“Barang siapa yang menemukan sesuatu di dalam SAKU CELANA
siapapun, maka itu adalah hak milik penemunya!”
Entah apa yang ada dipikiranku sampai aku membuat peraturan
seperti itu. Mungkin karena kecerobohan Ayah yang sering lupa memeriksa saku
celananya. Aku selalu menemukan uang, cincin, bahkan handphone saat aku akan
mencuci pakaian salahsatunya celana Ayah. Untung saja aku selalu memeriksanya
dulu. Kalau tidak, sudahlah, barang-barang itu akan dilalap habis oleh mesin
cuci.
Sampai suatu ketika, terjadi kassus yang sangat
menggemparkan hati dan pikiranku. Membuatku nelangsa untuk dua hari kedepan.
Ya, di saku celana itu, lagi-lagi di dalam saku celana.
Dari jauh aku melihat Dena berlari menuju arah kamar Ibu. Dena
adik perempuanku, dia berusia sebelas tahun. Dia teriak-teriak dan suara
cempreng itu membangunkan Ibu. “Ibuuuu, Ibuuuu, Ibuuuu. Dena nemu ini bu di
saku celana Kakak.” Hah?! Saku celanaku? Aku langsung menghampiri Dena dan
disitu ada Ibu. “Nemu apa Dena, sayang?” aku melihat Dena memperlihatkan genggaman
tangannya kepada Ibu. Aku takut sesuatu yang berharga ditemukan olehnya. Dan,
“Lihat bu.” Uang seratus ribu dia perlihatkan. Oh My God uangku. “De, balikin
uang kakak!” paksaku padanya. Tapi, Dena langsung melirik ke arah pintu dapur,
di sebelahnya terdapat bacaan dan Dena menyebutkannya “Barang siapa yang
menemukan sesuatu di dalam saku celana siapapun, maka itu adalah hak milik
penemunya!” Ya, itu adalah peraturan yang aku buat. Dena senyum sinis padaku.
“Tapi, tapi, kok kamu tumben sih, mau nyuci?? Tadinya kakak yang mau nyuci!
Balikin ga?!” aku memaksa Dena namun dia malah bersembunyi dibalik sosok Ibu.
“Eitts kalian ini. Kak, kan kamu yang bikin peraturan, masa kakak juga yang
melanggar?” Ibu malah membela Dena. “Tapi bu, itu uang mingguanku. Aku lupa
tadi. Lagian uang sebanyak itu mau Dena apakan?” Dena hanya mengejekku dan
terus melambai-lambaikan uang itu padaku. “Mau aku beliin es krim, terus beli
boneka, terus beli siomay, terus beli pokoknya banyak deh. Makasih ya ka.” Dena
nyengir kuda dan itu sangat menyebalkan. Huh! Dan Ibu, hanya menggelengkan
kepala tanpa bertindak apa-apa. Ya, aku tahu kalau Ibu adalah orang yang taat
pada peraturan, tapi ini kasusnya beda buuu! Dan aku, mengapa aku ceroboh??!
Pagar makan tanaman itu namanya. Sisa uang mingguanku hanguslah sudah. Aku
tidak bisa jajan selama dua hari karena hal itu.
Tiga hari berlalu dari peristiwa saat itu. Kini aku harus
hati-hati, jangan ceroboh menyimpan sesuatu di saku celana itu. Tadinya aku
berniat ingin melepas peraturan itu tapi aku pikir, peraturan itu memang
berguna dan sekarang Ayah jarang ceroboh lagi. Ku urungkan kembali niat itu.
Suatu malam, Dena menggedor pintu kamarku. Aku masih kesal
padanya, aku diamkan saja dia. Tak lama kemudian dia tidak menggedor lagi. Saat
aku melirik ke arah pintu, pandanganku tertuju pada sebuah amplop yang ada di
pangkal pintu. Aku tersenyum dan berharap itu adalah uang seratus ribu yang
waktu itu. Dena mengembalikannya? Aku segera ambil dan membuka amplop itu.
Ternyata amplop itu berisi surat dan selembar kertas. Surat itu berisi tulisan
tangan dena yang sedikit jelek dan tidak indah.
“Kak, uang seratus ribu itu kan udah jadi hak milik Dena.
Jadi ikhlaskan saja ya kak. Dena enggak beli apa-apa kok kak. Dena pikir, kakak
itu pelit banget. Sama adiknya aja pelit apalagi sama oranglain hehe. Jadi
uangnya Dena sumbangin deh ke “Yayasan Duafa”. Tapi tenang ya kak, Dena
sumbangin atas nama kakak kok. Kalau enggak percaya, tuh Dena minta bukti
kwitansi. Ibu yayasan senyum waktu Dena minta kwitansinya, gak tau kenapa. Jadi
semoga kakak ikhlas ya sama uang itu supaya kakak dapat pahala juga. Aamiin.”
Aku menangis membaca surat Dena itu. Ya, dia adik kecilku
tapi pemikirannya melebihi pemikiranku. Aku malu, aku berpikir tidak bisa jajan
dengan uang itu. Tapi dena, memilih jalan yang mulia pada uang itu. Mungkin
jika aku tidak ceroboh menyimpan uang itu di saku celanaku, aku tidak akan
tersadarkan dengan surat dari adikku ini. Aku terlalu memikirkan keinginanku
tanpa memikirkan kebutuhan orang-orang disekitarku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mencabut peraturan itu dan
menggantikannya dengan peraturan yang baru. Adikku Dena, tersenyum membaca
peraturan itu. Bunyi peraturannya yaitu,
“Barang siapa yang menemukan sesuatu di dalam SAKU CELANA
siapapun, maka itu adalah hak milik orang lain. Orang yang lebih membutuhkan.
Harus disumbangkan! (Harap lapor kepada : Dena Nafisa).”
Terima kasih Dena, adikku tersayang.
No comments:
Post a Comment