Aku menatap cermin. Merapikan rambut
panjangku yang hitam dan lurus. Bagai iklan sampo di televisi. Senyumku
melebar, sumringah. Jantungku berdebar tak seperti biasanya. “Akhirnya aku bisa
bertemu juga denganmu.” Sahutku bicara sendirian pada cermin. “Setelah sekian
lama kita berpisah, akhirnya kita dipertemukan juga.” Lanjutku yang masih
terpaku di depan cermin. “Kau datang untuk melamarku?” ucapku lagi. “Duuuhhhh Rara!
Kamu ini gila apa? Ngomong apa sih ini?! Jangan terlalu berharap lebih dengan
pertemuan ini.” Aku menggerutu dengan kelakuanku sendiri. Lebih baik aku pergi
meninggalkan cermin itu. Latihan selesai.
Hari ini cuaca sedang tidak bersahabat.
Angin berhembus membawa aroma kepedihan. Kepedihan hati yang selama ini aku
pendam sendiri. Menanti sang kekasih yang tak kunjung datang, adalah satu dari
sekian banyak masalah tentang perasaanku saat
ini. “Kamu dimana sih, Rob? Kok belum datang aja!” Aku masih berjalan
sembari menanti kekasih yang tak kunjung datang. Kulihat waktu sudah menunjukan
tepat pukul sepuluh. Aku duduk sebentar di kursi taman yang tidak begitu jauh
dari stasiun kota. Bunga-bunga menari bersama angin, seperti dancer yang sudah
sangat ahli. Mereka menari dengan sangat kompak. Mataku dimanjakan oleh
pemandangan bunga di taman itu.
Sejenak, aku lupa bahwa hari ini aku
akan bertemu dengan Robi. Kekasih hati yang tinggal di pulau tetangga,
Kalimantan. Sudah tiga jam aku menunggunya, membuat aku merasa bosan sendiri.
Kesendirian ini sudah aku alami selama tujuh bulan saat Robi memutuskan untuk
bekerja di Kalimantan.
“Hei, Ra. Siang bolong gini melamun.” Seseorang menepuk
bahuku. Aku coba mengalihkan pandanganku pada sosok itu. “Ardi?, hei, Ardi.”
Mengapa aku jadi kalap? Aku menjadi gagu sesaat. Melihat matanya yang tepat
memandang mataku pun tak dapat kuhindari. Aku seakan menikmati setiap detail paras
wajahnya. “Hei, Ra. Rara!” Lamunanku tersentak olehnya, oleh Ardi. “Maaf, Di.”
Wajahku mulai merah padam.
Setiap aku bertemu dengan Ardi, ada
perasaan lain di hati ini. Ardi teman SMA yang pernah menyatakan cintanya
padaku, aku tolak mentah-mentah karena aku lebih memilih Robi ketibang Ardi.
“Kamu ngapain disini, Ra?” Tanya Ardi. “Aku menunggu Robi.” Aku masih menundukkan
kepalaku karena malu. Ardi tidak berkomentar. Dia hanya tersenyum menanggapiku.
“Kamu ini wanita baik. Beruntung Robi memilikimu.” Kali ini aku yang tidak
berkomentar. Sampai obrolan kita terputus karena Robi ternyata menghubungiku.
“Di, aku tinggal ya. Bye.” Aku berlalu dari pandangan Ardi. Ingin aku menengok
ke belakang, namun aku tak sanggup. Aku buka handphone yang sedari tadi aku
simpan di tas dan disilent pula. Kudapati sms dari Robi.
“Ra, kamu gimana sih? Ditelepon gak dijawab-jawab!”
“Ra!!!”
Ya ampun. Kok Robi malah marah-marah?
Aku yang sedari tadi menunggunya di sini, biasa saja. Harusnya aku yang marah. Aku tak berpikir panjang langsung
meneleponnya.
“Kamu di mana? Aku sudah menunggumu
hampir empat jam di sini!” Nadaku yang sedikit naik. Emosi. “Temui aku di Taman
Kota.” Hanya seperti itu? Lalu Robi mematikan teleponnya. Aku bergegas pergi ke
taman kota yang memang tidak jauh dari stasiun kota. Sesampai disana, aku
melihat sosok yang sudah kutunggu-tunggu berdiri di sana. ingin segera
kupraktikan semua ucapanku tadi di cermin. Aku berlari kecil untuk menemuinya.
Rasa bahagia ini tidak dapat aku bendung lagi. Setelah tujuh bulan LDR ini
membunuhku, akhirnya hari ini dihidupkan lagi dengan kedatangannya.
“Ra, aku akan bertunangan.” Kata-kata
yang menurutku itu ambigu. Dia mengeluarkan sebuah cin-cin berlian dari saku
jasnya. “Aku sudah memiliki kekasih di Kalimantan sana. Maafkan aku. Aku datang
ke sini hanya untuk memberitahukan semua ini. Aku tak ingin menjelaskan lewat
perantara apapun. Tapi kali ini aku memaksakan diri untuk pulang dulu ke
Bandung. Karena aku akan bertunangan dengan Nadia, teman kerjaku di Kalimantan.”
Aku tidak sedang bermimpi kan? Apa aku
juga tidak salah dengar? Robi menemuiku hanya untuk mematahkan hatiku? Harapan
untuk bertunangan dengannya, kini kandaslah sudah. Aku tidak bisa berkata
apapun. Bahkan untuk sekedar berkata “Hai” pun aku tak sempat. Aku pergi
meninggalkan Robi tanpa sepatah kata pun. Rasanya jantungku berhenti berdetak.
Sesak. Panas. Kacau. Bukankah pertemuan adalah moment yang sangat dirindukan
oleh para penyanding LDR? Tapi jika pertemuan ini berakhir luka, aku tak
seharusnya menantikan ini semua. Hubungan yang baru tujuh bulan aku jalani,
kini berakhirlah sudah. Tidak ada lagi LDR. Yang ada hanyalah serpihan kenangan
yang tak pernah ada indahnya. Mungkin jika dulu aku memilih Ardi, tidak akan
pernah terjadi seperti ini. “Sudahlah Rara, sekarang tutup kembali hatimu.
Biarkan hati ini dibuka oleh sosok yang benar-benar Tuhan kirimkan untukmu.
Sosok yang tidak lagi me-LDR-kan kisahmu, kisah cintamu.” Batinku mengoceh
sendirian.
Kini aku pulang bersama kenangan pahit
yang takan terlupakan. Tapi aku akan mencoba untuk melupakan. Bukankah untuk
menjadi lebih baik, harus belajar pada masa lalu? Inilah Aku, yang siap kuat
menghadapi segala gencatan hati.
No comments:
Post a Comment