Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

December 30, 2015

Cosplayer Event

Hollaaaaa...
Kali ini tulisanku diakhir tahun 2015 ini adalah tentang cosplay event. Kalian tahu cosplay kan? Yap! Event dimana para pecinta anime dengan hobinya menggunakan aksesoris beserta pakaian ala karakter anime atau manga yang disukainya. 

Seperti foto yang saya post ini nih. Hari tadi di Festival Citylink Bandung sedang ada event salah satunya cosplay ini. Mereka yang mengikuti cosplay namanya cosplayer. Sebagai contoh, ini foto pertama adalah seseorang dengan kostum Hatake Kakashi, dia adalah salah satu karakter di anime Naruto.

Kalian semua pasti tahu kan, Guru Kakashi ini super misterius dengan menutupi hampir seluruh wajahnya kecuali mata. Nah coser Kakashi ini yang jadi juara Best of the best di event tadi, pokonya keren.

Selain itu, saya juga berfoto bersama Rize fotonya yang tengah. Rize adalah salah satu karakter di anime Tokyo Ghoul. Dia adalah ghoul yang akhirnya jiwanya bersatu dengan Kaneki si tokoh utama, di bawah foto rize nomer 7 itu adalah Kaneki.

Nah yang paling berkesan, akhirnya saya bertemu juga dengan coser Kuroko. Karakter di anime Kuroko no Basuke ini membuat saya jatuh hati, pasalnya di dalam anime tokoh ini memang benar-benar pendiam dan hawa keberadaannya kecil namun karismanya sangatlah besar. Seperti tadi, dia, si coser sangat pendiam juga sehingga membuat jantung ini dag-dig-dug duuuuuuh.

Pokoknya kalau ada event seperti ini diusahakan saya selalu datang walau pun sering telat info juga. Ah jika kalian ingin tahu lebih jelas dan merasakan sensasi serunya, datang saja di event-event cosplayer lainnya. Bye~

November 19, 2015

Setangkai Mawar, Secarik Puisi

Setangkai Mawar, Secarik Puisi
#KamisPuitis

Sang Surya masih enggan menampakan sinarnya

Kau datang membawa setitik cahaya kemilau

Kau tersenyum bagai ranumnya buah yang tengah matang

Kau terpatah kata saat ingin bicara

Kasih, dirimu bagai setangkai bunga mawar

Indah menawan, harum semerbak, tapi tak bisa kudapatkan

Durimu tak mampu kusingkirkan

Kuhanya bisa memandangmu dari kejauahan

Kasih, apa aku tak pantas untukmu?

Apa aku tak bisa mendapatkan semua keindahan yang ada pada dirimu?

Hanya lewat sepucuk surat ini, kusampaikan perasaanku

Aku kan menunggu hingga mawar itu halal bagiku

-pengagum rahasia-

*Saat malam tak lagi berbintang, seseorang datang denga mawar dan puisi harapan*

August 27, 2015

Ah! Dasar Kucing (yang sudah pasti) Tidak Punya Pikiran!

Kucing adalah salah satu hewan yang aku sukai. Tapi kucing yang seperti apa dulu. Aku suka kucing karena wajah mereka imut dan lucu. Apalagi kucing Persia atau kucing Anggora, mereka sangat menggemaskan. Tapi, adakalanya aku tak suka hewan ini karena rambut-rambut halus yang gampang rontok dan cakarnya yang tak bersahabat. Apalagi jika rambut-rambutnya sudah bertebaran dimana-mana, sudahlah aku angkat tangan saja.

Sebut saja kucing ini Noni. Nama yang diberikan Mas Fikar pada kucing ini. Dan bisa kalian lihat, kucing ini memiliki kalung yang dipasangkan oleh Dede. Jadi, tidak heran kucing ini akan selalu datang untuk meminta makan. Mungkin dia merasa 'diakui' dan dipelihara bak ada pemiliknya.

Suatu hari, si Noni ini hamil. Entah jantan mana yang telah berani menghamilinya (?) yang saya tahu, ketika musim kawin, si Noni sering dikejar dan dikerubuni tiga ekor kucing jantan sehingga sulit ditentukan jantan mana yang tengah menghamilinya.

Waktu terus berlalu. Si Noni kini perutnya semakin buncit besar dan jadi sering masuk ke dalam rumah, walau hanya sebatas dekat daun pintu. Semakin hari si Noni semakin melunjak, dia masuk ke mushola dan mengincar lemari pakaian Ibu. Di situ Ibu sudah curiga, "Hati-hati ah, kayaknya si Noni nyari tempat buat lahiran, lemari harus selalu tertutup!" Kata Ibu. Sejak saat itulah, penjagaan rumah, terlebih lemari di mushola menjadi diperketat.

Setiap hari dia datang ke rumah hanya sekedar makan selepas itu dia menghilang lagi entah kemana. Namun, saat itu ada yang beda dari tingkah dan suara si Noni. Mas Fikar merasa janggal akan hal itu, saat Mas Fikar memberi makan untuk si Noni. Katanya, "Suara si Noni beda, jadi sesak gitu. Mau lahiran gitu ya? Ada kardus-kardus bekas gak?" Sambil berlalu dan segera mencari kardus.

Selang beberapa menit, Mas Fikar membawa kardus yang ternyata akan menyiapkan tempat untuk si Noni lahiran. Sampai alasnya pun disiapkan, dengan mencari kain-kain yang sudah tidak dipakai lagi, celana contohnya.
Setelah selesai menyiapkan tempat untuk si Noni, ehhh si Noninya malah tidak terlihat. Tidak tahu kemana pergi. Padahal lima menit yang lalu dia masih sedang menghabiskan makananya di taman sebelah rumah. "Ah, si Noninya gak ada. Ini dusnya disimpan di sini ya. Kalau si Noni datang, langsung di ke karduskan aja!" Katanya sambil bersiap-siap karena hari itu Mas Fikar, Ibu dan Bapak akan pergi ke luar.

Aku, saat itu akan mengambil baju di lemari dekat mushola. Namun, terasa ada yang aneh. Saat kubuka pintu lemari yang kalo membukanya harus digeser ke samping, tiba-tiba terdengar suara yang meraung, menggerung bagai singa yang sedang menerka mangsa. Kucoba untuk membuka-menutup lemari lagi, dan ternyata suara itu semakin terdengar jelas. Karena takut, aku segera mengambil kursi.

Saat itu, Ibu sedang shalat. Setelah selesai, dengan posisi aku diatas kursi berkata, "Bu, di lemari ada yang menggerung. Takut ada apanya. Coba dengerin, Bu!" Ibu langsung menajamkan telinga untuk mendengar suara misterius itu.

Setelah jelas terdengar, Ibu langsung berkata "Ah! Itu mah kucing lahiran. Coba buka!" Dan pada saat pintu lemari dibuka  ternyata memang benar, di situ ada si Noni yang telah lahiran dan sedang menyusui ketiga anaknya. Batapa terkejutnya semua yang ada di rumah. Sedari tadi duduk di kursi, tidak melihat si Noni masuk, dan sekarang dia sedang menyusui anak-anaknya dengan berlumur darah! Ah! Semua repot menyiapkan tempat untuk memindahkan si Noni. Ya, memakai kardus yang tadi sudah disiapkan. Dasar kucing, (sudah pasti) tidak punya akal pikiran!! Sudah disiapkan tempat eh malah masuk ke dalam lemari tanpa sepengetahuan!

Saat itu Mas Fikar mencoba memindahkan si Noni dan anak-anaknya ke kardus. Tapi konon katanya, kalau kucing habis lahiran suka sensitif tidak mau diganggu karena takut anak-anaknya diambil. Jadi sedikit sulit saat akan dipindahkan. Dengan berbagai cara, Mas Fikar segera memindahkan kucing dan akhirnya bisa. Yeeeee!
Sedangkan aku, saat itu mengerluarkan semua baju yang ada di dalam lemari. Dan alhasil, dress-dress yang menjuntai ke bawah ternyata terkena rambut-rambut si Noni dan berharap tidak terkena darah lahirannya.

Si Noni sudah dipindahkan, dan aku siap mengelap darah yang berceceran di lantai dan dinding dalam lemari. Bau anyir pun mulai tercium dan membuatku mual. Duuuh, dasar kucing ya, (sudah pasti) tak bisa membedakan mana tempat untuk lahiran, dan mana tempat untuk pakaian.

Setelah itu belum selesai. Hari berikutnya, si Noni masih saja ingin masuk ke dalam lemari. Dia pikir anaknya ada yang ketinggalan?? Tidak ada Nonii, tidak ada! Yang ada hanya jejakmu yang kini tak akan pernah lagi kejadian.
Esoknya, aku dan Ibu membersihkan dress-dress yang terkena rambut-rambut rontok si Noni. Alhamdulillah, semua selesai.

Setelah banyak perjuangan yang kami lakukan, sekitar tiga hari setelah lahiran, si Noni pergi membawa anak-anaknya ke atap. Entah atap siapa dan di mana, sampai saat ini pun kami belum melihat lagi anak-anak si Noni. Si Noni hanya sesekali datang untuk minta makan dan pergi lagi, mungkin untuk menyusui anak-anaknya. Karena, Ibu menyusui perlu banyak nutrisi. Sok atuh Noni, semoga anak-anakmu tumbuh besar, sehat dan tidak merepotkan. -

Angin Belum Menyampaikan Perasaanku

Tak pernah bosan kusampaikan perasaanku, ketika aku sedang bersamamu. Tapi mengapa kau tak pernah merespon semua pernyataan itu? Ya. Karena perasaan itu kusampaikan  lewat angin yang hanya berlalu di depanmu.

Jika kau bertanya sejak kapan aku mulai menyukaimu? Jawaban yang mungkin bisa membuatmu terpaku, adalah sejak pertama kali aku mengenalmu di saat kegiatan seminar welcome student di kampus itu.

Hari-hari sebelum kegiatan belajar di mulai, sedang ospek saat itu, aku terus memperhatikanmu. Aku sudah tahu namamu dan aku pun sudah pernah berjabat tangan denganmu. Kau tahu, jantungku berdegup kencang saat itu. Mungkin kaulah cinta pertamaku di Sekolah Tinggi yang baru saja kujejakan langkah kakiku.
Malam itu, ketika kegiatan ospek selesai, kudapati namaku terdaftar di kelas A dan namamu tak ada di situ. Tubuhku terasa lesu dan hatiku mulai kaku. Ah Tuhan, apakah aku benar-benar menyukainya? Rasanya aku tak mampu mengalihkan pandanganku padamu saat itu. Aku mulai sedih karena aku tak bisa bersamamu selama kuliah nanti. Aku mungkin akan merindukanmu.

Hari demi hari telah berlalu. Entah apa penyebabnya kini aku mulai dekat denganmu. Awal kedekatan kita bermula saat kau memanggil namaku dengan nada yang bagiku lucu. Dan terus saja kau lakukan itu padaku. Kulihat senyumanmu merekah dan terdengar renyah, membuatku semakin mengagumimu. Ah angin, sampaikan rasa cintaku pada lelaki yang memiliki senyuman indah itu.
Kau tahu, aku sangat bahagia ketika kita bisa bersama dalam unit kegiatan mahasiswa. Di situlah awal lain dari kedekatan kita. Aku mulai memperhatikanmu lagi. Kau ternyata perhatian, pada semua orang. Itulah yang kukagumi darimu. Kau ramah dan tak pernah terlihat marah, sampai detik ini pun tetap begitu.

Oh Tuhan, mengapa aku terus memperhatikan gerak-geriknya? Apa aku mulai jatuh cinta padanya?
Semester satu telah usai, dan aku masih menyembunyikan perasaan ini. Oh ya, teringat ketika senam Jumat, kulihat kau semakin dekat dengan seorang teman perempuan. Rasanya aku tak bersemangat untuk melaksanakan senam, mataku terus tertuju padamu yang sedang asyik bercanda ria dengan dia. Sampai pulang kuliah pun aku melihatmu membonceng teman perempuanmu itu. Kau tahu, aku sangat cemburu. Kecerianku hilang sesaat ketika kau tersenyum saat membonceng temanmu itu. Ah Tuhan, tapi aku bersyukur karena ternyata kau tak ada hubungan dengannya. Aku mulai bisa menarik napas panjang. Bagaikan mendung yang mulai pergi karena tersusutkan pelangi. Aku bahagia kau masih sendiri.

Selama semester dua, kulalui hari-hariku biasa saja. Aku merasa jauh darimu. Kau sekarang lebih dekat dengan teman-temanmu. Bahkan untuk bertegur sapa pun sangat sulit bagiku. Kulihat kau sedang duduk di bangku cafe ketika aku pun sedang duduk di salah satu bangku di situ. Kurasakan hembusan angin menusuk tubuhku. "Aku mencintaimu" adalah pernyataan pertama rasa cintaku padamu. Kuharap angin menyampaikan perasaan itu. Namun, kau tak jua menoleh padaku. Aku mulai lesu, ternyata angin belum menyampaikan perasaanku.

Semester dua tengah berlalu. Sampai detik ini pun aku belum berani menyatakan perasaanku. Masih melalui angin kusampaikan rasa cintaku untukmu. Pernah terpikir olehku bahwa aku sangat ingin berada di dekatmu walau sebatas duduk berboncengan di motor bersamamu. Ya Tuhan, jika aku tak mampu menyatakan perasaan ini, tolong simpanlah hatiku untuk dia yang selalu kukagumi.

Pernah seorang teman curiga padaku bahwa aku menyukaimu. Namun, aku tak mau perasaanku diketahui orang lain. Oleh sebab itu, kualihkan pembicaraanku pada hal lain agar rasa cintaku tetap terjaga untukmu. Prinsipku hanya satu, bahwa perasaan yang diumbar-umbar hanyalah untuk menutupi perasaan hatiku yang sebenarnya. Ya, itu hanya untukmu.
Kualihkan pembicaraanku bahwa aku sedang menyukai lelaki yang bukan dirimu. Bukan kubermaksud mengkhianatimu, tapi itu semua hanya untuk menjaga perasaan cintaku padamu. Kini gosip-gosip mulai menyebar dimana-mana bahwa aku sedang menyukai lelaki yang bukan dirimu. Namun di samping itu, mata, hati, dan perasaanku hanya dan terus tertuju pada dirimu.
Untuk bisa bersamamu, kubisa apa?

Semester tiga segera dimulai. Entah ini sebuah settingan atau hanya kebetulan, bahwa aku bisa mengambil jadwal kuliah di kelasmu. Tapi yang pasti ini adalah kebetulan yang telah disetting oleh Tuhan agar aku bisa bersamamu. Kau tahu betapa bahagianya aku saat itu?
Walau hanya dua mata kuliah saja, aku bisa satu kelas denganmu, itu sudah sangat cukup. Setidaknya aku bisa tahu bagaimana sikapmu yang sebenarnya. Karena hal itu, aku jadi sering duduk di bangku yang bersebelahan denganmu. Kau tahu, selalu jantungku berdegup kencang saat itu. Aku takut perasaan ini kau ketahui. Kucoba tenang, dan kulalui semua hanya biasa saja.
Sempat kuberpikir bahwa aku ini bodoh. Ada kesempatan di saat aku bersamamu, namun aku tak mampu mengatakan apa yang saat itu aku rasakan. Ah Tuhan, katakan padanya bahwa aku tak mampu jauh darinya. Aku sangat mengaguminya, mencintainya. Karena aku satu mata kuliah denganmu, kita mulai sering berkirim pesan, walau sebatas untuk menanyakan tugas. Kau tahu, mulutku tak henti-hentinya berkata bahwa aku mencintaimu namun jemari ini enggan untuk mengetik kata-kata itu dan tak mungkin  kukirimkan lewat pesan padamu.
Untuk mengungkapkan isi hatiku padamu, kubisa apa?

...........

April 30, 2015

Doodle to Upit

Masih tentang doodle. Seorang teman di kampus bernama Fitri Soleha ini ceritanya punya modul Akuntansi Manajemen yang covernya masih 'perawan' hehe.
Ia memintaku untuk mengotori cover putih suci itu dengan coretan-coretan si hitam snowman.

Nah saat itu mata kuliah apa ya, aku lupa. Aku mulai menggerakan jemari ini untuk menggambar doodle dan hasilnya seperti itulah. Hehe.

Kalau tidak salah, saat itu sedang berlangsung mata kuliah etika bisnis. Namun tak lepas dari itu, belajar jalan, menggambar apalagi. Kekekekekekekkkk

Ah terimakasih untuk teman-teman yang dengan senang hati merelakan cover-cover modulnya untuk aku coreti. Hehe.

Happy doodling :)

Doodle to Siti Hartini

Entah sejak kapan aku mulai bermain-main dengan si snowman hitam itu.
tapi sejak saat itu, mulai banyak teman yang minta dibuatkan doodle, baik resmi maupun hanya gambar-gambar di cover buku.

Salah satunya doodle ini. Seorang teman di kampus namanya Siti Hartini, memintaku untuk membuatkan doodle ulang tahun untuk temannya.

Itulah hasil gambarannya. Ya maaf hanya seperti itulah doodle yang bisa saya buat. Hihi
Masih belajar lah maklum...

Tapi mudah-mudahan hobiku (di saat mata kuliah berlangsung, malah ngegambar) ini bisa bermanfaat untuk orang lain. Eheheheh~

March 11, 2015

Akuntansi (y)

Akuntansi adalah proses pencatatan, pengelompokan, pengklasifikasian, analisa, reporting sehingga menghasilkan suatu laporan keuangan.

Yaps! Bagiku akuntansi itu ya begitu. Hitung menghitung milyaran uang ghaib adanya.
Ah bosan. Aku kadang bosan karena belum paham sampai sekarang semester empat pun masih abal-abal pemahamannya tentang akuntansi.

Ya sudah, ngegambar ajaaaaaaa deh~~~~

February 24, 2015

Menjemput Kebahagiaan

Bagiku waktu adalah hal yang sangat kejam. Ia tidak bisa diajak kompromi walau hanya sedetik pun. Waktu pula yang bisa mengubah segala hal, seperti usia. Tak akan pernah kembali muda, melainkan semakin menua dan sampai tiba saatnya malaikat datang untuk mencabut nyawa, mengakhiri kehidupan kita.
Namun, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Adalah benar bahwa terlena sedetik pun sangatlah merugi akibatnya. Tapi siapa sangka, bertambah usia akan bertambah pula angka kehidupan kita, itu adalah salah.
Waktu adalah sesuatu yang tidak akan pernah berulang kembali. Tak akan pernah menunggu kita untuk memperbaiki diri. Ia berjalan seolah tak ada yang menghalangi. Karena waktu selalu melaju tanpa henti.
Gumpalan awan terus berarak menyesuaikan diri dengan pergerakan matahari di langit biru. Dari pagi menjelang malam, ia terus berganti posisi yang mungkin bisa membuatnya nyaman. Hingga pekat malam mulai datang, ia, awan-awan itu mulai menghitam. Langit kelam ditemani cahaya rembulan mencoba berselimut diri di balik awan hitam. Sepi, hening, laksana dunia tak berkehidupan.
Burung hantu masih menyanyikan lagu sendu. Mata indahnya terus memancarkan bayangan kepedihan yang mendalam. Apakah akan ada korban?! Kuharap, bukan jiwa yang sedang dirundung duka yang akan melampiaskan keputusasaan.
Hari ini usiaku genap 17 tahun. Kata orang, usia 17 adalah manis dan indah. Tapi di hari ulang tahunku, sampai malam ini, tidak ada seorang pun teman yang mengucapkan selamat. Apa mereka sudah lupa?
Keluarga? Bahkan mereka lebih mementingkan bisnis dari pada anaknya sendiri. Mereka lebih senang bila mengucapkan selamat dan berjabat tangan pada rekan-rekan sesamanya. Miris sekali hidupku ini.
Jam dinding masih menunjukan pukul 18.30 WIB. Aku mencoba berbaring di tempat tidur untuk mengusir segala kegundahan hati. Namun tak terelakan, aku merasa sangat sakit hati malam ini. Sweet seventeen kah? Semua hancur tak tersisakan.
Aku sendirian di rumah. Aku anak tunggal yang tak pernah merasakan kebahagiaan bersama orang tua. Hari-hariku sepi, laksana hutan tak berpenghuni.
"PING"
Handphoneku berbunyi. Apakah ada seorang teman yang mau menyempatkan waktu untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku? Langsung kubaca pesan itu. Namun hanya panggilan semu yang kulihat di layar handphoneku.
Riza: Claraaaa?
Aku: Apa?
Riza: Tidak, hahaha
Aku: Payah! (Sialan! Ucapku kesal dalam hati.)
Riza: Kenapa Ra? Haha
Aku: Za, jika kabarku melenyap, jangan sungkan datangi rumahku. Kuharap belum tercium aroma bangkai. Selamat tinggal.
Riza: WHAT THE??! Kamu bikin prosa, Ra? Jangan ngomong sembarangan!
Riza: Woy Claraaa!
Riza: PING!!!
Dan aku tidak perduli lagi dengan pesan darinya. Kuakhiri obrolanku dengan Riza, -satu-satunya teman yang menghubungiku hari ini- dengan ucapan selamat tinggal.
Mengapa aku mengucapakan selamat tinggal? Apa aku akan mati malam ini? Tapi jika aku mati, siapa yang akan mengurus mayatku nanti? Aku tidak ingin menjadi bangkai yang kemudian membusuk di rumah ini. Jangan sampai seperti itu! Dan mengapa malam ini tidak ada seorang pun yang datang ke rumah?! Tak ada seorang pun yang menghiburku di saat yang seharusnya bahagia ini.
Kulirik jam dinding yang kini menunjukan pukul 19.15 WIB. Tidak kah waktu berhenti sebentar saja?! Jangan terus bergulir hingga larut malam tiba, kumohon! Kumohon!!! Hingga teriakan itu membuatku sedikit merasa tenang dan mataku mulai sayup menguncup perlahan.
Kuberjalan menuju dapur. Terpikir olehku, jika aku berniat menghabisi hidupku malam ini, aku siap membakar rumah ini agar tak ada lagi kenangan tersisa. Namun aku masih menghargai usaha orang tua yang tengah membangun rumahnya ini. Seketika, aku melihat kilauan cahaya berasal dari sebilah pisau. Aku mengambil pisau yang masih menggantung di dinding dapur itu. Tanpa berpikir panjang, dengan sekuat tenaga segera kutusukan pisau yang kupegang pada bagian perut sebelah kiriku. Linu, ulu hatiku sakit.
Darah mulai bercucuran membasahi pakaian dan lantai dapur. Panas kini mulai menjalar di tubuhku. Tubuhku bergetar hebat, dan tak kuasa untuk menahan rasa sakitnya. Aku mulai lemas dan menjatuhkan tubuhku di lantai. Karena tak kuasa menahan rasa sakit ini, aku terbatuk-batuk hingga mengeluarkan darah.
Tuhan, bantu aku! Sebisa mungkin aku mencari benda yang bisa menghentikan pendarahan ini sesaat. Sambil merangkak kesakitan aku menahan darah yang terus bercucuran. Apa yang telah aku lakukan?! Bunuh diri kah? Putus asa hanya karena hal bodoh ini! Aku terus mencari benda untuk menyelamatkanku. Kulihat serbet kain tergeletak di atas meja makan, segera aku meraihnya. Siapa sangka, ternyata di atas serbet itu terdapat gelas. Sehingga ketika aku meraihnya, gelas itu terjatuh menimpa kepalaku dan aku kaget karena itu.
Ya Tuhan!!!
Aku terbangun dari lenyapan tidur yang singkat itu. Kuperiksa perutku dan masih utuh, kupastikan kepalaku tidak apa-apa. Syukurlah. Keringat terus bercucuran dari kepala dan tubuhku. Mimpi itu datang begitu saja dalam tidur singkatku. Kuambil nafas dalam-dalam dan menenangkan segala pikiran. Tusukan pisau itu masih terasa sakit. Tusukan itu terasa nyata menyesakan dada. Apa mungkin karena aku sedang marah sehingga mimpi pun menjadi parah. Aku terlalu keras memikirkannya.
Jam dinding menunjukan pukul 19.25 WIB. Ternyata aku tertidur hanya sepuluh menit saja? Tapi rasanya sangat lama. Aku berbaring kembali dan menatap langit-langit. Membayangkan mimpi barusan yang membuat jantungku berdebar kencang. Apakah bunuh diri akan mengubah keadaan? Ah sial! Pikiranku mulai tidak karuan.
Sepertinya aku membutuhkan udara segar. Aku berjalan menuju arah jendela kamar. Kamarku berada di lantai dua,  dan jika membuka jendela maka tepat di depan mata disajikan sebuah  taman yang penuh dengan rerumputan dan pohon buah-buahan. Mungkin udaranya bisa membuat pikiran tenang. Kubuka jendela perlahan, angin malam mulai masuk dan menyentuh tubuhku. Kurasakan dingin namun menyejukan, menenangkan. Kuhembuskan nafas yang sedari tadi terus menyesakan.
Tunggu, aku melihat satu titik cahaya di rerumputan. Cahaya itu bekerlap-kerlip seperti kunang-kunang. Apa aku harus mengambilnya? Untuk apa? Ah membosankan. Aku masih menikmati udara malam yang dinginnya menenangkan. Namun semakin lama, aku menjadi penasaran. Kuputuskan untuk turun kebawah dan memastikan sebenarnya apakah sesuatu yang berkerlap-kerlip itu.
Kubuka pintu rumah dan berlari menuju cahaya itu. Kudekati dan kuperhatikan benda itu yang ternyata adalah sebuah tombol yang ditempeli lampu kecil berwarna-warni.
"Tombol apa ini?" Pikirku. Aku tidak langsung menekannya. Aku takut itu adalah bom atau sejenisnya. Aku melihat ke sekelilingku namun sepi tidak ada apa-apa, tidak apa siapa-siapa.
Seperti biasa, pikiranku mulai menyempit kembali. Aku berpikir jika tombol ini ditekan dan menyebabkan ledakan maka malam ini mungkin adalah waktunya aku mati. Sambil memejamkan mata, dengan ragu-ragu aku segera menekan tombol itu. Tidak ada reaksi apapun. Aku masih belum membuka mata.
Kini aku berdiri dan berniat untuk segera masuk lagi ke dalam rumah. Ketika aku membuka mata, air mata mulai menyembul dan aku tak dapat menyekanya. Aku menangis. Air mata mulai mengalir membasahi pipiku.
Kulihat banyak lampu berwarna-warni yang menghiasi pepohonan di depan rumah. Lampu itu tersusun dengan tulisan Happy Birthday Claraa. Siapakah yang tengah menyiapkan semua ini? Pikirku yang masih berdiri terpaku memandang lampu-lampu itu. Terlihat sesuatu yang bergerak-gerak di balik pepohonan. Kemudian terdengar seseorang menyanyi.
"Happy Birthday, Happy Birthday, Happy birthday to you......"
Lima sosok manusia keluar dari pepohoan yang dihiasi kerlap-kerlip lampu warna-warni itu. Dan kini lima orang itu menyanyi bersama.
"Happy Birthday, Happy Birthday, Happy birthday Claraaaaaaa....."
Ica, Rima, Dika, Rere, dan Mila berlari ke arahku dan memelukku.
Aku masih tidak percaya dengan semua ini. Aku menampar-nampar pipiku memastikan ini bukanlah mimpi.
"Claraaaa ini bukan mimpi, selamat ulang tahun sahabatku." Rima memeluk erat tubuhku. Aku masih belum berucap kata. Hanya air mata yang terus mengalir bahagia.
"Makasih teman-teman!!!" Aku menangis kembali sejadi-jadinya. Aku menangis tersedu-sedu.
"Ra, hey Clara, kenapa menangis hebat begini?" Dika mengusap air mataku. Aku masih tak percaya. Kulihat teman-temanku tersenyum melihat tangisanku.
"Kami menunggumu dari maghrib loh Ra! Hahaha" Ica yang berwajah kusut mulai mengomel. "Aku sampai ketiduran di bawah pohon itu. Haha" mendengar ucapannya itu, semuanya tertawa.
"Indah sekali. Kalian yang menyiapkan semua ini? Aaaaaah makasih yaa, aku kira kalian lupa." Sekarang giliranku yang mengomel pada mereka.
"Gila! Sweet seventeen mana mungkin kami lupa. Lagian ini juga berkat Ayah dan Ibumu, kami bisa menyusun rencana ini." Kata Mila, dan Rere mengangguk mengiyakan ucapannya.
Aku hanya tersenyum dan ternyata orang tuaku masih peduli padaku walau hari ini tak ada disisiku.
"Eh, eh, ayo masuk rumah dong. Aku dingin nih!" Ucap Ica yang sejurus kemudian menggandeng lenganku.
Dengan senyum dan tawa kebahagiaan, aku dan teman-teman segera masuk ke dalam rumah untuk merayakan hari yang sangat spesial.
Kubuka pintu dan segera masuk ruangan yang  memang seperti biasa lampunya tidak aku nyalakan. Ketika aku hendak menyalakan lampu, tiba-tiba ada  sosok yang lebih dulu menyalakannya. Ayah! Dan disampingnya ada Riza memegang kue dan Ibu. Ia tersenyum padaku, "Selamat ulang tahun, Clara sayang." Ibu sedikit merentangkan tangannya dan aku segera berlari memeluknya.
"Kapan Ibu, Ayah dan Riza masuk?" Tanyaku.
"Saat kamu keluar dan berjalan menuju tombol itu. Hehe. Kami lama menunggumu keluar loh! Pesan dariku tidak kamu baca lagi. Aduuh!" Riza mengomel dan semua larut dalam tawa.
"Ibu, Ayah, terima kasih." Kini aku dipeluk oleh Ayah dan Ibuku. Kurasakan kehangatan yang tiada bandingannya, bahkan mampu mengalahkan hangatnya sinar mentari pagi.
"Ra, tiup dulu lilinnya, dan make a wish! Happy birhday yaaa" Riza mendekatkan kuenya padaku.
"Terima kasih yaa teman-temanku." Ucapku sambil meniup lilin yang di atasnya berangka 17 itu.
"Oh ya, tentang prosa atau apalah tadi saat aku BBMan denganmu, nampaknya seperti kamu akan bunuh diri ya Ra? Hahaha." Riza tertawa puas dengan itu. Semuanya pun ikut menertawakanku. Aku pun ikut tertawa dan menahan malu. Jika benar aku memutuskan untuk hal itu, aku tidak akan menemui kebahagiaan saat ini.
Kulihat waktu terus melaju dan kini mulai menunjukan pukul 20.30 WIB. Kami semua larut dalam kebahagiaan, terutama aku. Aku sangat bahagia karena semua ini membuatku lupa tentang mimpi yang baru saja terjadi. Aku takan menceritakan mimpi burukku. Lebih tepatnya mimpi yang sangat bodoh itu.
Pukul 21.00 WIB, Ayah dan Ibu mengantar pulang teman-temanku. Dengan wajah penuh suka cita kami berpisah dan siap menjalani kehidupan baru yang lebih baik lagi, esok dan hari-hari berikutnya. Karena, perjuangan, tantangan dan rintangan kelak akan datang.
Aku kembali ke kamarku. Mengambil handphoneku dan menuju jendela untuk memandang kembali lampu-lampu yang mempesona itu. Nampak lebih indah jika dilihat dari atas sini.
Kubuka handphoneku dan ternyata kini ucapan selamat ulang tahun terus masuk silih berganti. Baik lewat sms, BBM, WhatsApp, Line dll.
"Hah! Ini adalah suatu kebetulan yang direncanakan." Ujarku dan senyuman ini mulai merekah tanpa henti.
Satu lagi, aku membuka pesan Riza yang tadi tak sempat aku baca.
Riza: PING!!!
Riza: Ra, please balas!
Riza: Ra, coba tengok ke luar jendela!
Riza: Claraaaa jangan bunuh diriiii!!!
Riza: PING!!!
Riza: PING!!!
Riza: PING!!!
Ya Tuhan, betapa bodohnya diriku ini. Aku sudah berprasangka buruk pada teman-temanku dan pada orangtuaku. Kenyataannya mereka semua menyiapkan kejutan yang begitu indah. Terima kasih semuanya.
Bersama bergulirnya waktu, aku menangis dan tersenyum dalam indahnya kebahagiaan di malam yang penuh kejutan itu. Satu hal yang aku tahu, bahwa waktu lah yang bisa mengantarkan kita pada kebahagiaan asal kita mau menjemputnya.

Kangen #Jumatulis

#Jumatulis. Bukankah sudah tidak asing lagi dengan kata bertagar itu?

Yaps! Saat itu tiba-tiba saja aku merindukan aktivitas menulis di hari Jumat ini. Entah mengapa, aku mulai menitikan air mata di saat menjelang senja.

Akhirnya, kubuka binderku dan kukeluarkan spidol hitamku. Mulailah jemariku bergoyang-goyang bagai penari di pantai, menuaikan tinta hitam ke atas kertas putih itu dan akhirnya jadilah hasil gambarnya, seperti itu.

Ah aku sungguh merindukan kakak-kakak di #Jumatulis :'(
Sejak aku berhenti di #Jumatulis, saat itu pun aku mulai berhenti menulis. Buntu sepertinya otak ini, tak ada inspirasi lagi.

Semoga mulainya aku menulis postingan geje ini, menjadi awal baru lagi agar aku mulai menulis lagi. Hehehe.
Missssssssss :3

February 18, 2015

Kalo Aku Suka Sama Kamu, Boleh Gak?

Kalo aku suka sama kamu, boleh gak?

Hahaha, ya boleh lah. Daripada benci.

Bukan begitu! Ini beda, aku suka sama kamu.

Ya gak apa-apa. Toh itu hak kamu untuk menyukai seseorang.

Iya! Orangnya kamu!

Ah sudah ah. Aku geli.

Yey!

Kenapa?

Iya, aku suka sama kamu! Boleh enggak!

Kan aku udah bilang, boleh!

Jadi kamu nerima cinta aku??

Eh eh eh, tunggu dulu! Maksudnya gimana? Kok main nerima-nerima cinta aja!

Ah ya ampun. Kamu masih belum paham juga. Aku suka sama kamu. Aku cinta sama kamu. Kamu mau gak jadi pacar aku?

Harus pacaran?

Hmmm

Kenapa? Aku nanya, harus banget pacaran?

Ya kan biar lebih deket.

Manfaatnya pacaran apa sih?

Ya itu biar deket.

Kalo udah deket? Udahan?

Ya enggak!

Jadi gimana?

Nggak jadi deh.

Kok gak jadi? Katanya tadi cinta.

Ya kamu gak ngerti-ngerti.

Loh? Aku kan cuma tanya, apa cinta itu musti pacaran? Salah ya?

Ya enggak. Terus kalo aku cinta sama kamu, aku harus gimana?

Ya lamar dong. Datang ke bapakku, terus nanti ijab kabul di pelaminan.

Ih nikah maksudnya?

Iya!

Aku belum siap kalo nikah. Kamu macem-macem aja.

Yaudah kalo belum siap nikah, gausah bilang cinta.

Emang harus banget, nikah?

Ya harus!

Kan kita belum kenal banget. Masa langsung nikah. Pacaran aja dulu biar deket.

Hmm

Kenapa?

Aku sih mau deket-deketan ya kalo udah nikah. Ngapain pacaran!

Jadi gimana? Aku harus nikahin kamu sekarang? Aku belum siap! Lagian nikah itu bukan main-main.

Nah itu tau. Cinta juga bukan main-main. Hanya lewat pernikahanlah yang menjadikan seseorang dekat karena cinta atau hanya nafsu belaka.

Nafsu? Aku enggak nafsu! Aku cinta sama kamu.

Kalo cinta. Coba buktikan!

.......

Kok diem?

Aku bingung.

Bingung kenapa?

Takut salah ngomong.

Yasudah. Simpan saja dulu rasa cintamu sampai kamu siap mengucapkannya di pelaminan nanti.

......

......

Ya! Aku akan menunggu sampai aku siap menjadi imammu kelak dunia dan akhirat.

Nah! Hmmm

Kenapa?

Menunggu aja nih?

Terus harus gimana?

Coba menurutmu harus gimana?

Aku salah ngomong lagi ya?

Mungkin.

Baiklah. Aku akan menunggumu. Dan saat aku menunggumu, aku juga akan bersiap-siap memperbaiki diri dan mempersiapkan lahir batin untuk menikahimu.

Hmmm

Masih belum?

Hmmmm

Demi Allah! Aku siap menjadi imammu kelak dunia dan akhirat!

Sudah cukup.

Jadi gimana? Kamu nerima aku?

Ya nanti kalo nikah.

Hmmmm........


Dasar!

January 31, 2015

Oh Sri Lanka, I Have to Go!

Semula, aku tidak begitu yakin dengan saran ayah yang mungkin bisa membuatku frustasi. Namun setelah kau hadir menghiasi hariku, di tempat asing ini, aku menjadi sangat bahagia. Bagai terang matahari sesudah hujan lebat, kesedihanku pun menghilang menjadi keceriaan yang mendalam. Tapi, apakah kebahagiaan ini hanya untuk sepekan saja? Oh Ranju, I have to go!
Dingin malam menusuk tulang insan. Burung hantu mulai menyanyikan lagu sendu di tengah kelamnya malam. Sepertinya para bintang enggan menampakan diri malam ini. Langit luas hanya berhias bulan sendirian. Tepat malam ini ayah datang membawa satu kabar yang entah aku harus bahagia atau tidak. Liburan ini aku harus ikut tinggal di negara di mana ayah lahir. Perceraianlah yang membuatku harus memilih ke mana aku akan ikut. Aku tinggal bersama ibu karena aku harus menyelesaikan kuliahku di sini. Sementara ayahku, setelah berpisah dengan ibu, beliau pulang kembali ke negaranya yakni Sri Lanka. Negara yang terletak di pulau ujung selatan India ini akan menjadi tempat tinggalku selama liburan semester tahun ini. Ayahku menyuruhku untuk tinggal di sana walau sekedar untuk liburan saja. Katanya, “Jika kau tidak ingin tinggal bersama ayah, setidaknya liburan semester nanti tinggalah di sana!” Akupun menyetujuinya. Hanya liburan saja. Baiklah.
Malam ini ayah datang membawakan paspor untukku, karena besok pagi aku harus segera bersiap-siap untuk pergi ke Sri Lanka. “Jangan terlalu banyak membawa bekal pakaian, ayah sudah menyiapkan baju di sana untukmu.” Ayah menghampiri aku saat aku sedang berkemas. Wajahnya yang masih segar nampak berseri sekali. “Ayah terlihat beda!” aku berhenti berkemas lalu duduk bersama ayah di sofa kamarku. “Jelas! Besok putri kesayangan ayah akan segera tinggal bersama ayah.” Katanya dan sejurus kemudian senyumnya merekah. Tak pernah aku melihat ayah sebahagia ini. “Iya, ayah.” Kataku sambil memeluk erat tubuhnya yang tinggi besar itu. Akupun melanjutkan kembali hingga selesai dan segara tidur agar besok jasmaniku segar bugar.
Ibu. Beliau membangunkanku dari mimpi yang telah kurajut semalam. Bunga tidur itu kini menghilang tanpa kenangan yang tersimpan. Entah mimpi apa aku tadi malam, rasanya berdampak kebahagiaan untukku saat ini. Aku segera bergegas untuk siap-siap. Tepat pukul delapan aku dan ayah pergi meninggalkan rumah. “Baik-baik di sana ya, Alisa sayang!” nasihat ibu sembari memelukku. Ibu akan kehilanganku selama dua pekan ini. Namun aku tidak begitu khawatir karena ada Bi Inah yang siap menemani ibu. Setelah pelukan hangat, nasihat, do’a-do’a dan ucapan “selamat tinggal dan sampai jumpa kembali” dari ibu, aku segera pergi. Kulihat ayah pun berpamitan dan yang sangat aku rindukan adalah momen di mana ibu mencium punggung tangan ayah. Dan saat inila kerinduan itu terbayarkan. Kini tibalah untuk mengucapkan selamat tinggal pada kampung halaman.
Tidak terasa, tibalah aku di Colombo International Airport yang merupakan bandara di Sri Lanka. Bandara ini dinamai sesuai dengan Ibu Kotanya yakni Kolombo, ibu kota yang berada di pesisir pantai dengan sederet bangunan tua bekas peninggalan Inggris. Katanya kota ini tidak segemerlap Ibu Kota negara berkembang pada umumnya. Dibanding Jakarta, Kolombo ini lebih sederhana. Sudah tidak sabar rasanya aku ingin pergi melihat-lihat daerah-daerah bersejarah di Sri Lanka ini. Rasanya banyak yang berubah di negara ini. Atau mungkin saat aku kecil, aku tidak menyadari ada keindahan di negara ini. Entahlah.
Selama di perjalanan menuju rumah ayah, yang cukup jauh dari bandara. Aku begitu menikmati pemandangan yang ada di sepanjang jalan. Satu yang membuatku takjub hingga aku tak kuasa mengedipkan mata sembari langsung membuka jendela mobil adalah ketika melihat sebuah bukit tinggi di jalan itu. "Itu Adam's Peak. Kau suka?" Kata ayah yang tidak beralih pandangan kecuali hanya menatap jalan. "Suka! Itu sangat Indah, Yah!" Aku masih memandangi bukit yang amat tinggi. "Kau mau tahu sejarah Adam's Peak?" Lanjut ayah. "Ayah tahu? Iya, iya! Ceritakan, Yah!" Aku sudah tidak sabar untuk mendengar cerita tentang bukit itu. Nampaknya ayah mengetahui apa yang diinginkan putrinya ini. "Adam's Peak adalah bukit setinggi 2243 meter dan dianggap sakral loh! Nah siapa saja yang mendaki ke sana, merupakan ziarah bagi empat agama utama di dunia seperti Islam, Kristen, Budha dan Hindu." Terang ayah yang nampaknya sangat hafal sekali dengan sejarah bukit itu. "Sakral bagaimana, Yah?" Tanyaku. "Iya, di sana ada lekukan bukit yang masing-masing agama mengartikan hal yang berbeda. Sesuai dengan kepercayaannya." Lanjut ayah. Aku masih mengamati Adam's Peak itu. Meskipun jarak sudah menjauh tapi aku masih bisa melihat keindahan bukitnya. "Bagaimana cara mereka mengartikan itu semua?" Tanyaku lagi yang masih belum puas dengan penjelasan Ayah. "Begini, sayang. Menurut agama Islam, lekukan di bukit adalah tanda nabi Adam a.s menangis saat diusir dari surga. Lain halnya dengan agama Budha, menurut mereka itu adalah jejak Sang Budha, menurut agama Hindu tanda itu merupakan tanda dari dewa siwa, dan menurut agama Kristen lekukan bukit di Adam's Peak terjadi ketika Santa Thomas berdo'a di puncak bukit tersebut." Sungguh ayah menjelaskan tanpa ada satu keraguan. "Oh ya satu lagi yang mungkin kau ingin pergi ke sana adalah ketika mendaki ke puncaknya tepat saat matahari terbit, kau bisa melihat fenomena alam yang dinamai Shadow Of Adam's Peak. Yaitu munculnya siluet bayangan gunung yang sangat terlihat misterius. Menakjubkan bukan?!" Keren! Aku mengagumi bukit itu, tapi aku lebih kagum pada ayahku yang telah memberiku pengetahuan yang selama ini tidak aku ketahui. "Sungguh sangat menakjubkan, Yah!" Penjelasan yang sangat membuatku merasa puas dan sungguh aku ingin mencoba mendaki ke sana. Semoga saja ada waktu untukku. Semoga saja!
Akhirnya, aku sampai di kediaman keluarga besar ayah di kota Unawatuna, Sri Lanka. Sebagian besar keluarga di sana berbahasa inggris, karena dulunya negara ini bekas jajahan Inggris. Aku sempat iri, dan berpikir jika dulu Inggrislah yang pertama dan paling lama menjajah Tanah Airku, mungkin aku akan sangat fasih berbahasa Inggris. Hihi. Sudahlah.
Tanda "Welcome" menghiasi pintu masuk rumah yang berhalaman cukup luas itu. Aku bagaikan putri yang akan memasuki kerajaan di negeri dongeng. Aku disambut meriah oleh keluarga ayah di sana. Segala macam sambutan diucapkan juga segala macam hidangan lezat ada di sana. Ternyata, memasak masakan-masakan lezat adalah cara bagi masyarakat sri lanka untuk menjamu tamunya. Ah! Aku merasakan kebahagiaan penuh saat ini.
"Hallo Dear! How are you? Apa kabar?" Suara itu terdengar dari arah belakangku, dengan logat yang tidak asing lagi aku bisa menebak suara itu. Nenek! Ya, itu pasti nenek. Belum sempat aku membalikkan tubuhku, beliau langsung memelukku. "Ahh nenek. Aku baik-baik, Nek." Kataku sambil membalas pelukannya. Sudah lama rasanya aku tak bersua dengannya. "Nenek apa kabar?" Tanyaku. Nenek pun adalah warga Indonesia yang menikah dengan kakek, warga Sri Lanka. Mungkin sudah takdirnya Ayah pun seperti kakek, namun sayang seribu sayang, pernikahan ayah dengan ibu tidak seabadi kakek dan nenek. "Nenek baik juga, Sayang. Ah! Nenek sangat merindukanmu!" Katanya semakin erat memelukku.
Setelah sekian lama aku bernostalgia dengan keluarga di Sri Lanka, aku meminta istirahat sejenak untuk menghilangkan lelah. Segera aku pergi ke kamar yang sudah di sediakan. Aku terpesona dengan apa yang aku lihat saat ini. Indah! Saat aku membuka pintu, saat itu pula pandanganku tertuju pada jendela yang terbuka. Mata ini disuguhi oleh keindahan pantai yang sangat memukau. Pasir putih dan warna tosca lautnya membuatku tak sabar dan segera berlari ke arah jendela kamar. Tak kusangka, ternyata di belakang rumah ada pantai. "Indahnya!" Kurasakan angin sepoy menggodaku, udaranya cukup panas, tapi menyejukkan. Ah! Aku tak kuasa berpaling dari keindahan pantai ini. "Kau suka?" Suara itu mengagetkanku. Aku tak menyadari ternyata sudah ada seseorang di sampingku. "Ss-siapa kamu?! Tidak sopan masuk kamar tanpa permisi!" Kataku pada lelaki yang saat ini ada di kamarku. Dia tampan, hidung mancung, tubuh tinggi dan tegap. Walau kulitnya agak sedikit gelap, tapi, tapi, ah sudahlah!
"Maafkan aku, maafkan aku! Aku sudah menyapamu beberapa kali tapi kau tidak menjawabnya." Katanya sambil membungkuk-bungkukkan badan tanda mohon maaf. "Oh begitu." Jawabku ketus. Aku malu, mungkin aku terlalu takjub pada keindahan pantai sampai tak mendengar ada seseorang menyapaku di sana. "Itu pantai Unawatuna. Dikenal di seluruh dunia loh. Apa kau mengetahunya?" Katanya. "Emm aku tidak tahu." Jawabku masih ketus. "Oh iya, kamu siapa?" Tanyaku padanya. Dia tersenyum padaku. Senyumnya merekah bagaikan bunga yang sedang mekar, sungguh indah. "Kau tidak mengenalku?!" Katanya sambil tertawa kecil. "Aku tidak akan menjawab sebelum kau menebak walau salah. Haha." Lanjutnya sambil berkacak pinggang dan memalingkan wajah. "Ish! Menyebalkan." Aku langsung pergi meninggalkan dia yang tidak aku tahu namanya. Sejurus kemudian dia pun menghalangi jalanku. Dengan merentangkan tangan seperti orang yang hendak senam dia menjagaku. "Eitss tunggu! Kau masih saja seperti dulu. Aku Ranju! Salam kenal!" Katanya sambil mengulurkan tangan bagai orang hendak berkenalan, dengan tingkah dan nada mengejekku pula. Menyebalkan. "Emm aku tidak mengenalmu!" Aku langsung pergi dan berlari kecil darinya. Namun, tersimpul senyum saat aku pergi meninggalkannya. Dasar Ranju! Batinku bahagia bertemu dengannya. Teman saat aku masih kecil, sekitar usia empat tahun ketika tinggal di Sri Lanka. Dia masih fasih berbahasa Indonesia karena sempat bersekolah dasar selama dua tahun di Indonesia. Setelah itu dia pun ikut pindah lagi ke Sri Lanka.
Aku pergi berjalan-jalan di pesisir pantai Unawatuna. Di sana ada pula hotel yang begitu mewah dan banyak wisatawan asing lainnya. Tak kusangka, Ranju mengikutiku hingga ke pantai ini. "Jangan jalan-jalan sendirian loh, nanti ada penculik!" Kata Ranju yang berada di belakangku. Aku berhenti sejenak dan membalikan wajah pada Ranju, "Iya, kamu penculiknya! Hahaha." Kemudian aku berlari menuju laut yang warnanya begitu memukau. Ditemani Ranju, kami pun tidak sadar bahwa senja mulai menampakkan diri pertanda malam akan segera datang. Akhirnya kami pulang.
Hari mulai gelap. Latar malam telah menyelimuti seluruh bagian kota Unawatuna, Sri Lanka. Aku masih belum bosan memandangi langit malam penuh bintang di atas laut Unawatuna yang memesona. Hari pertamaku di sini sangat menyenangkan. Sayang Ibu tidak ikut denganku. Akan kuceritakan semua yang ada di sini jika aku sudah pulang nanti. Tiba-tiba terdengar ada seseorang yang mengetuk pintu. "Alisa, sudah tidur kah?" Suara berat itu membuatku segera membukakan pintu. "Belum, Ayah." Kubuka pintu dan kusambut kedatangan ayah dengan hangat. "Bagaimana, kamu suka? Kamu betah?" Tanyanya tanpa ada jeda disetiap ucapannya. "Baru satu hari, tapi aku sudah sangat merasa senang, Yah!" Kataku sembari menggandeng tangan ayah menuju jendela yang sedari tadi masih terbuka. "Pemandangannya indah sekali!" Lanjutku. "Ini belum seberapa, sayang. Besok kau boleh jalan-jalan kemanapun kau mau." Kata ayah mengelus rambut panjangku. Mendengar ucapan ayah aku langsung terperanjat, bahagia. "Beneran, Yah?" Kataku memastikan. "Tentu benar, Sayang! Tapi bukan ayah yang nanti menemanimu. Ayah ada tugas ke India. Jadi nikmati perjalananmu besok ya!" Katanya. Ayah akan pergi? Yang benar saja! Lalu aku di sini bagaimana?! Batinku kesal.  "Ayah kok begitu?! Aku ke sini kan ayah yang mengajak! Mengapa ayah yang pergi?!" Aku kecewa atas keputusannya. "Kalau tahu ayah pergi, aku tidak ingin ikut ke sini. Mending sama ibu, selalu ada waktu untukku!" Lanjutku penuh kekecewaan.
Bulan mengintip dari kejauhan, langit kini semakin menampakkan wujud aslinya saat malam. Ayah mengajakku pergi ke ruang keluarga untuk membicarakan ini semua. "Ayo, ikut ayah dulu." Aku pun  mengiyakan ajakannya. Kulihat keluarga masih ramai di sana. Ada Ranju pun, duduk dengan senyum menyeringai saat melihatku. "Jangan cemberut! Jelek!" Katanya dari kejauhan. Masa bodoh jawabku dalam hati tanpa mengucapkannya pada ranju.
"Sini duduk!" Kata ayah dan langsung melanjutkan pembicaaran ketika aku sudah duduk. "Besok ayah harus pergi ke india. Ayah ada pekerjaan di sana. Kau harus mengerti, Sayang. Ayah janji sepulang di sana ayah pasti membawa hadiah untukmu. Besok, Ranju akan menemanimu kemanapun kau ingin pergi." Mendengar penjelasan ayah dengan sedikit keterpaksaan aku menyetujuinya. Mungkin ini untuk kebaikanku juga. Aku tidak boleh egois. Meskipun ayah tak ada, setidaknya aku merasa sangat dekat dengan keluarga di sini. "Baiklah." Jawabku. "Senyum dong, kalo cemberut Alisanya jadi jelek." Ranju terus saja mengoceh dari kejauhan. Dengan terpaksa pula aku memberikan senyuman terindah kepada ranju, "heeeeee" kataku. Ranju hanya tersenyum melihatku. "Nah kalau begitu, sekarang kamu istirahat! Siapkan diri untuk berpetualang besok. Ranju, jaga Alisa!" Ayah menepuk pundak Ranju. "Siap, paman!" Katanya sambil menunjukan jempolnya pertanda ok! Dan aku segera pergi ke kamar untuk beristirahat.
Suasana pagi di Unawatuna begitu nampak istimewa. Kulihat saudara-saudara perempuanku berseliweran mengenakan busana tradisional, sari. Oh ya, perempuan di Sri lanka sangat menjunjung tinggi nilai kebudayaannya jadi jangan heran jika di jalanan banyak yang memakai sari. Cantik sekali! "Ayah sudah pergi kah?" Tanyaku pada Salina saat melewat di hadapannku. "Sorry?" Katanya sambil tersenyum malu. Ups! Dia tidak mengerti bahasaku! "My father...." Saat aku hendak menanyakan lagi dengan bahasa inggris tiba-tiba ranju langsung menjawab tanpa disuruh. "Ayahmu sudah berangkat tadi pagi. Katanya, "sampaikan salam pada anakku yang sedang tidur, Paman tak kuasa membangunkannya. Alisa nampak lelah." Begitu katanya." Terang ranju menghampiriku membawakan segelas teh khas Sri Lanka. Sri lanka adalah salah satu negara penghasil teh di dunia. "Terima kasih." Kataku. "Kapan kita pergi jalan-jalan?" Lanjutku menagih apa yang sudah dijanjikan tadi malam sebelum ayah pergi ke India. "Kau sudah tidak sabar rupanya." Ranju pergi keluar, "Habiskan tehmu! Lalu ayo kita berangkat!" Katanya sambil menyiapkan sepeda motor yang sudah dipanaskan. Entah mengapa aku sangat senang bisa pergi dengannya. Bagaikan dikelilingi bunga-bunga, hatiku merasa bahagia. "Ok!" Aku segera menyeruput habis teh yang tadi ranju berikan. Seusai itu aku segera bersiap kemudian langsung berangkat. I wish I have a nice day!
Sungguh liburan yang takan pernah aku lupakan. Tujuan pertama kami adalah Kandy. Aku meminta pada Ranju agar setiap kota atau tempat wisata yang dikunjungi harus sambil diceritakan sedikit tentang keunikan ataupun informasi yang bisa aku dapatkan. Supaya, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Atau sambil berenang minum air. Aku tidak ingin hanya memuaskan kesenangan saja, tapi pengetahuan pun harus terpenuhi.
"Kandy adalah kota terbesar di sri lanka. Kota yang sejuk ini dinobatkan sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO." Ranju menjelaskan sambil mengendarai sepeda motor. "Oh ya, Kandy juga termasuk tempat transit yang cocok bagi wisatawan sebelum melanjutkan perjalanan ke daerah wisata lainnya." Lanjutnya. "Oh begitu! Memangnya ada tempat wisata apa saja di Kandy ini?" Tanyaku yang selalu penasaran untuk mengetahui hal baru. "Di sekitar kota ini ada tempat menarik. Seperti Temple Of Sacred Tooth dan juga ada danau buatan yaitu Kandy Lake, nanti kita kesana!" Katanya meyakinkanku. Aku merasa puas dengan semua penjelasannya. Perjalanan ini terasa sangat menyenangkan.
"Berpeganglah! Aku tidak ingin kau terjatuh. Atau peluk saja aku agar lebih aman lagi. Hehe." Katanya. Aku ingin tertawa mendengarnya. "Ah kau ini. Lanjutkan ceritamu!" Aku tidak menggubris ucapannya, tapi ada rasa senang mendengar ucapannya barusan. "Baiklah Tuan Puteri." Seraya langsung tancap gas sepeda motornya. Otomatis aku langsung kaget dan sejurus kemudian memeluk erat padanya. "Ranjuuuuu!" Hanya gelak tawa menghiasi perjalanan kami.
Akhirnya kami tiba di Temple of Sacred Tooth. Kata ranju, di tempat ini ada kuil yang paling terkenal yaitu Temple of Sacred Tooth Relic dan bagi para penganut Budha, tempat ini merupakan agenda wajib bila berkunjung ke sri lanka. "Ranju, danau itu indah sekali. Apa itu Kandy Lake?" Tanyaku saat pandanganku beralih ke tempat yang indah. "Oh iya, aku lupa memberi tahumu. Temple ini bersebelahan dengan danau Kandy jadi kita tidak akan lelah untuk mencapainya." Katanya sambil menggandeng tanganku mengajak ke Kandy Lake. Jantungku berdegup kencang, seperti genderang yang mau perang. "Kau kenapa?" Tanya ranju. "Ehhe tidak apa-apa. Ayo!" Kami kembali melanjutkan langkah kaki. Menikmati danau buatan namun keindahannya nyata dan alami. "Ranju, terima kasih." Ucapku dan Ranju membalas dengan senyum tulus dari dasar hatinya.
Setelah puas berkeliling, mungkin ranju kelelahan, dia mengajakku istirahat sejenak. "Aku lapar, Alisa. Ayo kita pergi ke Hotel terdekat!" Ajak ranju. Aku kaget bukan main, hanya sekedar lapar mengapa harus ke hotel?! Dan aku merasa takut karena dengan santainya dia mengajakku ke hotel, berduaan?! "Hotel? Aku tidak mau!" Kataku sambil mundur selangkah, menjauh darinya. "Kau tidak lapar? Kau tidak haus?" Tanya ranju. "Aku lapar! Aku haus! Tapi mengapa harus ke hotel?" Aku semakin takut padanya. Aku takut sesuatu terjadi. Ranju diam sejenak, nampaknya dia sedang berpikir. Setelah itu, tawa pecah dari mulutnya. "Hahaha. Alisa, Alisa. Aku lupa menjelaskan padamu dan akupun tidak tahu harus menjelaskan apa. Di sini Restoran itu dinamai Hotel hahaha." Tawanya semakin pecah. "Kau pikir aku akan mengajakmu ke Hotel? Tidur berdua? Hahaha." Katanya masih belum puas tertawa. Aku kesal bercampur malu. "Aku lapar, ayo kita ke Hotel!" Kataku sambil pergi mendahului ranju ke restoran yang tidak jauh dari Kandy. Ranju masih tertawa kecil menyaksikan tingkah bodohku. Menyebalkan!
Satu minggu berlalu. Banyak sekali tempat yang telah aku dan ranju kunjungi. Seperti saat hari kedua, kami mengunjungi kota Galle yang berdiri sejak abad ke-16. Objek paling menarik adalah situs warisan dunia bernama Galle Forst. Situs ini berbentuk Kota Benteng, dianggap Kota Benteng terbaik yang pernah dibangun oleh masyarakat Eropa di Asia Selatan. Saat itu aku berharap waktu berjalan lambat. Aku masih ingin menikmati semua yang ada di Sri lanka. Dan yang paling membuatku tertegun adalah aku menemukan Gado-gado dan Nasi Goreng, saat hendak berkeliling menggunakan sepeda di Old Town Galle. "Makanan khas Indonesia! Diperkenalkan oleh Belanda ke masyarakat Sri lanka pada masa kolonial. Silakan bernostalgia!" Dengan senyum yang dipaksakan, Ranju menggodaku dan saat itu terbesit kerinduanku pada kampung halaman terutama ibu. Ibu aku merindukanmu.
 Dan rencana minggu selanjutnya kami akan mencoba mendaki Puncak Adam's Peak. Sungguh perjalanan yang sangat menyenangkan!
Kini tiba saatnya ayah pulang. Keluarga ayah di Sri Lanka ini selalu mengadakan pesta saat menyambut salah satu anaknya yang telah pulang dari luar kota ataupun luar negeri. Adat ini hanya ada di keluaga ayah. Semua perempuan harus mengenakan pakaian tradisional yaitu Sari. Aku pun memakainya. Rasanya aku seperti Kajol atau prety zinta artis-artis bollywood dalam film-film india. Hihi. "Kau cantik sekali!" Ranju mengagetkanku untuk yang kedua kalinya. Ternyata dia sudah berada disampingku sejak lima menit yang lalu. "Ranjuuu! Kau ini hantu atau apa? Selalu saja datang tanpa sepengetahuanku." Aku mencubit lengannya. Dan ternyata keributan itu mengundang perhatian semua keluarga. Mereka semua tersenyum dan ada pula yang menggoda dengan mengatakan, "kalian berdua cocok!" Ah mereka ini ada-ada saja. Namun, di hati yang paling dalam aku bahagia mendengarnya. Dan sesekali aku mengucapkan Aamiin atas ucapan-ucapannya. Hehe.
Ayah datang. Terompet, gendang dan bunga-bunga bertaburan saat ayah hendak turun dari mobil. Suasana ramai sekali. Dibawakannya hadiah-hadian dari india untuk semua sanak saudara. Tak lupa ayah memberikan hadiah untukku dan juga ibu. Ternyata ayah masih peduli pada ibu, pikirku.
Saat semua sedang menyantap hidangan, kutemukan ponselku bendering dan itu adalah panggilan dari Ibu. Segera aku jawab dan ingin segera pula aku menceritakan semuanya. "Hallo, ibu. Aku merindukan ibu!" Kataku yang sudah sangat merindukannya. Tapi ada yang aneh, ibu tidak langsung menjawabku. Hening, ibu tak bersuara. "Hallo? Hallo? Ibu?" Aku mengulangi obrolan. "Iya sayang, ibu di sini. Ibu juga merindukanmu." Katanya dengan suara yang sedikit berbeda, lemas. "Ibu sehat? Ibu tidak apa-apa kan?" Tanyaku dan pikiranku berubah menjadi kekhawatiran. "Ibu sehat sayang. Tapi tolong sebentar berikan ponselmu pada ayahmu!" Tidak biasanya. "Baik, Bu." Aku segera menghampiri ayah yang sedang duduk di teras rumah. "Ayah, ini ibu." Kuberikan ponsel pada ayah dan aku menunggu di sampingnya. Wajah ayah terlihat serius. Dan nampak sekali matanya mulai berkaca, berlinang air mata. Setelah itu ayah menutup teleponnya tanpa menanyakan padaku apa aku akan mengobrol lagi dengan ibu? Tidak! Panggilan kini sudah terputus.
"Ada apa Ayah?" Aku mulai panik. Ayah mengajakku masuk ke dalam rumah dan mencoba menghentikan semua kegiatan pesta yang sedang dilakukan. "Semuanya, dengan khidmat mari kita do'akan semoga Ayah mertuaku tenang di alam sana. Ibunya Alisa menelepon bahwa kakeknya meninggal tadi malam. Mari berdo'a!" Serentak semua menundukan kepala untuk berdo'a. Aku yang belum percaya dengan ucapan ayah menangis terisak di hadapan semua. Aku tak kuasa berkata, tubuhku bergetar, lidahku kelu, dan hanya linangan air mata yang menjadi jawaban atas perasaanku saat ini. Aku ingin pulang!
Ayah memelukku. Semua acara dihentikan. Tidak baik rasanya jika di sini berpesta dan di sana, di kampung halamanku sedang berduka. Aku mengurung diri di kamar, ditemani Ranju sementara ayah menyiapkan tiket untukku pulang.
"Aku turut berduka, Alisa. Kau harus tabah! Kakek pasti bahagia di alam sana." Ranju mencoba menenangkan hatiku. Dia menggenggam erat jemariku. Aku merasakan ketenangan yang begitu mendalam. "Aku akan pulang, Ranju." Air mata terus mengalir dan membasahi pipiku. Sesaat Ranju mengusap air mata itu. "Jika kita ditakdirkan bersama, kita pasti akan dipertemukan lagi." Ranju menatapku, menatap kedua mata yang basah ini. Dia mengusapnya dengan penuh kelembutan. "Alisa, aku menyayangimu dan sampai kapanpun aku akan tetap menyayangimu." Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku tak bisa berkata apa-apa mungkin karena aku juga menyayanginya. Air mata kembali mengalir. Lalu saat itu pula Ranju memelukku. Kurasakan kehangatan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Apakah ini cinta? Lelaki yang selalu membuatku tertawa walau hanya sepekan saja. Lelaki yang menenangkan hatiku saat dirundung duka. Aku ingin selalu bersamanya tapi Ranju, aku harus pergi.
Kini tibalah saatnya aku pergi meninggalkan Sri lanka. Kenangan indah bersama keluarga di sana takan pernah kulupa. Terlebih Ranju, akan menjadi bagian manis dalam hidupku. Satu minggu yang sangat berarti bagiku. Untuk terakhir kalinya sebelum aku pergi Ranju memelukku. Mengucapkan selamat tinggal dan semoga kita dipertemukan lagi. "Suatu saat aku akan mengunjungimu." Bisiknya padaku. Aku segera masuk ke mobil dan semua keluarga melambaikan tangan pertanda salam perpisahan. Oh Sri Lanka, I have to go!
Tiba di Tanah Air, di kampung halaman yang ternyata jasad kakek telah di ke bumikan. Aku bersama ayah juga ibu pergi berziarah ke makam kakek yang tanahnya masih basah. Ingin kuceritakan pengalamanku padanya namun sepertinya takan pernah lagi terlaksana. Kakek, selamat tinggal. Bersama angin, kuingin menyampaikan rinduku pada kakek yang sangat aku cintai.
Pengalaman indah terukir selama satu minggu. Aku membuka satu barang yang Ranju berikan saat hendak pulang dari Sri Lanka. Isinya boneka gajah Sri Lanka beserta sepucuk surat darinya. Tak menunggu waktu aku pun langsung membacanya.
Alisa, saat kau datang entah mengapa hatiku menjadi tenang. Kerinduanku kini terobati saat aku melihat senyumanmu yang menawan. Sudahi kesedihanmu dan kembalilah ceria seperti dulu.
Rencana kita untuk mendaki ke Adam's Peak yang belum terlaksana adalah tempat yang tadinya ingin aku curahkan semua perasaanku padamu.
Aku menyayangimu bahkan lebih dari yang kau tahu. Satu pekan rasanya sangat singkat bagiku setelah bertahun-tahun aku menunggumu.
Selesai aku lulus kuliah nanti, aku akan datang menemuimu. Meminangmu dan menjadikanmu ibu untuk anak-anakku. Anak-anak kita.
Aku berjanji!
Salam kebahagian untukmu selalu, Alisa.
Bahagia, sungguh sangat bahagia. Air mata ini kini berubah menjadi air mata bahagia karena Ranju lah penyebabnya.
Sejalan dengan berjalannya waktu, kebahagiaan pun tercipta saat dua insan saling mencinta. Sampai suatu ketika, saat dua hati mulai bahagia, saat itu pula kita harus merasakan duka.
Satu hal yang aku rasakan saat ini adalah bahwa bertemu itu tidak selalu bisa bersama. Namun bertemu itu akan selalu membuat kenangan indah takan terlupa. Mungkin perpisahan ini menjadi awal terciptanya kebersamaan, kebahagiaan untuk selamanya. Semoga kita bisa dipertemukan lagi. Ranju, aku pun mencintaimu.