Kadang, aku bosan menunggu. Menunggu dirimu, yang selalu menyisakan tekanan batin yang teramat dalam. Jika
semua yang aku lakukan hanya sia-sia, mengapa tidak kau tindas saja hati ini?! Atau aku harus bunuh perasaan ini, agar kau tak lagi terbebani?! Tapi, bukan!
Bukan itu keinginanku! Aku akan selalu menunggumu, walaupun aku harus terus
menangis, walau sampai aku tak bisa tertawa
kembali. Karena, aku sudah terlanjur jatuh. Jatuh cinta padamu.
Pagi ini angin sepoy menggoda
daun-daun yang mulai menguning. Ia juga mencoba mengajakku bermain, hembusannya
selalu membuatku terperanjat dari lamunan. Seakan ia tak ingin aku terus larut
dalam kesepian. Andaikan aku menjadi dirimu, angin, aku akan terbang bebas
pergi kemanapun sesuai maksud hati ini. Satu yang aku mau, aku ingin pergi
menemuinya.
“Dasar!
Ratu Galau tak pernah berhenti galau.” Nita, teman satu kost. Selalu mengoceh
tak jelas disaat aku sedang melamun.
“Namanya
juga Ratu Galau.” Kataku acuh.
“Hahaha.
Kamu mau ngilangin galaunya enggak?” tanya Nita.
“Mau
mau, gimana Nit?”
“Bilang
dong ke orangnya, jangan dipendam terus.”
“Bilang?
Aku yang bilang? Yang bener aja! Dia itu cowok populer Nit, di-ka-la-ngan-nya.
Duuuhh mau ditaruh di mana mukaku kalau aku bilang, terus dianya cuek. Hih.”
“Ah!
Kamu tuh gengsian. Emansipasi wanita dong. Wanita yang harus mulai duluan.
Jangan mau kalah sama lelaki!” gelagatnya sambil mengacung-acungkan tangan.
“Emansipasi
ya emansipasi, gak ada hubungannya sama urusan hati!”
“Hmmm.
Terserah sih.”
Kemudian Nita pergi meninggalkanku.
Meninggalkanku yang masih mematung, bingung karena perkataanya, sarannya, yang
menurutku itu sangat ekstrim. Lebih ekstrim dari semua penomena alam di dunia
ini. “Apa aku harus bilang?” batinku.
Aku
berdiri tepat di depan gerbang kelabilan. Kadang aku bahagia masuk ke dalamnya,
kadang pula aku menderita jika mengetahui keadaan yang sebenarnya. Tapi, bisa
dibilang itu bukan yang sebenarnya, melainkan sesuatu yang hanya aku lihat
saja. Melihat dia yang selalu dekat dengan semua wanita kampus. Tuhan,
mudahkanlah segalanya.
“Hai
Ris! Baru datang?” jarak dua meter, dia, iya dia, Ardi namanya, menyapaku. “Eh,
iya.” Jawabku. “Sarapan belum? Ada menu baru nih. Nasi goreng labil. Kalau
sudah masuk mulut, rasanya labil. Hehe.” Katanya sambil membawakanku daftar
menu café kampus. “Wahh, harus nyoba nih.” Kataku sedikit antusias kalau soal
makanan. Tapi tapi tapi, dia memalingkan wajah pada arah yang lain. “Andin,
Dima, cobain yuk nasi goreng labil. Dijamin bakal ketagihan. Pas buat sarapan
kalian.” Otomatis dua orang cewek itu langsung menghampirinya. Aku merasa
dimadu tiga! Tapi, siapa aku?! aku pergi, tak jadi memesan. “Ris, mau kemana?”
katanya. “Masuk kelas.” Jawabku. Lalu aku pergi tanpa melirik lagi ke arahnya.
Hati ini serasa teriris hingga
menipis. Aku cemburu! Aku sudah tak bisa begini lagi. Aku harus mengatakan
bahwa aku menyukainya. Bahkan lebih dari sekedar suka. Gengsi? Buang sajalah
jauh-jauh. Aku harus mengatakannya. Aku lelah di-php-kan terus. Perhatiannya
yang sekarang terus diberikan pada semua orang, aku tidak rela! Aku akan
mengatakannya.
Tengah
hari. Panas terik mulai berani menantang siapa saja yang ada di luaran sana.
Angin sepoy hanya sesekali lewat untuk sekedar menyejukkan saja. Hari ini
sangat panas, sepanas hatiku yang sudah membludak karenanya. “Nita, hari ini
aku akan menuntaskan semuanya. Aku akan mengakhiri kegalauanku!” batinku
bergumam.
Aku
mengintip dari kejauhan. Ardi masih dan selalu sibuk. Aku menunggu waktu yang
tepat saat café tidak terlalu ramai. Dan sekaranglah waktunya. Aku mulai
berjalan menuju café. Kulihat Ardi sedang duduk di sana.
“Ardi,
aku menyukaimu.” Sontak Ardi langsung berdiri saat aku membisikan kalimat itu
dari arah belakang. Semua yang ada di café ikut kaget dan langsung melirik ke
arahku. Aku tak peduli.
“Ri..Risa!
kamu tadi yang..yang bilang?” tanyanya dengan mata terbelalak.
“Hehehe,
iya. Aku menyukaimu.” Bisikku padanya.
Terlihat wajah Ardi kian memerah.
Rasanya hatiku kini terasa lega. Plong. Tak ada beban lagi yang mengganjal. Aku
senyum-senyum sendiri tak bisa berhenti. Rasanya banyak sekali bunga yang
mengitariku saat ini.
“Risa,
tapi Ris aku kan…”
“Kamu
tak perlu menjawab apapun, aku hanya sekedar menyampaikan maksud hati. Jangan
terlalu dipikirkan, mungkin ini hanya, hmm ya sudah. Selamat melanjutkan
aktivitas ya!” Aku pergi meninggalkan Ardi yang masih mematung di café.
Yes! Aku merasa tenang sekarang. Aku
sangat senang karena sudah mengatakan ini padanya. Pada Ardi sang pelayan café
kampus. Aku tak mau mendengar apapun darinya. Bukan maksud aku menembaknya,
hanya saja aku sudah menyampaikan maksud hati yang sebenarnya.
Alasanku
menyukainya karena dia sangat perhatian padaku, walau cinta tak butuh alasan
tapi ini sangatlah beda. Aku tau, dia perhatian kepada semua pelanggannya, tapi
entah mengapa akumenjadi egois dan memutuskan bahwa perhatian dia padaku
sangatlah berbeda. Dia baik kepada semua pelanggannya, tapi kepadaku sikap baiknya
berbeda. Walau dia hanya seorang pelayan, tapi aku menyukai keramahannya. Senyumnya
bak bunga mawar yang mekar, sangatlah indah. Ahhh Ardi, aku tak kuasa berpaling
dari pesonamu.
Sepuluh
menit kemudian, belum sampai aku di kelas tujuan, tiba-tiba ada bunyi sms dari
handphoneku. Tak bernama, kubuka smsnya dan sangat sangat panjang sekali.
Aku juga menyukaimu Risa.
Sebenarnya aku bukan seperti yang
kamu bayangkan.
Aku juga mahasiswa di kampus ini
di kelas karyawan. Aku bekerja hanya untuk menambah uang saku saja. Haha.
Aku kalah cepat, Ris. Tadinya
hari ini aku akan menemuimu. Tapi tiba-tiba kamu sudah ada di belakangku.
Sekali lagi, aku menyukaimu Ris.
Jauh sebelum engkau mengenalku sebagai pelayan di café ini.
Sampai ketemu pulang kuliah ya.
Di sini, di café ini J
~Ardi~