Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

August 27, 2015

Ah! Dasar Kucing (yang sudah pasti) Tidak Punya Pikiran!

Kucing adalah salah satu hewan yang aku sukai. Tapi kucing yang seperti apa dulu. Aku suka kucing karena wajah mereka imut dan lucu. Apalagi kucing Persia atau kucing Anggora, mereka sangat menggemaskan. Tapi, adakalanya aku tak suka hewan ini karena rambut-rambut halus yang gampang rontok dan cakarnya yang tak bersahabat. Apalagi jika rambut-rambutnya sudah bertebaran dimana-mana, sudahlah aku angkat tangan saja.

Sebut saja kucing ini Noni. Nama yang diberikan Mas Fikar pada kucing ini. Dan bisa kalian lihat, kucing ini memiliki kalung yang dipasangkan oleh Dede. Jadi, tidak heran kucing ini akan selalu datang untuk meminta makan. Mungkin dia merasa 'diakui' dan dipelihara bak ada pemiliknya.

Suatu hari, si Noni ini hamil. Entah jantan mana yang telah berani menghamilinya (?) yang saya tahu, ketika musim kawin, si Noni sering dikejar dan dikerubuni tiga ekor kucing jantan sehingga sulit ditentukan jantan mana yang tengah menghamilinya.

Waktu terus berlalu. Si Noni kini perutnya semakin buncit besar dan jadi sering masuk ke dalam rumah, walau hanya sebatas dekat daun pintu. Semakin hari si Noni semakin melunjak, dia masuk ke mushola dan mengincar lemari pakaian Ibu. Di situ Ibu sudah curiga, "Hati-hati ah, kayaknya si Noni nyari tempat buat lahiran, lemari harus selalu tertutup!" Kata Ibu. Sejak saat itulah, penjagaan rumah, terlebih lemari di mushola menjadi diperketat.

Setiap hari dia datang ke rumah hanya sekedar makan selepas itu dia menghilang lagi entah kemana. Namun, saat itu ada yang beda dari tingkah dan suara si Noni. Mas Fikar merasa janggal akan hal itu, saat Mas Fikar memberi makan untuk si Noni. Katanya, "Suara si Noni beda, jadi sesak gitu. Mau lahiran gitu ya? Ada kardus-kardus bekas gak?" Sambil berlalu dan segera mencari kardus.

Selang beberapa menit, Mas Fikar membawa kardus yang ternyata akan menyiapkan tempat untuk si Noni lahiran. Sampai alasnya pun disiapkan, dengan mencari kain-kain yang sudah tidak dipakai lagi, celana contohnya.
Setelah selesai menyiapkan tempat untuk si Noni, ehhh si Noninya malah tidak terlihat. Tidak tahu kemana pergi. Padahal lima menit yang lalu dia masih sedang menghabiskan makananya di taman sebelah rumah. "Ah, si Noninya gak ada. Ini dusnya disimpan di sini ya. Kalau si Noni datang, langsung di ke karduskan aja!" Katanya sambil bersiap-siap karena hari itu Mas Fikar, Ibu dan Bapak akan pergi ke luar.

Aku, saat itu akan mengambil baju di lemari dekat mushola. Namun, terasa ada yang aneh. Saat kubuka pintu lemari yang kalo membukanya harus digeser ke samping, tiba-tiba terdengar suara yang meraung, menggerung bagai singa yang sedang menerka mangsa. Kucoba untuk membuka-menutup lemari lagi, dan ternyata suara itu semakin terdengar jelas. Karena takut, aku segera mengambil kursi.

Saat itu, Ibu sedang shalat. Setelah selesai, dengan posisi aku diatas kursi berkata, "Bu, di lemari ada yang menggerung. Takut ada apanya. Coba dengerin, Bu!" Ibu langsung menajamkan telinga untuk mendengar suara misterius itu.

Setelah jelas terdengar, Ibu langsung berkata "Ah! Itu mah kucing lahiran. Coba buka!" Dan pada saat pintu lemari dibuka  ternyata memang benar, di situ ada si Noni yang telah lahiran dan sedang menyusui ketiga anaknya. Batapa terkejutnya semua yang ada di rumah. Sedari tadi duduk di kursi, tidak melihat si Noni masuk, dan sekarang dia sedang menyusui anak-anaknya dengan berlumur darah! Ah! Semua repot menyiapkan tempat untuk memindahkan si Noni. Ya, memakai kardus yang tadi sudah disiapkan. Dasar kucing, (sudah pasti) tidak punya akal pikiran!! Sudah disiapkan tempat eh malah masuk ke dalam lemari tanpa sepengetahuan!

Saat itu Mas Fikar mencoba memindahkan si Noni dan anak-anaknya ke kardus. Tapi konon katanya, kalau kucing habis lahiran suka sensitif tidak mau diganggu karena takut anak-anaknya diambil. Jadi sedikit sulit saat akan dipindahkan. Dengan berbagai cara, Mas Fikar segera memindahkan kucing dan akhirnya bisa. Yeeeee!
Sedangkan aku, saat itu mengerluarkan semua baju yang ada di dalam lemari. Dan alhasil, dress-dress yang menjuntai ke bawah ternyata terkena rambut-rambut si Noni dan berharap tidak terkena darah lahirannya.

Si Noni sudah dipindahkan, dan aku siap mengelap darah yang berceceran di lantai dan dinding dalam lemari. Bau anyir pun mulai tercium dan membuatku mual. Duuuh, dasar kucing ya, (sudah pasti) tak bisa membedakan mana tempat untuk lahiran, dan mana tempat untuk pakaian.

Setelah itu belum selesai. Hari berikutnya, si Noni masih saja ingin masuk ke dalam lemari. Dia pikir anaknya ada yang ketinggalan?? Tidak ada Nonii, tidak ada! Yang ada hanya jejakmu yang kini tak akan pernah lagi kejadian.
Esoknya, aku dan Ibu membersihkan dress-dress yang terkena rambut-rambut rontok si Noni. Alhamdulillah, semua selesai.

Setelah banyak perjuangan yang kami lakukan, sekitar tiga hari setelah lahiran, si Noni pergi membawa anak-anaknya ke atap. Entah atap siapa dan di mana, sampai saat ini pun kami belum melihat lagi anak-anak si Noni. Si Noni hanya sesekali datang untuk minta makan dan pergi lagi, mungkin untuk menyusui anak-anaknya. Karena, Ibu menyusui perlu banyak nutrisi. Sok atuh Noni, semoga anak-anakmu tumbuh besar, sehat dan tidak merepotkan. -

Angin Belum Menyampaikan Perasaanku

Tak pernah bosan kusampaikan perasaanku, ketika aku sedang bersamamu. Tapi mengapa kau tak pernah merespon semua pernyataan itu? Ya. Karena perasaan itu kusampaikan  lewat angin yang hanya berlalu di depanmu.

Jika kau bertanya sejak kapan aku mulai menyukaimu? Jawaban yang mungkin bisa membuatmu terpaku, adalah sejak pertama kali aku mengenalmu di saat kegiatan seminar welcome student di kampus itu.

Hari-hari sebelum kegiatan belajar di mulai, sedang ospek saat itu, aku terus memperhatikanmu. Aku sudah tahu namamu dan aku pun sudah pernah berjabat tangan denganmu. Kau tahu, jantungku berdegup kencang saat itu. Mungkin kaulah cinta pertamaku di Sekolah Tinggi yang baru saja kujejakan langkah kakiku.
Malam itu, ketika kegiatan ospek selesai, kudapati namaku terdaftar di kelas A dan namamu tak ada di situ. Tubuhku terasa lesu dan hatiku mulai kaku. Ah Tuhan, apakah aku benar-benar menyukainya? Rasanya aku tak mampu mengalihkan pandanganku padamu saat itu. Aku mulai sedih karena aku tak bisa bersamamu selama kuliah nanti. Aku mungkin akan merindukanmu.

Hari demi hari telah berlalu. Entah apa penyebabnya kini aku mulai dekat denganmu. Awal kedekatan kita bermula saat kau memanggil namaku dengan nada yang bagiku lucu. Dan terus saja kau lakukan itu padaku. Kulihat senyumanmu merekah dan terdengar renyah, membuatku semakin mengagumimu. Ah angin, sampaikan rasa cintaku pada lelaki yang memiliki senyuman indah itu.
Kau tahu, aku sangat bahagia ketika kita bisa bersama dalam unit kegiatan mahasiswa. Di situlah awal lain dari kedekatan kita. Aku mulai memperhatikanmu lagi. Kau ternyata perhatian, pada semua orang. Itulah yang kukagumi darimu. Kau ramah dan tak pernah terlihat marah, sampai detik ini pun tetap begitu.

Oh Tuhan, mengapa aku terus memperhatikan gerak-geriknya? Apa aku mulai jatuh cinta padanya?
Semester satu telah usai, dan aku masih menyembunyikan perasaan ini. Oh ya, teringat ketika senam Jumat, kulihat kau semakin dekat dengan seorang teman perempuan. Rasanya aku tak bersemangat untuk melaksanakan senam, mataku terus tertuju padamu yang sedang asyik bercanda ria dengan dia. Sampai pulang kuliah pun aku melihatmu membonceng teman perempuanmu itu. Kau tahu, aku sangat cemburu. Kecerianku hilang sesaat ketika kau tersenyum saat membonceng temanmu itu. Ah Tuhan, tapi aku bersyukur karena ternyata kau tak ada hubungan dengannya. Aku mulai bisa menarik napas panjang. Bagaikan mendung yang mulai pergi karena tersusutkan pelangi. Aku bahagia kau masih sendiri.

Selama semester dua, kulalui hari-hariku biasa saja. Aku merasa jauh darimu. Kau sekarang lebih dekat dengan teman-temanmu. Bahkan untuk bertegur sapa pun sangat sulit bagiku. Kulihat kau sedang duduk di bangku cafe ketika aku pun sedang duduk di salah satu bangku di situ. Kurasakan hembusan angin menusuk tubuhku. "Aku mencintaimu" adalah pernyataan pertama rasa cintaku padamu. Kuharap angin menyampaikan perasaan itu. Namun, kau tak jua menoleh padaku. Aku mulai lesu, ternyata angin belum menyampaikan perasaanku.

Semester dua tengah berlalu. Sampai detik ini pun aku belum berani menyatakan perasaanku. Masih melalui angin kusampaikan rasa cintaku untukmu. Pernah terpikir olehku bahwa aku sangat ingin berada di dekatmu walau sebatas duduk berboncengan di motor bersamamu. Ya Tuhan, jika aku tak mampu menyatakan perasaan ini, tolong simpanlah hatiku untuk dia yang selalu kukagumi.

Pernah seorang teman curiga padaku bahwa aku menyukaimu. Namun, aku tak mau perasaanku diketahui orang lain. Oleh sebab itu, kualihkan pembicaraanku pada hal lain agar rasa cintaku tetap terjaga untukmu. Prinsipku hanya satu, bahwa perasaan yang diumbar-umbar hanyalah untuk menutupi perasaan hatiku yang sebenarnya. Ya, itu hanya untukmu.
Kualihkan pembicaraanku bahwa aku sedang menyukai lelaki yang bukan dirimu. Bukan kubermaksud mengkhianatimu, tapi itu semua hanya untuk menjaga perasaan cintaku padamu. Kini gosip-gosip mulai menyebar dimana-mana bahwa aku sedang menyukai lelaki yang bukan dirimu. Namun di samping itu, mata, hati, dan perasaanku hanya dan terus tertuju pada dirimu.
Untuk bisa bersamamu, kubisa apa?

Semester tiga segera dimulai. Entah ini sebuah settingan atau hanya kebetulan, bahwa aku bisa mengambil jadwal kuliah di kelasmu. Tapi yang pasti ini adalah kebetulan yang telah disetting oleh Tuhan agar aku bisa bersamamu. Kau tahu betapa bahagianya aku saat itu?
Walau hanya dua mata kuliah saja, aku bisa satu kelas denganmu, itu sudah sangat cukup. Setidaknya aku bisa tahu bagaimana sikapmu yang sebenarnya. Karena hal itu, aku jadi sering duduk di bangku yang bersebelahan denganmu. Kau tahu, selalu jantungku berdegup kencang saat itu. Aku takut perasaan ini kau ketahui. Kucoba tenang, dan kulalui semua hanya biasa saja.
Sempat kuberpikir bahwa aku ini bodoh. Ada kesempatan di saat aku bersamamu, namun aku tak mampu mengatakan apa yang saat itu aku rasakan. Ah Tuhan, katakan padanya bahwa aku tak mampu jauh darinya. Aku sangat mengaguminya, mencintainya. Karena aku satu mata kuliah denganmu, kita mulai sering berkirim pesan, walau sebatas untuk menanyakan tugas. Kau tahu, mulutku tak henti-hentinya berkata bahwa aku mencintaimu namun jemari ini enggan untuk mengetik kata-kata itu dan tak mungkin  kukirimkan lewat pesan padamu.
Untuk mengungkapkan isi hatiku padamu, kubisa apa?

...........