Bandung, 16 September 1995
Aku
duduk di bawah sinar surya di
pagi yang segar ini
Kulihat
pohon rindang yang daun-daunnya ingin
menyentuh tubuhku ini
Tubuh
yang merasakan tendangan-tendangan nikmat
Dari
benih yang telah kami tanam
Jabang
bayi ini adalah dirimu, anakku
Selama
sembilan bulan ini kita berada dalam
satu hembusan nafas
Disini
Ibu sedih, di dalam sana kau ikut resah
Disini
Ibumu bahagia, di dalam sana kau mendapat
ketenangan
Sampai
suatu saat dimana ragamu
Siap
hadir di dunia
Siap
membuka mata
Untuk
melihat keindahan alam semesta
Selama
sembilan bulan kau berlindung dibalik
rahim yang kokoh
Dimana
rahim Ibumu ini menjadi satu-satunya tempat
teraman bagimu
Ditemani
air ketuban yang menjadi sumber nutrien
Sebelum
mendapat nutrisi yang nyata dari
Ibumu ini
Disini,
adanya air ketuban ini, kau bebas bergerak anakku
Setiap
tengah malam, Ibu merasakan
tendanganmu
Bahkan saat ini Ibu sedang merasakannya
Tapi Ibu
tidak marah nak,
Ibu bahagia karena kau sehat di dalam sana
Sampai
suatu saat nanti,
mungkin sebentar lagi
Ibu
akan menjadi wanita seutuhnya
Ibu
siap mempertaruhkan nyawa demi dirimu, anakku….
……………….
“Ibuuuu, lagi apa????!!!!” Teriakan Ayah yang
berdiri di pintu kamar.
“Lagi nulis puisi, yah.” Jawab Ibu dengan
tenangnya
“Bu!
Basaaah!
Air ketubanmu pecah!!!” Ayah
segera menghampiri Ibu yang sedang duduk asyik menulis puisi di kursi malasnya.
“Allahu Akbar! Ayaaahhh!!! Ayo ke
rumah sakit. Ibu mau melahirkan!!!” Teriak
Ibu yang baru terbangun dari alam bawah sadar.
“Baru sadar Bu? Ayo!”
|||||
“Dengan segala kepanikan, Ayah menggendong
Ibu yang sudah basah kuyup karena
air ketuban,
lalu membawa Ibu ke rumah sakit”
“Hihi, kisah Ibu lucu sekali.”
“Kamu
menertawakan Ibu? Itu
kisah tentang kelahiran kamu looh.”
“Ya habisnya, disaat-saat seperti
itu masih sempatnya Ibu membuat puisi.”
“Saat itu kamu lahir lima hari sebelum
waktu yang diperkirakan. Mungkin puisi itu telah merangsangmu untuk keluar
lebih awal. Istilahnya kamu mendapat kode dari puisi itu bahwa Ibu sudah siap
kedatangan malaikat mungil sepertimu.”
“Ah Ibu ini. Bisa saja. Hehehehe. Tapi puisinya bagus
banget bu. Rara jadi makin saaaayaaaang sama Ibu.”
Aku memeluk Ibu
sangat erat. Ibu yang telah bersusah payah,
bertaruh nyawa, berkorban segalanya demi anak yang dicintainya. Aku akan selalu membahagiakanmu Bu. Selalu.
“Oh iya Bu, judul puisinya apa?”
Ibu memandang ke arahku, sorotan matanya begitu tajam menatapku sambil
berkata “KETUBAN
PECAH”
“??!!!%$*#&*%&#*##!!”
1 comment:
Ndeh, coba deh belajar bikin kepanikan tapi gak kayak sinetron. Maksud aku kayak itu pas ayah tau ketuban ibunya pecah, kok ibunya langsung kepikiran. Coba deh bayangin realnya, kalo panik kayak gimana.
Biar ndeh makin cetar tulisannya..
SEMANGAT YA NDEH
Post a Comment