September, 2013
Aku mencintai Ayah. Sosok yang saat ini selalu menemaniku
disaat Ibu tak lagi disisiku. Aku menyayangi Ayah, karena beliau rela
mengorbankan jiwa dan raga demi anaknya yang cacat ini. Aku yang mengalami
kebutaan dari sejak kecil ini. Aku terlahir ke dunia, namun saat itu pula Ibuku
tengah meninggalkan dunia. Kata Ayah, indera
penglihatanku mengalami gangguan pada retinanya. Ketika kecil, saat aku mulai
bisa berjalan, aku sering terjatuh. Ternyata aku di takdirkan tak bisa melihat.
Meski aku tak bisa melihat, selalu ada Ayah yang siap memperlihatkan keindahan
dunia ini. Terima kasih Ayah.
Pagi hari hujan terus mengguyur bumi pertiwi ini. Kurasakan
udara dingin masuk kedalam sela kulitku yang tidak bisa kutolak kehadirannya.
Kucium aroma kopi luwak yang sering Ayah
minum. Ayahku menyukai kopi itu. Katanya, “Setiap pagi, Ibu sering membuatkan Ayah
White Coffee lengkap dengan bolu pisang buatannya.” Aku hanya bisa mendengar
suara parau Ayah ketika beliau bercerita tentang Ibu. Meskipun aku tidak bisa
melihat, tapi aku bisa merasakan bahwa terpancar wajah kesedihan pada diri Ayah.
“Ayah, aku pernah mendengar tentang kalimat bahwa “roda itu pasti berputar.” Iya kan, Yah?”
aku berjalan meraba-raba menuju Ayah yang sedang menikmati kopi luwaknya. “Ehh,
Rara sudah bangun. Sini Nak. Iya sayang, roda itu pasti berputar. Apalagi roda
gerobak siomay mang uyun, akan selalu berputar. Hehe” canda Ayah sambil
mengusap rambut panjangku. “Yey ini serius, Yah. Jika roda kehidupan pasti
berputar, apakah penglihatan Rara masih bisa disembuhkan?” aku mendengar Ayah
menghela nafasnya. “Rara, Ayah masih menunggu keputusan dokter, sayang. Belum
ada cangkok mata yang sesuai dengan matamu saat ini. Kamu harus bersabar ya.
Umurmu belum genap tujuh belas tahun, Nak.” Belaian lembut kurasakan, aku
meraba wajah Ayah dan kurasakan ada yang hangat pada wajahnya. “Ayah menangis?
Mengapa Ayah menangis? Bahkan aku tak pernah bisa menangisi keadaanku ini,
mengapa Ayah malah menangis?!” Ayah hanya diam. “Rara, Ayah menyayangimu. Ayah
akan melakukan apapun demi kamu, Nak.” Ayah memelukku, aku tak kuasa menahan
kesedihan ini. Aku ingin bisa melihat sosok yang selama ini selalu melidungiku.
“Ayah, aku merindukan sosok nyatamu.” Ayah memelukku semakin erat. Beliau
menangis lagi. aku menyayangimu Ayah. “Iya Rara, kamu harus sabar. Berdo’alah,
kamu bisa operasi jika sudah tujuh belas tahun. Agar kamu siap. Sabar sayang,
dua minggu lagi kamu bisa melihat.”
Hampir tujuh belas tahun aku selalu bermain bersama
kegelapan. Ya Allah, jika memang sudah waktunya, izinkanlah aku untuk bisa
merasakan karunia-Mu. Janganlah kebutaanku ini menyebabkan aku jauh darimu. Aku
ingin bisa membaca kalam-kalam-Mu, bukan hanya mendengarkan saja, tapi aku
ingin mengucapkan langsung dari bibirku. Ya Allah, mudahkanlah jika memang
sudah waktunya.
<><><><><><><><><><><><><><>
Bandung, 15 September 1996
Ya Allah, terima kasih atas segala kenikmatan yang telah Kau
berikan pada hambamu yang tak sempurna ini. Rahman dan Rahiim-Mu selalu
membuatku tak mampu jauh dari-Mu.
Ya Allah, jika suatu saat aku tak mampu lagi menjaga karunia
yang telah Kau beri, aku ikhlas akan memberikannya kepada yang sangat
membutuhkan.
Hatiku, jantungku, kedua mataku, jikalau ini bermanfaat
untuk seseorang, aku rela melepaskannya. Karena aku ingin menyaksikan orang
yang tak bisa sepertiku kini bisa
merasakan karunia-Mu.
Jika kini sudah waktunya, dimana aku telah Kau panggil, aku
siap untuk menghadap-Mu.
Namun, selamatkanlah anak yang ada dalam kandunganku.
“Lah, Ibu sedang apa?”
“Ehh Ayah, ini Ibu hanya iseng saja curat-coret.”
“Ibu nulis apa?”
“Tidak, Yah. Ayah, ginjal Ibu semakin sakit. Kumis kucing yang tadi sudah direbus?”
“Sudah bu, tunggu dulu biar hangat. Sabar ya bu, jika Ibu
sering meminum air godokan daun kumis kucing ini, InsyaAllah batu ginjal Ibu
akan segera hilang. Bissmillah ya Bu.”
“Aamiin. Ayah, jika Ibu meninggal dan ada orang yang
membutuhkan organ tubuh. Ibu rela organ Ibu dicangkokkan.”
“Ibu ngomong apasih?!”
“Serius, Yah. Ini wasiat loh.”
“Aaahh Ibu ini.”
<><><><><><><><><><><><><><>
Hari ini hari ulang tahunku. Tepat dengan hari meninggalnya Ibuku.
Tujuh belas tahun yang lalu Ibu mengalami sakit batu ginjal. Kata Ayah, seluruh
halaman belakang rumah dipenuhi dengan apotek berjalan. Terlebih tanaman kumis
kucing, hampir setiap sudut halaman ada tanaman itu. Daun kumis kucing yang
selama itu sedikit membantu mengobati Ibu, yang akhirnya Ibu dipanggil pulang
oleh Rabbnya. Bahkan, aku tak tahu rupa kumis kucing itu. Jangankan rupa
kumisnya, rupa kucingnya pun aku tak tahu bagaimana.
“Rara, kamu siap?” suara Ayah mengagetkanku yang sedang
duduk di teras belakang rumah.
“InsyaAllah Rara siap, Yah. Semoga operasi ini bisa lancar.
Semoga penglihatan Rara ini adalah hadiah dari Allah.”
“Aamiin, sayang.”
Kami segera meluncur pergi ke rumah sakit khusus mata.
Jantungku berdegup begitu kencang. Dalam gelapnya pandangan, kucoba
membayangkan warna-warna pelangi yang kata orang indahnya sangat mengagumkan.
Entah seperti apa warna pelangi itu, namun semua itu aku lukiskan dengan
kebahagiaan.
“Kita sudah sampai, Nak. Ayo.” Ayah membantuku berjalan ke
dalam rumah sakit. Kurasakan hawa dingin, suasana tenang, dan perasaan
menyejukan. Ayah selalu menghiburku agar aku tak ketakutan. Akhirnya, aku masuk
ruang operasi. Saat itu aku diberi obat bius sehingga aku tak sadar apa yang
terjadi. Setelah aku sadar, mataku tengah dibalut perban.
“Ayah, operasinya sudah?” tanyaku pada Ayah yang duduk
disampingku.
“Sudah Ra, setelah tiga hari perbannya baru bisa dIbuka.
Kita sama-sama berdo’a ya.”
“Iya, Ayah.”
Selama tiga hari menunggu pembukaan perban dimataku, aku tak
pernah berhenti meminta kepada Allah. Aku juga selalu meminta agar Ibu
mendo’akanku juga disana. Setiap harinya aku selalu mendengarkan Ayah mengaji.
Aku sudah tak sabar ingin segera bisa melihat kalam-kalam Allah yang selama ini
hanya aku dengar.
Hingga tiba saatnya, tiga hari berlalu. Hari ini perban
dimataku akan dibuka. Semoga aku bisa melihat, semoga aku kini bisa melihat.
“Coba buka matamu perlahan.” Terdengar suara lelaki di
depanku. Pak dokter.
“Bismillah dulu Rara.” Kata Ayah.
“Bismillahirrahmaanirrahiin.” Ucapku sambil membuka perlahan
mataku. Tapi kemudian aku menutupkan kembali kedua mataku.
“Rara kenapa? Bagaimana?” suara Ayah yang sepertinya mulai
gelisah.
“A Ayah dimana? Ayah dimana?” tanganku meraba-raba. Aku
ingin orang yang pertama aku lihat itu adalah Ayahku.
“Ayah disini, Nak. Ayah didepanmu, Ayah didepanmu.” Ayah
memegang kedua lenganku. Dan itu meyakinkanku bahwa Ayah ada didepanku. Lalu,
perlahan kubuka kembali mataku. Samar-samar terlihat sosok yang mungkin selama
ini ingin aku lihat. Aku menyentuh wajahnya, masih samar kulihat. “Ayah?” aku
tak kuasa membentung air mata ini. Tiba-tiba aku menangis, sangat deras. Ayah
memelukku. Ayah menangisiku, menangis kebahagiaan karena aku kini bisa melihat.
“Rara, ini Ayah sayang, ini Ayah.” Ayah menangis begitu haru. Ayah menghampiri
pak dokter yang masih berdiri sembari tersenyum di ruang itu. “Dokter, terima
kasih. Terima kasih Ya Allah. Anakku bisa melihat.” Ayah memelukku lagi. aku
merasakan kebahagiaan Ayah sama seperti yang aku rasakan. Aku terus menangis
karena baru sekarang aku merasakan nikmatnya menangis.
“Ayah, nanti ajari Rara mengaji ya.”
“Iya Rara, pasti Ayah akan mengajarimu mengaji.”
Ternyata dunia ini sangatlah indah. Aku tak mau menyiakan
kesempatan yang telah aku dapatkan. Kini aku bisa melihat sosok Ayah yang
tabah, kuat, dan penuh perjuangan selama tujuh belas tahun ini. “Ayah, ternyata
Ayah gagah ya. Hehe. Pantas saja kuat merawatku selama tujuh belas tahun ini.”
“Iyalah, Ayah siapa dulu dong. Hehe. Rara, matamu sangatlah
indah.”
“Iya yah, beruntung Rara mendapatkan mata ini. Siapakah yang
sangat baik hati mau mencangkokan matanya ini.”
“Itu mata Ibumu sayang. Berterimakasihlah padanya.”
“Mata Ibu?” aku menangis lagi. Terima kasih Ibu. Aku akan
memanfaatkan semua ini untuk kebaikan agar kau merasa bangga karena matamu
dipakai bukan oleh orang yang salah. InsyaAllah.
“Ayah, bukankah Ayah mau mengajakku ke taman?” aku menagih
janji Ayah yang dulu.
“Ohh iya sayang, ayo sekarang saja yuk.”
“Ayooo...”
Kami berdua pergi ke taman yang tak jauh dari rumah. Indah,
sangat indah. Aku tak mau memalingkan pandanganku, ucap syukur terus aku
lantunkan.
“Ayah, itu kucing bukan?”
“Iya Ra, itu kucing bunting.”
“Kucing bunting? Namanya aneh sekali Yah.”
“Bunting itu bukan namanya. Tapi kucing itu sedang hamil,
lihat perutnya.”
“Ohh, siapa yang menghamilinya ya Yah?” Ayah tersenyum
kepadaku, lalu Ayah menjawab “Yang pasti bukan Ayahmu ini yang menghamilinya,
hahaha.” sembari pergi membawa kucing itu.
4 comments:
Siapa yang berani2nya menghamili kucing itu? Hah?!! Hahaha
Oia, emang mata bisa dicangkok begitu ya Ndeh? Trims. :)
Eh ia ngeri ih mata ibunya disimpan 17 tahun >.< bukannya gak bisa ya?
Cangkok mata ya, harusnya sih langsung bukan? Karena susunan sarafnya kan kudu masih seger gitu. Eh gak tau juga dink.
17 tahun? :0
Post a Comment