Aku kehilangan
satu sosok yang begitu penyayang. Sosok yang tidak pernah ada habisnya cerewet
padaku. Sosok yang selalu mengingatkanku saat aku terjerembab dalam kekhilafan.
Aku menyayanginya layaknya saudaraku sendiri. Aku mencintainya karena ia selalu
membawaku pada jalan kebenaran. Ia cantik, berhijab, taat, cerdas dan tak ada
satupun yang tidak bangga padanya. Pada sahabatku tercinta Fahira Azzahra.
Saat itu senja
mulai menampakan dirinya dibalik langit yang mulai gelap kehilangan sinar sang surya.
Aku duduk diantara hembusan angin senja di sebuah taman kota. Aku masih kesal
padanya, pada Fahira. Aku tahu bahwa tindakanku di kampus tadi memang salah.
Tapi aku tidak suka dengan caranya yang terlalu membesar-besarkan masalah.
Hanya karena aku bergosip tentang orang yang tidak aku suka saat mata kuliah
berlangsung, Fahira langsung marah. Katanya, “Kalau kamu seperti itu, semua
pelajaran tidak akan menyerap. Kedengkianmu pada seseorang jangan terlalu
dibesarkan. Kamu akan merasa rugi nantinya. Sudahlah jangan bergosip saja. Itu
malah menambah dosa untukmu!” Fahira langsung memalingkan wajahnya dariku. Aku
tak bisa menyangkal. Tapi hatiku jadi kesal.
Aku masih
menikmati indahnya pemandangan senja.
Kini burung camar mulai beterbangan kesana kemari mungkin karena
sebentar lagi akan gelap. Akupun memutuskan untuk pulang. Aku rasa tadi cuaca
sangat cerah, tapi tiba-tiba terdengar gemuruh suara guntur ditemani dengan
sebitan-sebitan kilat. Sepertinya akan hujan. Aku segera mempercepat langkah
kaki agar aku tidak sampai kehujanan di jalan. Tapi belum setengah jalan aku
dapatkan, hujan deras mulai turun bergerombolan. Aku berlari karena kebetulan
tidak ada tempat berteduh di sepanjang jalan. Kudapati seluruh tubuhku basah
kuyup, kedinginan.
Sesampai di
rumah aku segera membenahi diri agar tidak masuk angin. Aku menaiki anak tangga
kelima namun terdengar suara parau memanggilku di bawah sana. “Anisa! Dari mana
saja kamu?” Ya, itu kakakku. Denar namanya. Dia sedikit galak, jutek dan
menyebalkan. Aku harap dia cepat menikah agar tidak lagi mencampuri urusanku.
“Dari taman kak.” Jawabku ketus padanya. “Tadi Fahira kesini. Dia basah kuyup
kehujanan. Katanya menghubungimu tapi tidak dijawab terus. Kalian kenapa?” Benar
kan, dia selalu mau tahu semua urusanku. Mungkin karena aku dan Fahira sudah
sangat dekat jadi sangat diherankan jika kami berdua seperti ini. Aku tidak
menjawab pertanyaan kakakku itu. Aku melanjutkan langkah kakiku. Namun, “Fahira
sakit. Dia dibawa ke rumah sakit. Hujan deras itu membuat sakitnya makin
parah.” DEG! Langkahku terhenti. Fahira sakit? Dia tidak pernah bicara padaku.
Aku membalikan tubuhku yang masih basah kuyup itu. “Fahira sakit apa??” Dengan
nada sinis kakakku menjawabnya, “Ternyata masih peduli juga. Tadi malah diam
saja.” Ahhh sudahlah jangan memunculkan kemarahanku, aku geram saat itu. Kakakku melanjutkan
ceritanya, “Sepulang kuliah dia meneleponku. Katanya kamu marah padanya. Dia
ingin minta maaf tapi kamu tak menjawab teleponnya. Jadi dia datang kesini
untuk memastikan kamu tidak apa-apa. Tapi sampai disini dia kehujanan beberapa
menit kemudian dia pingsan. Aku mengantarkannya ke rumah sakit.” Penjelasan
yang cukup membuat batinku sakit. Bukan karena ada yang menyakitiku, tapi
karena aku yang menyakiti sahabatku sendiri. “Antarkan aku kesana Kak!” Aku langsung
turun kembali dan menghampiri kakakku. “Mau apa kamu kesana? Mau ikutan sakit
juga? Kamu ini lihat, basah kuyup! Cepat ganti dulu pakaianmu!” kakakku
terlihat marah saat itu. Ternyata dia masih peduli padaku.
Setelah aku
selesai, aku segera bergegas menemui kakakku. Aku memaksanya untuk mengantarku
segera ke rumah sakit. “Nis lihat, di luar hujan sangat deras. Apa kita tidak
bisa besok saja ke rumah sakitnya?” Aku tidak bisa mengelak jika kakakku sudah
menolak. Aku tahu adatnya, jika sudah bicara seperti itu ya sudah begitu. Tidak
bisa diganggu gugat. Akhirnya aku hanya butuh kesabaran untuk menunggu besok. Aku
ingin menghubungi Fahira tapi aku takut mengganggunya. Aku hanya bisa
mendo’akanmu, Fahira. Maafkan aku.
Pagi ini terasa
dingin. Mungkin sisa-sisa hujan kemarin mengakibatkan munculnya kabut yang
sedikit tebal di sepanjang jalan. Aku dan kakakku segera pergi ke rumah sakit
yang kebetulan hari itu adalah hari minggu. Ku rasakan aroma pagi yang sudah
tidak segar lagi karena terkontaminasi polusi. Namun tidak begitu parah,
mungkin hujan kemarin sedikit meleburkan polusinya. Selain itu, sarapanku pagi
ini adalah seuntai kemacetan panjang dibarengi bisingnya klakson-klakson
kendaraan. Aku tidak habis pikir, mengapa selalu saja ada hambatan di saat aku
sedang ada urusan. Kuhabiskan waktuku dua jam di perjalanan.
Kini laju mobil
terhenti. Aku melihat sebuah gedung putih yang di sekitarnya banyak orang-orang
berlalu lalang. Aku melihat seorang bapak membopong wanita hamil masuk ke dalam
gedung itu, wajahnya pucat penuh dengan kekhawatiran. Sekilas, orang-orang
mendorong ranjang beroda yang diatasnya tergeletak pemuda dengan darah di
kepalanya. Aku sudah sampai di tempat orang-orang datang untuk menyelamatkan
kehidupan. Walau selalu saja ada yang gagal karena ajalnya memang sudah datang.
“Ayo turun, kita sudah sampai.” Aku segera turun dan masuk ke dalam rumah
sakit.
Tepat di depan
mataku, “Ruang 1. Kemboja” adalah kamar tempat Fahira dirawat. Saat aku membuka
pintu, terdengar lantunan yang sangat indah, kudengarkan lantunan itu yang bisa
membuat hatiku menjadi tenang, pikiran gundahku menghilang dan hatiku jadi bergetar.
Fahira sedang mengaji. Aku coba untuk tidak mengganggunya, aku tutup kembali
pintunya. Namun, “Masuk Nis. Mengapa menutup lagi pintunya?” Ternyata Fahira
tahu aku datang. Aku langsung masuk dan berlari kecil menghampirinya lalu
segera memeluknya. “Ra, maafkan aku.” Air mata ini tak dapat dibendung lagi.
Aku menangis didepan tubuh lemah Fahira. Kulihat masih didekapnya Al-Qur’an
kecil yang selalu ia bawa kemana-mana. Aku mengagumimu, Fahira.
Hening. Suasana
ruangan ini menjadi hening. Tubuhku kaku, lidahku kelu. Aku harus bagaimana?
Aku masih tidak percaya seorang Fahira, sosok yang luar biasa, ceria, dan
selalu telihat sehat sekarang sedang terbaring lemas tak berdaya. “Kamu sakit
apa?” Aku mengawali pembicaraan untuk memecah keheningan. “Hanya masuk angin
Nis. Hehe.” Senyuman itu terlihat palsu. Aku melihat ia merasakan sakit di balik
senyumannya. “Memangnya aku anak ingusan yang bisa kamu bohongi Ra! Masuk angin
sampai dirawat begini. Minta kerokin ke Bi Ijah aja langsung sembuh kali.”
Mendengar ucapanku itu Fahira hanya tertawa kecil. “Kamu memang anak ingusan
Nis. Sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit cemberut. Sekalinya marah malah
ngilang, tidak menjawab telepon. Kan aku khawatir.” Fahira memelukku dan
membuatku ingin menangis. Lagi. “Maafkan aku Ra. Maafkan aku.” Suasana menjadi
hening kembali. Ruangan ini kini dibalut suara tangisan haru penyesalan seorang
sahabat kepada sahabatnya.
Fahira menengok
kearah jendela ruangan. Ia berjalan menuju jendela itu. Dengan hati-hati ia
bangkit dan membawa alat infusan yang masih menempel di lengan kanannya. “Cerah
ya Nis. Ayo kita ke Taman jalan-jalan. Aku bosan seharian disini.” Fahira
melangkahkan kakinya menuju arah pintu. Tubuhnya yang lemas itu sangat
memaksakan. “Ra kamu kan sakit. Aku tidak mau!” Tapi Fahira mengacuhkanku.
“Kamu pasti mengikutiku.” Lalu Fahira keluar dan menutup kembali pintunya. Sosoknya
kabur dari pandanganku dan aku segera menyusulnya. “Aku pastikan kamu tidak
akan sendiri.” Aku menggandeng tangannya dan memegang alat infusnya. Di tengah
perjalanan, kami berpapasan dengan ibunya Fahira. Awalnya beliau marah namun Fahira
merengek akhirnya kami bisa sampai di taman seberang rumah sakit ini.
Kami duduk di
kursi taman tepat menghadap ke arah kolam dengan air mancurnya. Air mancur itu
sangat indah, menari-nari menghibur siapapun yang melihatnya. Memanjakan mata
siapapun yang dapat menghilangkan penat. Tiba-tiba, “Kanker Otak. Bukankah itu menyakitkan?!”
Kata Fahira menatap ke langit yang biru. “Maksudmu?” Aku tidak dapat mencerna
ucapannya itu. “Bukankah kamu ingin tahu penyakitku?” Fahira melirik dan
memandangku. Aku tak bisa berkata-kata, hanya linangan air mata yang tidak
ingin aku keluarkan di depan Fahira. Namun aku tak dapat membendungnya.
Mendengar ucapan Fahira, tentang penyakitnya, penyakit yang bagiku mematikan,
aku tak bisa menyembunyikan air mata ini. “Jangan nangis Nis! Aku tidak ingin
melihatmu lemah dengan keadaanku.” Fahira mengusap air mataku. Aku masih
terisak-isak tak dapat berkata sepatah pun. Aku memeluk Fahira dan kini
kurasakan tubuhnya kaku dan dingin. “Kamu dingin Ra. Ayo kita masuk lagi ke
dalam.” Namun ia menghiraukanku. Lagi. “Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin
melihat keindahhan ini untuk terakhir kalinya.” Mendengar ucapannya itu aku
tercenga, aku marah padanya, “Ra, kamu ngomong apa sih?! Ayo masuk!” Namun
tetap saja ia diam dan pandangannya kosong menatap langit. Baiklah, aku akan
menemanimu disini, sahabatku.
Setelah sekian
lama aku menemaninya. Langit mulai nampak gelap, gemuruh guntur mulai terdengar
siur-siur. Aku melihat ke arah gedung rumah sakit yang jalanannya hampir
tertutupi kabut. Sepertinya akan hujan. Dari seberang, samar-samar aku melihat
ibunda Fahira memanggil kami. Aku segera bergegas dan mengapa Fahira masih
berdiam diri saja? Aku mengajaknya untuk segera masuk ke dalam. “Ra, hampir
gelap sepertinya akan hujan. Ayo kita masuk.” Fahira hanya melirikku dan
berkata, “Aku ingin merasakan aroma hujan untuk terakhir kalinya Nis.”
Lagi-lagi dia bilang begitu. Tapi kali ini aku memaksanya untuk bangkit dari
kursi. Namun, tubuhnya lemas sekali. aku memapahnya untuk berjalan. Tiba-tiba
gerimis mulai membasahi tubuh kami. Fahira tersenyum. Kami terus berjalan.
Namun gerimis
itu mengundang banyak temannya yang lain dan menjadi gerombolan hujan yang
begitu amat deras. Aku terus berjalan dan mengapa kabut tebal semakin menutupi
jalanan. Aku tak dapat melihat jelas, aku mencoba menyeberangi jalan dan
memapah Fahira yang sangat kedinginan. Mungkin saat itu aku berada di tengah
jalan, aku melirik ke arah kanan samar-samar terlihat sebuah cahaya terang
ditengah tebalnya kabut jalanan. Sesaat, terdengar suara klakson yang sangat
memekakan. Tanpa sadar, sebuah mobil menabrak kami yang sedang menyeberang. Aku
merasakan hantaman yang begitu keras dan mana Fahira? Ia menghilang dari
sampingku. Aku lihat mobil itu pergi tanpa sebentarpun turun atau membantu.
Hujan yang deras serta kabut tebal membuyarkan penglihatanku. Aku terjatuh. Aku
mendengar jeritan-jeritan di seberang sana. Fahira, mana Fahira?! Aku terus
meraba-raba sekitarnya. Akhirnya, aku mendapati Fahira yang tergeletak
disamping kiri jalan. Darah, darah apa ini?! Kerudung putih Fahira seketika
menjadi merah pekat. Kepala Fahira! Aku memeluknya, aliran darah terus mengalir
dari kepalanya bersama derasnya hujan. Hangat, kental, merah pekat, namun wangi
apa ini? Aku memeluk Fahira lagi, aku mencium wangi itu dari kepalanya, dari
aliran darahnya. “Fahiraaaaaaaaaaa!!!”
Aku membuka mata
dan kulihat aku telah dikelilingi oleh keluargaku. Ayah, Ibu, Kak Denar
semuanya ada disini. Aku bangun dan “Mana Fahiraa?!” aku mendapati tubuhku dipenuhi
perban, ditanganku menempel selang infusan. Kakiku, kakiku kaku tak dapat
digerakkan. Aku menjerit ketakutan. “Sayang, tenang, kamu tidak apa-apa, kakimu
akan pulih. Jangan dulu banyak bergerak.” Ibuku menangis sembari memelukku
dengan erat. “Fahira mana bu, Fahira mana?!” semuanya hanya diam dalam tangis.
Kak Denar, dia sosok yang begitu keras dan tegas, diapun menangis. Ada apa
ini?!!
Dari arah pintu,
ada seseorang mengetuk dan masuk. Sosok perempuan, tegar, letih, mata yang
sembab menghampiriku dan memelukku. Ibunda Fahira. Beliau menangis, beliau
menciumiku dan berkata “Anisa, Fahira ingin bertemu denganmu. Ia menunggumu.”
Aku segera bangkit dan langsung meminta untuk mengantarkanku ke ruangannya.
Dengan kursi roda aku dibawa ke ruang UGD. Fahira ada di ruangan itu?
Dibalik pintu
aku melihat tubuh terbaring kaku. Alat-alat rumah sakit menempel di seluruh
tubuhnya. Mulut dan hidungnya ditutupi alat opname,
ditangan kanan dan kirinya terpasang selang infusan. Fahira, sesakit itukah
yang sekarang kamu rasakan? Aku tak kuasa melihatnya. Jilbab putih masih
terpasang dikepalanya. Aku mendekatinya. Aku yang masih duduk di kursi roda
meminta untuk berdiri, aku ingin memeluk sahabatku ini. Jika bisa, pindahkan
saja rasa sakit yang Fahira derita kepadaku. Aku tak kuasa melihat sahabat
terbaikku merasakannya, merasakan sakit yang begitu amat pedih.
Mata Fahira
terbuka, dalam bungkaman alat opname
ia mencoba bicara. Suaranya terdengar parau, berat, dan terbata-bata.
“A-ni-sa.” Ia memanggilku dan menggenggam tanganku. “Iya Ra? Kamu yang kuat ya.
Kamu pasti sembuh. Kamu pasti sembuh…” Aku tak dapat menahan air mata ini,
membasahi tangan Fahira, lalu dengan lemas ia mencoba mengusap air mataku. Fahira
terus memaksakan diri untuk berbicara. “Kamu jangan menangis. Jika sekarang aku
pulang, kamu harus tetap ceria ya. Ingat, jangan bergosip lagi saat belajar!
Aku tidak suka. Jika kamu merasa sendiri, bacakan surah Al-Fatihah dan Yaasiin
untukku maka aku akan berada didekatmu. Aku meminta sakitku hilang, aku sudah
tak kuasa menahan sakit ini. Aku sudah dipanggil Allah untuk pulang Nis. Jaga
dirimu baik-baik ya. Aku menyayangimu, sahabat terbaikku…. Laa ilaaha illallah…”
Masih ku genggam tangannya. Nafasnya berhenti. Matanya menutup kembali. Hening,
sangat hening. Namun, keheningan itu terpecahkan oleh suara jeritan dan tangisan
sang Ibunda. Aku masih terdiam dan memandangi sosok Fahira. Aku melihat
senyuman indah terukir di bibirnya. Dia tersenyum. Aku memeluknya dan kini aku
tak bisa membendung segala duka. Aku menangis. Sahabatku pulang dengan
senyuman. Sahabat terbaikku menyisakan banyak kenangan. Aku tahu, senyuman itu
menandakan bahwa ia pulang dengan tenang. Akupun menyayangimu, Fahira, sahabat
terbaikku.
Keesokan harinya,
aku mengantarkan jenazah Fahira ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Suasananya tenang. Angin sepoi menemani proses pemakaman. Aku mencium aroma
yang begitu segar. Wangi, sangat wangi. Kini, aku kehilangan sosok yang sangat
cinta pada Dzat yang telah memanggilnya untuk pulang. Sosok yang telah menyadarkanku
dari keterpurukan. Sosok yang selalu mengingatkan dan mengajakku pada kebaikan.
Kenangan terakhirku bersamanya adalah melihat keindahan alam dan merasakan
aroma hujan. Aku pergi meninggalkan tubuh yang kini terkubur tanah. Aku yakin,
kamu tidak akan merasa sendirian Ra, kebaikanmu akan selalu menemanimu. Cahaya
terang akan selalu menghangatkanmu, selalu ada disisimu. Seperti saat kamu
masih bersamaku, menerangi kehidupanku.
Tidak akan
pernah ada yang tahu tentang kematian. Seperti yang pernah Fahira katakan saat
pertama kali ia membuatku sadar akan kehidupan. “Jangan pernah menunda-nunda
untuk melakukan kebaikan, jangan menunda untuk bertaubat. Karena Malaikat tidak akan pernah menunda-nunda untuk
mencabut nyawa kita. Oh iya Anisa, kamu cantik deh. Tapi, lebih cantik lagi
kalau kamu pakai jilbab. Soalnya, bukan hidayah yang menunggu kita berubah,
tapi ubahlah dulu diri kita maka hidayah akan menghampiri kita.”
“Mengapa kamu begitu peduli padaku
Ra?” Dengan tenang ia menjawab, “Karena, nanti, aku ingin bertemu
lagi denganmu di Surga-Nya.”
Terima kasih sahabatku, Fahira
Azzahra. Semoga kita dipertemukan lagi di Surga.