menjawab pertanyaanku.
Lalu Ayah membawaku ke ruangan yang bertandakan “Ruang ICU”
mataku menajam setelah membaca tanda ruangan itu. Ayah membuka pintunya, aku
melihat sosok wanita terbujur kaku. Selang infusan, alat opname dengan tabung
oxygennya, semua terpasang ditubuh sosok wanita itu. Ibu, itu Ibuku?! Aku
berlari menuju tubuh yang terbaring lemah itu.
“Ibuuu, Ibu kenapa begini? Ayah, Ibu kenapa Yah, Ibu kenapa?”
air mataku tak kuasa kubendung. Ayah hanya diam. “Kenapa Ayah selalu begini?!
Kenapa Ayah selalu diam?! Rara bukan anak kecil lagi yah Rara bukan anak kecil
lagi!!!” aku menghampiri Ayah dan reflek memukul-mukul tubuh Ayah. Ayah
langsung memelukku dengan erat. “Ibu pasti sembuh Ra, Ibu pasti sembuh.” Aku
hanya bisa menangis aku tak kuasa melihat Ibu seperti itu. Aku kembali
menghampiri tubuh Ibu.
“Hari ini Rara ujian nasioal bu. Kenapa Ibu malah sakit? Ibu
cepat sembuh bu. Rara ingin dido’akan sama Ibu, Rara ingin disemangati Ibu.
Hari ini Rara ujian bu.” Aku memeluk Ibu yang tak berdaya sama sekali. aku
hanya menangis dan terus menangis.
“Rara, do’akan Ibu ya semoga Ibu cepat pulih. Sekarang kita
pulang dulu. Rara harus siap-siap sekolah.” Ayah mengajaku pulang.
Aku segera meninggalkan Ibu saat itu. Berat hati ini untuk
melalui segala guncangan hati. Harapanku sirna. Semangatku pudar. Hanya air
mata yang terus menemani pikiranku. Ibu, mengapa kau rapuh disaat aku benar-benar
sangat membutuhkanmu?
Bukan konsentrasi yang ada dipikiranku hari ini tapi sebuah
kekhawatiran besar yang terus melanda
pikiranku. Ibu cepat sembuh ya, Rara
sangat membutuhkan Ibu.
Ujian nasional berlangsung dengan lancar tapi tidak dengan
hatiku. Aku tidak menunggu Ayah menjemput, aku segera bergegas pergi ke rumah
sakit.
Angin berhembus tidak seperti biasanya, hembusannya membawa
perasaanku menjadi tenang, hembusannya membisikkanku sebuah makna agar aku
tidak sedih, dan hembusannya sangat menyejukkan hati.
Aku berdiri tepat di depan pintu ruang “ICU”. Kubuka perlahan
pintu itu namun, ruangan itu rapi. Tidak ada Ibu disana, hanya seorang suster
cantik menghampiriku yang sedang berdiri kaku. “Ibumu sudah pulang.” Maksudnya?
Pulang? Aku tidak mau menyimpulkan makna itu secara langsung. Aku harap Ibu
sudah pulang dengan keadaan yang sehat lagi.
Aku kembali melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu. Tiba-tiba
terdengar nada dering dari handphoneku. Ya, Ayahku menelepon. “Ayah, kenapa
tidak bilang kalau Ibu sudah pulang? Aku tadi ke rumah sakit!” aku kesal. “Ayah
tadi ke sekolahmu, mengapa kamu tidak menunggu Ayah? Sekarang kamu dimana? Ayah
jemput.” Nada bicara Ayah yang tidak seperti biasanya. Terdengar sedikit
gemetaran. “Rara di rumah sakit Yah, Rara nunggu disini.” Maafkan aku Ayah.
Ibu, masih aku rasakan obrolan kita tadi malam. Disini, di sofkebu ini. Sofa kesayangan Ibu, hadiah dari Ayah. Cerita itu takan pernah aku lupakan. Akan selalu ku kenang. Biarkan sofa ini menjadi pelipur lara saat aku merindukan Ibu yang kini sudah tak ada. Biarkan sofa ini menjadi tempatku menghabiskan waktu seperti Ibu dulu. Aku menyayangimu, Ibu.
Setelah lama menunggu akhirnya Ayah datang. Ayah tidak
keluar dari dalam mobil. Aku segera masuk dan duduk disamping Ayah. Aku melihat
mata Ayah sembab seperti habis menangis. Aku tak mau bertanya apapun padanya. Aku
memilih diam selama di perjalanan.
Sesampai di rumah, aku langsung turun dari mobil. Aku segera
masuk ke rumah. Mataku tertuju pada satu tempat. Ya, Mushola. Tepat sekali, ada
ibu sedang duduk di sofa kesayangannya. Aku berlari dan memeluknya. “Ibuu, Alhamdulillah
Ibu sudah pulang. Rara kaget bu. Takut ibu kenapa-kenapa.” Namun mengapa Ibu
melepaskan pelukanku? Beliau memandangku, aku kembali memandangnya. Aku melihat
ada tahi lalat dikeningnya. “Tante Dewi?” Aku tak sadar bahwa itu adalah Tante Dewi,
kembaran Ibuku. “Rara yang tabah ya sayang. Ibumu sudah pulang.” Tante Dewi
menangis, memelukku erat. Aku masih tidak ingin menyimpulkan segala yang
terjadi hari ini. “Ibu dimana, Tante?” aku mencoba menahan air mata ini. “Ibumu
di ruang belakang Ra.”
Tak banyak bicara aku langsung pergi kesana. Aku melihat
tubuh yang ditutupi oleh sinjang batik. Ada
Ayah disampingnya. Ada Om Aryo, ada Nenek, ada Aris dan semua keluarga ada
disana. Aku baru tahu mengapa semua berkumpul di ruang belakang, agar aku tidak
kaget melihat semua ini. Aku terdiam. Tubuhku mulai lemas. Lututku gemetar. Aku
terjatuh. Pandanganku kosong menatap tubuh Ibu. Ayah mendekatiku. Lalu iya
memelukku erat, sangat erat. Air mataku tak dapat kutahan lagi segalanya
membuncah bersama dengan perasaanku yang tak menentu. Aku menangis dipelukan
Ayah. Semua sanak saudara ikut menenangkanku. Aku tak kuasa melihat jenazah
Ibu. Aku tidak percaya!
Ibuku mulai diangkat akan dimandikan. Ayah bilang aku harus
ikut memandikan. Aku mengiyakannya. Aku memandikan jasad yang kini takan lagi
ada bersamaku. Aku terus menangis. Ayah menenangkanku namun aku tetap tak kuasa
menahan tangis. Aku membasuh seluruh tubuh ibu perlahan. Kini, mata indah itu
takan lagi terbuka. Mulut itu takan pernah lagi bercerita. Tangan itu takan
pernah lagi membelai manja. Ibu, secepat inikah?
Seusai memandikan jenazah Ibu, aku segera mengambil air
wudhu. Segera aku membaca Al-Qur’an. Tubuh ibu sedang dibungkus kain kafan. Aku
masih tak kuasa. Aku pergi ke mushola. Sofa itu, biasanya saat ini ibu sedang
duduk mengaji di sofa itu. Aku mendekati sofa itu, duduk lalu mengaji.
Ibu, masih aku rasakan obrolan kita tadi malam. Disini, di sofkebu ini. Sofa kesayangan Ibu, hadiah dari Ayah. Cerita itu takan pernah aku lupakan. Akan selalu ku kenang. Biarkan sofa ini menjadi pelipur lara saat aku merindukan Ibu yang kini sudah tak ada. Biarkan sofa ini menjadi tempatku menghabiskan waktu seperti Ibu dulu. Aku menyayangimu, Ibu.
4 comments:
“Ibuuu, Ibu kenapa begini? Ayah Ibu kenapa yah Ibu kenapa?” air mataku tak kuasa kubendung. Ayah hanya diam.
>> Kasih koma ya neng sayang. Biar gak bingung bacanya.
Ndeh :(
Di tengah, ada twist yg menarik. Dikirain Mamanya gak meninggal. Eh taunya tante Dewi. Ini sedih. :"/
Terima kasih, sudah diperbaiki :)))
Post a Comment