Aku berjalan
menelusuri setiap pedagang yang berceceran di pinggir jalan trotoar. Masih
banyak pedagang kaki lima yang tidak mematuhi peraturan pemerintah kota Bandung.
Itu adalah pedagang yang sudah pernah ditertibkan, belum lagi pedagang yang
belum kena razia. Sepertinya akan lebih banyak lagi dari yang sekarang ini.
Entahlah. Kata pemerintah, “Mereka (para pedagang kaki lima) hanya mementingkan
pribadinya saja tanpa memikirkan nasib sekitarnya. Berjualan di trotoar sangat
mengganggu pejalan kaki dan semestinya trotoar bukan tempat untuk berjualan.”
Namun disisi lain para pedagang juga berkata demikian, “Mereka (Pemerintah)
hanya mementingkan pribadinya saja, tanpa memikirkan nasib masyarakat kecil.
Memang, pemerintah menyediakan tempat untuk kami berjualan tapi harga sewanya
itu loh. Besar pasak daripada tiang jadinya. Jika kami tidak dagang seperti
ini, kami, keluarga kami, mereka mau makan apa?!” Hmmm makan apa yaaaa, ayooo
makan apa cobaa??!!!
Bisa dibilang
dilema stadium empat jika terus memikirkan masalah seperti ini. Disatu sisi
pemerintah yang benar, tapi disisi lain pemerintah juga ada salahnya. Begitupun
sebaliknya, disatu sisi masyarakat benar, tapi disisi lain mereka juga salah.
Harusnya, pemerintah dan masyarakat itu saling melengkapi. Harusnya. Tapi ya
bagaimana lagi, saat saat kampanye saja para calon pejabat beramai-ramai
memperebutkan hati rakyat, turun kelapangan dengan memberi banyak bantuan.
Tetapi setelah berhasil menduduki jabatan, rasanya masyarakat dilupakan. Hanya
uang dan kekuasaan saja yang mungkin mereka pikirkan. Tapi tidak semua, tidak
semua.
Aku melihat
banyak sekali yang belanja di tempat pedagang kaki lima diseberang jalan. Aku
coba teliti dari kejauhan ternyata barang dagangan yang mereka jajakkan adalah
perlengkapan belajar dan juga alat-alat kantoran. Di atas dagangannya tertulis
“Discount up to 75%” sudah seperti di toko-toko besar saja gayanya itu. Ya,
pada saat itu adalah musim pergantian tahun pelajaran. Pantas saja banyak
orang-orang berburu barang yang demikian. Murah. Namun belum tentu kualitasnya
bagus atau tidak tapi mereka tidak peduli yang penting diskon. Sangat jelas
sekali bahwa pada dasarnya masyarakat disini memang modis alias modal diskon.
Saat itu jalanan
sangat penuh. Kemacetan yang panjang ditemani ritme klakson motor dan klakson
para penghuni mobil mewah yang tak sabaran, menemani perjalanku di siang yang
sangat gundah ini. Sudah tahu macet, masih saja saling melempar suara klakson
yang memekakan telinga ini. Dikira sedang ada perlombaan bunyi klakson kali ya.
Klakson siapa yang bunyinya paling indah, maka itulah pemenangnya. Ahh memang
pada dasarnya mereka tidak sabaran.
Aku terus
menelusuri jalan. Aku tidak tahu kemana aku akan pergi. Kucoba terus berjalan
hingga kutemukan apa penyebab kemacetan panjang ini. Banyak orang yang
berkerumun disana, di dekat trotoar yang hampir memenuhi sebagian jalanan. Aku
kira sedang ada promosi barang atau yang lainnya. Tapi ternyata, sebuah
kecelakan terjadi disana. Anak kecil tertabrak oleh pengendara motor. Bukan
hanya satu, tapi tiga orang sekaligus. Katanya, anak kecil itu sedang asik
memilih barang yang dijajakkan di trotoar, karena saking penuhnya anak itu
terhempas dari trotoar dan terlempar ke jalanan yang saat itu ada motor sedang
melaju kencang. Segeralah di rem oleh sang pengendara motor namun tidak
berhasil terselamatkan, anak itu terhempas keras dan motor itupun terlempar
mengenai dua orang pembeli yang sedang berada di pinggir jalan. Alhasil, tiga
orang menjadi korban.
Karena
kecelakaan tersebut, mengakibatkan para pengendara motor dan mobil semakin
tidak sabaran. Apa aku harus mengulangi pernyataanku barusan? Sudah tahu macet,
masih saja berlomba-lomba menyalakan klakson yang nyaringnya keterlaluan. Kali
ini aku hampir kalap. Aku tidak bisa keluar dari kerumunan dan kemacetan. Kini,
trotoarpun penuh bukan hanya oleh pedagang saja tetapi juga terisi oleh para
pengendara motor. Kalau sudah begini, aku pulang lewat mana? Jangankan untuk
berjalan, melangkahkan kaki saja sulit minta ampun karena saking berdesakannya
dijalan.
Aku coba
menyisir sedikit demi sedikit ke pinggiran trotoar yang mungkin aku bisa
sejenak diam untuk menenangkan kepenatan pikiran dan keadaan yang tidak enak
dipandang. Akhirnya aku bisa bersandar pada salahsatu tembok di trotoar
tersebut. Kupandangi seisi jalan yang masih saja macet bukan kepalang. Panas
terik, asap kendaraan dan kebisingan para penghuni jalanan masih menghiasi kota
kembang ini. Aku sedikit menghela nafas, ku rasakan udara yang aku hirup
bukanlah oxygen sang udara segar, melainkan polusi-polusi yang kini marak
bertebaran. Aku lupa tidak memakai masker, aku batuk-batuk bukan main. Lalu
tiba-tiba ada yang menyodorkanku minuman botol yang kelihatannya dingin dan
segar. “Panas ya mbak? Coba minum teh ini deh. Terbukti menyegarkan dan bisa
membuat pikiran menjadi tenang.” Seketika aku memandang sosok yang begitu
perhatiaan kepadaku. Aku melihat sosok itu sangat tampan, wajahnya tegas,
senyumnya menawan. Ahhh rasanya semua kepenatan ini hilang. Aku gugup, sangat
gugup. “Ehh iya. Terima kasih mas.” Aku terima pemberian dari lelaki itu karena
aku memang sangat kehausan. “Macetnya tidak kunjung usai ya mbak. Gimana,
tehnya segar?” Mungkin aku terlau kepanasan dan kehausan sehingga teh di botol
itu langsung habis dalam tiga kali tegukkan. “Emm segar sekali mas. Hausnya
jadi hilang.” Lelaki itu tersenyum mendengar ucapanku, katanya “Syukurlah kalau
begitu. Tak apa mbak, kali ini minuman itu saya jadikan sample jadi gratis gak
usah bayar. Tapi jika mbak mau pesan silahkan datang saja ke tempat kami di
trotoar sebelah sana.” Lelaki itu menunjukan tempatnya dia berjualan. GLEK! Aku
menelan sisa tegukkan teh itu. Ternyata dia seorang pedagang kaki lima dan aku
kira, dia perhatian padaku memberi minuman yang pas disaat panas menyengat ini.
Tapi ternyata hanya sekedar promosi untuk menarik perhatian. Ya, untuk menarik
perhatian pelanggan bukan menarik perhatianku. Ahhh dasar ke-GR-an!
Akhirnya jalanan
kini mulai lancar setelah beberapa waktu yang lalu polisi datang mengamankan.
Aku terus menelusuri jalan dan tidak tahu kemana lagi kaki ini akan melangkah.
Mungkin di depan nanti akan kutemukan kejadian yang lebih bisa aku ambil
hikmahnya. Yang bisa aku renungi segala peristiwanya. Aku berhati-hati melewati
trotoar yang masih penuh dengan para pelaku ekonomi itu. Aku harus pintar
pintar menemukan celah untuk berjalan agar tidak terlempar ke tengah jalan.
Jika sampai aku terlempar, aku takut menjadi penyebab kemacetan yang bisa
mengakibatkan perlombaan ritme klakson yang suaranya indah, nyaring, dan “menawan”
itu. Lagi. Hmm trotoar, trotoar, kini fungsimu bukan hanya untuk para pejalan
tapi juga sebagai tempat para pencari kenestapaan.
No comments:
Post a Comment