Nyiur hijau di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi mengejar gadis
yang berlarian di pantai itu. Aku berdiri dibalik pohon kelapa, bersembunyi,
mengamati gadis cantik nan mempesona. Ku amati setiap gerak-gerik langkahnya,
ia menari indah bersama hembusan angin. Gadis itu bernama Lafika, aku tahu
namanya dari salahsatu teman pelautku. Dia mengenakan baju merah semacam dress
dengan bordiran bunga tulip dipinggirannya, juga selendang putih. Seperti
menandakan rasa cintanya pada Tanah Air yang Kaya ini. Merah-Putih. Ya, itulah
warna yang dikenakan gadis itu.
“Datanglah kemari kekasih. Aku sangat merindukanmu. Jangan
kau pergi meninggalkanku. Jika kamu tak kembali, aku seperti melihat lembayung
tidak akan pernah datang lagi.” Itulah lantunan lagu yang ia nyanyikan. Entah
penyanyi atau grup band apa yang membawakannya, tapi bagiku lantunan lagu itu
sangat asing terdengar. Suaranya sangat merdu. Tariannya sangat indah, tak
ingin rasanya aku mengedipkan mata karena tak mau melewatkannya.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menghampiri gadis itu. Ku
dekati perlahan sampai tepat aku berada di hadapannya. Lalu,
“Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!” ia berteriak dan berlari seperti melihat
hantu. Padahal, kata orang-orang aku paling ganteng di kampung. Lupakan saja.
“Hei, tunggu!” cegahku pada gadis itu. Dia berhenti sejenak,
dan melirik ke arahku. Aku mendekatinya lagi dan, “Stop! Jangan kau lanjutkan
langkahmu!” dia melotot dan menutupkan selendang putih ke kepalanya. Lalu dia
pergi, berlalu dari pandanganku.
…..
“Mengapa kau terus mengharapkan lelaki itu?!! Ayah sudah
mencarikan penggantinya. Dia tidak akan kembali lagi. Tidak akan pernah!!!”
Ayah Lafika tampaknya sangat marah. Lafika tersungkur di kaki Ayahnya.
“Tapi Ayah, Lafi mencintainya. Dia berjanji tidak akan
meninggalkan Lafi.” Lafika terus menangis namun ayahnya hanya menghiraukannya.
“Jika pulang nanti, dia memintaku untuk diam di pantai dengan baju merah ini.
Dia ingin aku yang pertama dilihatnya, Ayah. Lafi mohon, dia pasti pulang Yah.
Lafi mohon.”
Namun tampaknya permohonan Lafika tidak ditanggapi Ayahnya.
Beliau pergi meninggalkan Lafika yang masih menangis. Menangisi takdir yang
diterimanya. Tangisannya semakin membuncah.
Setiap hari menjelang senja, Lafika selalu diam di tepi
pantai. Mengenakan Baju merah. Menari dan menyanyi. Menanti seseorang yang
dicintainya.
…..
Aku bingung pada gadis itu. Mengapa dia lari dan pergi
begitu saja. Dan, mengapa bayangan gadis itu selalu datang dan menari-nari di
pikiranku. Mengenakan baju merahnya. Dan Nampak sekali senyuman indah komplit
dengan lesung pipitnya. Semoga esok aku bisa bertemu lagi. Dengannya. Semoga
saja.
Matahari mulai naik, tepat berada diatas kepalaku. Ya,
sebentar lagi gadis itu akan datang ke pantai ini. Seperti biasa, aku sudah
siap bersembunyi dibalik nyiur hijau pohon kelapa. Tak lama kemudian, benar,
gadis itu datang ke pantai dengan mengenakan dress merah lagi. Sempat aku
berpikir, tidakkah dia punya baju selain yang itu? Tapi tak apa, kecantikannya
sangat terpancar dengan ia mengenakan dress merah itu. Aku tidak terburu-buru
untuk menghampirinya. Aku masih ingin menikmati lantunan lagu dan gerakan
tariannya. Bagiku itu sangat indah. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku
darinya.
Setelah lama menyaksikan keindahan pemandangan pantai, bukan
pantainya yang indah, tapi karena ada Lafika disana, semua menjadi sangat
indah. Aku mencoba menghampirinya lagi. “Hai, gadis cantik.” Berharap dia tidak
teriak dan lari lagi. Namun, sepertinya aku mengagetkannya dan,
“Huaaaaaaaaaaa!!” lagi-lagi dia berteriak tapi sebelum dia lari aku segera
memegang tangannya. Begitu halus. “Tunggu, aku bukan orang jahat.” Berharap dia
mau menoleh ke arahku. “Tolong lepaskan aku!” dia menangis dan akhirnya aku
lepaskan saja. “Maafkan aku.”
Akhirnya, kami berdua bisa mengobrol namun dari jarak yang
lumayan cukup jauh. Mungkin terdengar aneh, tapi aku teriak-teriak untuk bisa
mengobrol dengannya. Di tepi pantai kami ditemani deruan ombak dan kicauan
burung menemani obrolan di senja ini.
“Gadis cantik, mengapa setiap hari kau selalu ke pantai ini?
Mengenakan dress merah, menyanyi dan menari. Bagiku itu sangat indah.”
“Jadi selama ini kau selalu melihatku? Tolonglah pergi
darisini!”
“Pergi? Tentu saja aku tidak mau. Aku mengagumimu wahai
gadis cantik.” Saat aku menoleh padanya, dia sepertinya akan menangis. “Kau
kenapa? Maafkan aku.”
“Aku tidak seperti yang kau kira. Setiap hari aku ke pantai
ini, aku sedang menunggu seseorang pulang. Dia memintaku untuk memakai baju
ini, karena dia menyukai warna merah. Jadi, tinggalkan aku sekarang!”
Mendengar ucapan gadis itu hatiku serasa teriris, dia sedang
menunggu seseorang. “Kau menunggu siapa? Kekasihmu?” lidahku menjadi kelu dan
kaku.
“Ya. Aku menanti kepulangan kekasihku. Raja dihidupku, dia
suamiku.”
Rasanya mendengar ucapan yang satu ini hatiku bukan teriris
lagi, tapi hancur lebur tak tersisa. Penjelasan gadis itu, bahkan aku pikir dia
bukan gadis lagi, sangat membuat hatiku tercabik-cabik seperti cabikan harimau
terhadap mangsanya.
“Mengapa tidak ada yang memberi tahuku bahwa Lafika telah
bersuami??!!!” Teman-temanku hanya tertawa melihat kemarahanku. Sejak saat itu
aku tidak ke pantai lagi. Aku ingin melupakan sosok Lafika, yang suka menyanyi
dan menari-nari mengenakan baju merah untuk menunggu kepulangan suaminya itu.
Lupakan!
No comments:
Post a Comment