Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

February 28, 2014

Saya 5 Tahun Mendatang #LatihanNulis



Lima tahun yang akan datang aku akan menjadi apa ya?

Selalu terlintas dipikiranku tentang pertanyaan yang satu itu. Hari ini aku masih duduk dibangku kuliah dan untuk kedepannya aku akan menjadi apa? Aku belum tahu. Walaupun saat ini aku kuliah di jurusan yang sudah pasti kemana nantinya akan melangkah, namun kehendak Tuhan siapa yang tahu? Lima tahun kedepan aku akan menjadi apakah? Lima tahun yang akan datang, sudahkah aku mencapai segala yang aku inginkan di tahun ini? Yang pasti aku ingin mencapai semua mimpi-mimpiku yang selama ini aku tulis dalam selembar kertas catatan itu.

100 mimpi yang harus aku capai! Itulah salahsatu niat optimisku untuk mencapai semua mimpiku. Terpajang tepat di pintu lemari pakaianku, kertas yang berisi 100 mimpi yang harus aku capai kutulis  saat aku masih duduk dibangku SMP kelas IX itu mulai terlihat kusam. Kertas warna putih itu kini mulai terlihat menua dengan warna yang sedikit kekuning-kuningan. Tidak ada niat sedikitpun untuk menggantinya, bahkan mencabutnyapun aku tidak mau. Biarkan kertas itu menjadi saksi tercapainya keinginan dan mimpi-mimpi pada saat aku membuatnya sampai pada saat aku mewujudkan mimpi-mimpi itu semua.

Lima tahun yang akan datang aku akan menjadi apa ya?

Mungkin karir yang satu ini selalu masuk kedalam daftar cita-citaku. Dari kecil aku ingin menjadi seorang guru. Setelah itu aku ingin melanjutkan studyku untuk menjadi seorang dosen. Apakah lima tahun yang akan datang keinginan itu akan tercapai? Hanya usaha yang sungguh-sungguh dan berdo’a yang khusuklah yang bisa menjawab semuanya.

Kini, waktu berjalan begitu sangat cepat. Teknologi meningkat dengan sangat pesat. Persaingan-persaingan semakin ketat. Maka, aku akan semakin kokoh dan semakin teguh pada semua pendirian yang telah aku tetapkan. Aku akan berusaha sekuat tenaga, kertas yang aku tulis dengan 100 mimpi itu harus segera aku capai. Lima tahun yang akan datang aku harus bisa menuai hasil dari benih yang telah aku tanam saat ini. Dan aku selalu menanamkan sebuah kalimat dalam hati, Man Jadda Wa Jada! Barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Aamiin!

MY FAVORITE NUMBER #LatihanNulis

Dari banyak angka yang tak terhingga jumlahnya, yang tak pernah ada akhirnya, aku tertarik pada satu angka yaitu angka 6. Entah mengapa aku menyukai angka yang satu ini. Mungkin karena banyak kejadian yang aku alami dan itu melibatkan angka 6 ini.

Awalnya saat aku akan masuk Sekolah Menengah Atas. Aku berhijrah dari Cianjur menuju Bandung. Siapa sih yang tidak takut pergi ke Bandung sendirian untuk pertama kalinya? Ya, aku merasa takut saat itu. Saat aku naik bis, aku menemukan sebuah kejanggalan disana. Aku masuk kedalam bis dan hanya ada 5 orang penumpang saja ditambah aku menjadi 6 orang. Tanpa aku sadari, biasanya bis dari Cianjur sampai Bandung itu selalu penuh dan ramai tapi untuk kali ini, tetap saja penumpangnya hanya ada 6 orang. Sangat aneh bukan?

Lalu saat aku mendaftar SMA. Aku diterima di SMA Negeri 6 Cimahi. Disitu kutemui lagi angka 6. Bukan hanya itu, saat MOPD atau sering kita sebut MOS aku masuk kelompok 6 dan setelah itu saat pembagian kelas aku mendapat kelas X-6 sepaket dengan nomor absenku yaitu 36. Masih mengandung angka 6 bukan? Dari situ aku mulai menyukai bahkan mendambakan angka 6.

Secara filosofi, aku tidak tau makna dari angka 6 itu sendiri. Namun sering terjadinya kejadian yang melibatkan angka ini aku menjadi sangat menyukainya. Mulai dari menamai akun facebook, Ndeh Enam Yaminari. Di SMA aku sangat dekat dengan 6 orang sahabat. Saat naik ke kelas XI aku dapat kelas 2IPA4, taukah jika angka kelas itu dijumlahkan 2+4 bukankah itu samadengan 6? Ya ya ya mungkin ini terlalu memaksakan namun tetap saja angka 6 selalu menghiasi hidupku. Satu lagi, saat aku naik ke kelas XII. Aku mendapat kelas yang tidak jauh lagi dari angka favoriteku yakni kelas XII-IPA-6.

Oh ya, kalian tau Rukun Iman? Ya, Rukun Iman itu ada 6. Dan aku sudah yakin kalian juga pasti tau isi dari Rukun Iman tersebut. Salahsatunya adalah Iman kepada Qada dan Qadar Allah SWT. Percaya bahwa Allah sudah menetapkan ketetapan-Nya untuk kita. Dan, akupun percaya bahwa Allah SWT menakdirkan 6 adalah angka yang terbaik untukku. Bukan maksud angka yang lain tidak baik. Tapi mungkin ini adalah satu dari sekian banyak cerita tentang orang-orang yang menyukai angka sebagai angka dambaannya.

Dari angka yang aku favoritekan tadi, aku pernah berharap untuk mendapatkan jodoh yang jika namanya dijumlahkan ada 6 karakter atau angka yang mengandung angka 6, seperti namaku Siti Robiah Adawiyah jumlah karakternya ada 18. Bukankah 18 itu kelipatan 3 dari 6? Ya, entah ini aneh atau apa. Entah aku memaksakan atau apa. Namun aku selalu mengaitkan segala sesuatu itu dengan angka 6. Tapi seperti yang sudah aku katakana tadi, bahwa Allah telah menetapkan Qada dan Qadar-Nya untuk kita. Biarlah angka 6 ini menjadi misteri tersendiri dalam urusan jodoh. Jika memang jodohku namanya tidak 6 karakter, ya tidak apa-apa. Bahkan sekarang aku berharap jodohku itu namanya bukan 6 karakter, tapi 7 karakter misalnya. Kode. Aamiin. Itu hanya Allahlah yang tau.

28 Februari 2014

February 26, 2014

Benar Benar Kelabu



Bandung mendung. Sama seperti hatiku yang sedang mendung. Bukan karena putus cinta atau dicuekin pacar, ahhh itu sudah terlalu mainstream. Tapi, karena hari ini aku harus kuliah pagi pukul tujuh pastinya. Jarak yang aku tempuh dari rumah ke kampus jauhnya bukan main. Satu jam lamanya, belum ditambah lama menunggu kendaraan, kendaraan ngetem, macet dan lain sebagainya sehingga waktuku habis hanya sekedar diperjalanan.

Kurasakan dinginnya pagi di kota Bandung yang akhir-akhir ini udaranya tidak begitu segar. Meningkatnya populasi transportasi, semakin meningkat pula polusi yang menggandrungi kota kembang ini. Aku berangkat tepat pukul enam, dan berharap semua dilancarkan tanpa ada halangan-halangan yang menghadang.

Tiba di halte bis, aku mengitari ke sekelilingnya namun tak Nampak satupun bis yang muncul. Akhirnya aku memutuskan untuk naik angkot “Elang-Gede Bage”. Sebenarnya aku enggan naik angkot ini. Banyak yang harus dipertimbangkan. Tapi, melihat waktu yang berjalan begitu cepat akhirnya aku naik angkot tersebut.

Petualanganpun dimulai. Matahari sepertinya malu menampakan diri dibalik gelapnya awan di pagi ini. Kulihat kabut sedikit menutupi gedung-gedung tinggi di kota ini. Hembusan angin menjalar keseluruh tubuhku dan membuatku semakin merasa dingin. Aku memandangi suasana Bandung pagi ini, padat. Selalu begitu.
…..
Selasa, 25 Februari 2014. Aku berangkat ke kampus dengan menggunakan kendaraan umum yakni angkot “Elang-Gede Bage”. Belum pernah aku sampai ke kampus dengan lancar kalau naik angkot ini. Walaupun demikian, karena  susahnya fasilitas bis yang melintasi kampusku di kota Bandung ini, angkot adalah salahsatu alternatif walau aku harus selalu berkorban karenanya.

Saat itu penumpang angkot Gede Bage tidak begitu penuh. Aku kira quantitas penumpang tidak akan mempengaruhi supir angkot untuk tidak melanjutkan perjalanan. Namun semua itu salah. Saat penumpang hanya satu atau dua saja, diturunkanlah penumpang tersebut di jalan dan dioperkan pada angkot yang lain dan angkot itu kembali putar balik arah. Dan, pengalaman ini sering menimpaku. Saat aku sedang tergesa-gesanya karena sudah terlambat masuk kuliah, disitu pula aku harus diturunkan oleh supir angkot “Elang-Gede Bage”. Rasanya bagaikan tereliminasi disebuah acara pencarian bakat untuk menuju puncak. Biasanya daerah Tegalegalah tempat pengoperan penumpang-penumpang yang malang. Namun sudah tahu sering terjadi hal demikian, masih saja aku pergi ke kampus menggunakan angkot tersebut. Dan selalu berharap tidak akan lagi diturunkan di tengah perjalanan. Walau harapan itu tidak pernah aku dapatkan.
……
Lamunanku membuyar oleh getar handphone yaitu sms dari teman kuliahku, Radina. Dari pada bosan, aku smsan saja dengannya. 06.46 WIB
Radina : “Ndeh dimana?”
Aku : “Aku masih di Lotte Mart, udah masuk? Dosennya udah dateng?”
Radina : “Belum, ayoo cepetan! Katanya kalau telat, bakal didiemin sama dosennya.”
Aku : “Waahh masaa?? Gimana dong aku? kalau telat aku gak akan masuk din.”
Radiana : “Ihhh kebiasaan jelek jangan dirawat! Ini hari pertama, cepetan.”
Aku : “Cepetan gimana? Diikira aku yang ngendarain angkotnya apa?”
Radina : “Yaudah, sekarang udah dimana?”
Aku : “Baru mau ke Tegalega din, feeling diturunin inimah. Gimana atuh?”
Radian : “Ihh ya jangan! Berdo’a..”
Aku : “Iyaa ini juga berdo’a, tapi deg-degan. Nanti smsin di ruang mana ya..”
Radian : “Oke, hati-hati.”

Tibalah aku di kawasan Tegalega. Aku melihat ke kanan kiriku hanya ada tiga penumpang saja termasuk aku. Ya Tuhan, aku berharap hari ini banyak penumpang yang naik agar aku tidak diturunkan dan dioperkan untuk naik angkot yang lain. Itu sangat menyebalkan dan sedikit menghabiskan waktu pula.

Hatiku terus dag dig dug. Di Tegalega ini adalah tempat penentuan bagi penumpang-penumpang yang malang. Lanjut atau tereliminasikah dari angkot Gede Bage ini. Namun setelah melaju, banyak penumpang yang naik angkot ini. Hatiku menjadi tenang kembali, senyumku mulai melebar kembali. “Asiiikkk banyak penumpang yang naik, sepertinya aku tidak akan tereliminasi.”

Aku melihat kebelakang, banyak penumpang yang tereliminasi dari angkot lain yang mereka naiki. Beruntunglah mereka dioperkan ke angkot yang aku naiki. Aku tidak merasa khawatir lagi toh sekarang angkot yang aku naiki sudah penuh bahkan berjejal. Siap-siap meluncur dan segera tiba ditujuan. Siiip.

Mungkin ini adalah kali pertama aku lolos di babak penyisihan angkot Gede Bage. Akhirnya aku merasa menjadi juara dengan tiba di STIE Inaba kampusku. Walaupun hati ini dagdigdug karena sudah terlambat tapi setidaknya aku mendapat suatu pencerahan dibalik kelabunya awan, bahwa kesabaran memang mendatangkan kemudahan.

Saat aku turun dari angkot, rintik hujan membasahiku. Ternyata awan kelabu sudah tidak kuat menampung butiran-butiran air yang dibawanya. Aku berlari menuju ruang B.2.1. Dari kejauhan nampaknya suasana masih ramai. “Ini sudah pukul tujuh lewat duapuluh lima menit kok belum pada masuk ya?” Aku bicara sendiri sambil ngos-ngosan kecapekan. Aku langsung masuk ke ruang itu, “Radina, dosennya mana?” tanyaku pada temanku itu. “Katanya jadinya jam delapan deh.”

Hmmm, mendengar ucapan temanku itu aku langsung lemas. Sepanjang perjalanan aku terus merasa ketakutan tapi ternyata dosennya saja belum datang. Bahkan beliau mengundurkan waktu belajar. Rasanya hari ini cuaca Bandung ada dipihakku. Matahari yang tidak mau menampakan diri, awan-awan kelabu, dan rintik hujan menemani aku, aku yang sedang pilu.

February 24, 2014

ITU BUKAN TIKUS!!!



Siapa sangka hari yang seharusnya menjadi moment penting dan bahagia itu akan menjadi sebuah kisah yang yaaa memang “takan terlupakan” seumur hidupku.
Namaku Zahra Nisa, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas empat dan akan naik ke kelas lima. Seperti anak-anak pada umumnya, aku pernah mengalami hal yang bagiku takan pernah ku lupakan saat itu.

Subuh oh subuh, mengapa aku harus mandi disaat pagi masih gelap ini. Rasanya seperti  jarum yang menusuk-nusuk seluruh tubuhku. Dan, entah mengapa aku merasa sangat malas untuk bangun di hari yang sepagi ini. Selimut hangat masih saja membungkus tubuhku yang mungil, dan  lebih tepatnya tubuh yang kurus kerempeng. Sehingga, angin subuh bisa seenaknya menggoda tubuhku ini.

Teriakan dahsyat dari ruangan sebelah di kamarku mulai mengguncangkan dunia mimpiku. Rasanya teriakan itu sudah tak asing lagi ku dengar. Ya, itu adalah suara Ibuku. Suara merdu nan halus namun dengan nada yang sedikit naik, juga volume full membuyarkan mimpi indah itu.
“Zahra Nisaaa, cepat bangun waktunya shalat subuh dan hari ini kan kenaikan kelas. Kamu harus pergi ke salon. Cepat banguun!”
Ahh tidaak! Waktu masih menunjukan pukul empat lewat tigapuluh menit. Namun aku takut Ibuku marah akhirnya aku memaksa tubuh ini untuk beranjak dari tempat yang nyaman nan hangat itu. “Iya bu, Rara bangun nih.”

Setelah selesai semuanya, aku segera berpakaian dengan sedikit tidak rapih. Mengapa, karena aku akan pergi ke salon menyewa baju kebaya untuk acara hari ini di sekolah, otomatis aku tidak usah berpakain terlalu rapih. Aku langsung berangkat ke salon ditemani kakak perempuanku. Aku memanggilnya teteh. (sebutan kakak perempuan dalam bahasa Sunda)
“Teh, kenapa hari ini males banget ya Teh. Rara gak mau ikut acara kenaikan kelas ah.” Aku merajuk di tengah subuh yang dingin itu.
“Kamu ini! Jangan mengeluh terus. Udah watak kamu tuh memang malas. Ayo cepat jalannya, dingin nih!” Kakakku memeluk tubuhnya sendiri karena memang dingin. Dan aku, aku masih merasa hari ini tidak cukup bersemangat. Namun karena di acara itu aku ikut tampil, naik ke atas panggung jadi mau tidak mau aku harus datang.

Sesampai di salon, Salon Andi namanya. Tidak jauh dari rumahku. Aku langsung bergegas untuk ganti pakaian. Aku memakai baju kebaya warna putih dan samping coklat dengan corak mega mendung. Setelah memakai kebaya, aku siap-siap untuk dimakeover oleh Ibu Andi pemilik salon tersebut.

Satu jam kemudian. Selesailah proses perombakan wajah polosku menjadi wajah yang begitu sangat asing dengan tamplokan warna warni di setiap sisinya.
“Waaah si neng meni cantik.” Ujar Bu Andi. Aku tidak yakin. Beliau memujiku entah aku cantik beneran atau hanya untuk pencitraan hasil makeovernya. Yang pasti aku tidak nyaman dan ingin segera mengakhiri semua ini.
“Siapa dulu dong, kakaknya juga kan cantik ya Ra? Haha.” Kakakku menyenggol aku yang saat itu aku sedang memakai sepatu high heels yang kurang lebih tingginya hanya lima senti meter. Otomatis aku langsung terjatuh saat itu dan braaaakksss sanggul yang aku pakai copot dari kepalaku. “Teteeehhh ihh nyebelin. Udah mau siang juga! Aku malu lewat ke jalannya kalau harus berdandan seperti ini.” Aku jengkel saat itu dan Bu Andi langsung membetulkan kembali sanggulku itu. Oke, selesailah sudah proses makeovernya. Aku dan kakakku segera pergi meninggalkan salon tersebut setelah membayar sewa segala barang yang aku pakai kepada Bu Andi. “Semoga sukses acaranya ya.” Bu Andi melambaikan tangannya. “Aamiin, terimakasih Bu.” Ya, semoga saja.

Karena rumahku tidak jauh dari Salon Bu Andi dan Salon Bu Andi tidak jauh dari sekolahku jadi aku dan kakakku jalan kaki ke sekolah. Saat itu waktu menunjukan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Sepanjang jalan aku hanya menunduk. Walau saat itu aku masih SD namun aku tetap punya perasaan malu saat orang-orang menatapku dari ujung kaki ke ujung kepala. Entah terpukau atau malah seperti melihat badut ancol berkebaya putih jalan-jalan. Entahlah. Sepanjang jalan pula aku merasa tidak nyaman dengan properti-properti yang menempel di tubuhku khususnya sanggul yang ada dikepalaku. Namun semua itu akan segera berakhir jika aku cepat tiba di sekolah.

Tempat yang sangat dinantikan. Sekolah Dasar Negeri Cipanas V. Ya, itulah nama sekolahku. Bukan sekolah milikku, tapi sekolah dimana aku belajar dan menimba ilmu. Ramai sekali. Penuh dengan siswa-siswi yang memakai warna warni pakaian adat senasib dengan diriku, penuh dengan suara-suara nyanyian yang seru, penuh dengan orang tua murid, dan tak sepi pula dengan pedagang yang memang yakin kalau ada acara seperti ini seluruh dagangannya akan habis terjual.

Saat waktu menunjukan tepat pukul delapan. Itulah tanda bahwa acara akan segera dimulai. Sambutan demi sambutan selesai disampaikan oleh para pemuka sekolah. Dan kini tiba saatnya penampilan dari kelas empat yakni penampilan dari kelasku. Kami akan menyanyikan tiga buah lagu. Semuanya segera bersiap-siap sebelum MC mempersilahkan naik keatas panggung. Namun, tidak denganku. Aku merasa tidak enak hati saat itu. Aku terus merapikan pakaian yang entah mengapa aku merasa tidak nyaman. Walau tempat acara ini indoor yaitu didalam ruangan yang sedikit gelap tetap saja aku merasa tidak nyaman.
“Rara, ayo berbaris. Setelah ini kalian kan akan tampil.” Teriak salahsatu guruku. Aku langsung berjalan menuju panggung dengan wajah yang cemberut. Saat itu MC mulai berteriak mengeluarkan suara yang tidak ingin aku dengar, entah mengapa hari ini aku merasa tidak nyaman!!!
“Untuk menampilan selanjutnya, mari kita saksikan menampilan dari kelas empat. Beri tepuk tangan yang meriah.” Semua penonton, termasuk orangtuaku yang ikut menonton juga ikut tepuk tangan. Saat aku menoleh, ibu tersenyum padaku dan ya lumayanlah untuk sedikit menenangkan jangtungku yang dari tadi terus saja dag-dig-dug tak menentu.

Setelah semua berada diatas panggung, dan aku saat itu berposisi di barisan kedua, mulailah satu lagu ditembangkan. Formasi lagu pertama ini hanya melangkah ke kanan dan ke kiri saja. Namun formasi untuk lagu kedua yaitu lagu Sunda yang bertemakan kebahagian, ada gerakan yang harus meloncat-loncat kecil. Namun ya aku ikuti saja supaya terlihat kompak antara satu dengan yang lainnya.

Salahsatu lirik dari lagu tersebut adalah bagian “Seuri gumbira, hap hap hap hap jreeenggg” semua menyanyi sambil melompat-lompat. Tapi tiba-tiba barisan di belakangku menjerit dan berteriak teriak. Entah apa yang sedang terjadi, tapi adegan ini diluar dari bagian panampilan kami. Dengan setting lampu yang sedikit gelap, aku menoleh ke belakang ternyata ada sesuatu yang menggelinding di panggung dan itu sedikit besar dan hitam. Seisi panggung bergemuruh, loncat-loncat, teriak-teriak, bahkan ada yang menangis. Dasar bocah. Sedangkan penonton hanya tertawa. Ya tertawa bagaikan melihat lawak di acara tv swasta.
“Ibuuuuuu, ada tikuuusss, huuaaaaa tikuuussss huuaaaaaaa..”
“Mamaah aku takut…papaaa akuu takuut” kenapa tidak kau sebut saja semua keluargamu!
“Haaaaaaa haaaaa haaaa…” (jeritan anak-anak)
“huaaaaa huuuuaaaaa huuaaaaa…” (tangisan anak-anak)
Setelah panggung benar-benar kacau, ada salahsatu temanku Elan berteriak.
“Itu bukan tikuuus, tapi sanggulnya Zahra jatuuuhhh.”

Refleks aku langsung memegang kepalaku. Dan, benar sanggulku hilang lebih tepatnya jatuh dan membawa kekacauan. Seketika semua teman-teman (juga penonton) menatap kepadaku. Wajahku memerah persis seperti angry bird bahkan lebih merah dari itu. Lalu, “hahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha” seisi ruangan pengap itu tertawa terbahak-bahak, aku malu, aku ingin menangis, aku ingin kabur menggunakan pesawat tempur dan pergi menyendiri. Dan, aku memutuskan untuk berlari turun ke panggung.
MC menenangkan seisi panggung sampai sepi kembali. Untung saja panggungnya tidak roboh. Di belakang panggung aku hanya menangis dan terus menangis. Ibuku menenangkanku sambil tertawa terbahak-bahak pula. Katanya, “Pengalaman Ra, pasti akan selalu terkenang.”

Setelah kejadian itu, walau sempat libur semester selama dua minggu. Sepertinya teman-teman tidak lupa akan kejadian itu. Setiap orang yang melihatku pasti tertawa, bahkan ada yang mengejeku dengan sebutan “Si Kondeh” ya, konde itu nama lain dari sanggul. Tapi aku ingat pesan ibu bahwa hal itu adalah sebuah pengalaman dan pasti akan selalu terkenang, jangan pernah marah atau diambil hati. Aku bawa happy saja, mungkin teman-temanku terlalu mengapresiasiku, lantas semua itu pasti akan hilang sendiri bersama bergulirnya waktu. Sampai detik ini, aku menulis kisahku ini. Bahwa yang telah terjadi sepuluh tahun yang lalu adalah moment yang takan pernah terlupakan.