Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

February 24, 2014

ITU BUKAN TIKUS!!!



Siapa sangka hari yang seharusnya menjadi moment penting dan bahagia itu akan menjadi sebuah kisah yang yaaa memang “takan terlupakan” seumur hidupku.
Namaku Zahra Nisa, saat itu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas empat dan akan naik ke kelas lima. Seperti anak-anak pada umumnya, aku pernah mengalami hal yang bagiku takan pernah ku lupakan saat itu.

Subuh oh subuh, mengapa aku harus mandi disaat pagi masih gelap ini. Rasanya seperti  jarum yang menusuk-nusuk seluruh tubuhku. Dan, entah mengapa aku merasa sangat malas untuk bangun di hari yang sepagi ini. Selimut hangat masih saja membungkus tubuhku yang mungil, dan  lebih tepatnya tubuh yang kurus kerempeng. Sehingga, angin subuh bisa seenaknya menggoda tubuhku ini.

Teriakan dahsyat dari ruangan sebelah di kamarku mulai mengguncangkan dunia mimpiku. Rasanya teriakan itu sudah tak asing lagi ku dengar. Ya, itu adalah suara Ibuku. Suara merdu nan halus namun dengan nada yang sedikit naik, juga volume full membuyarkan mimpi indah itu.
“Zahra Nisaaa, cepat bangun waktunya shalat subuh dan hari ini kan kenaikan kelas. Kamu harus pergi ke salon. Cepat banguun!”
Ahh tidaak! Waktu masih menunjukan pukul empat lewat tigapuluh menit. Namun aku takut Ibuku marah akhirnya aku memaksa tubuh ini untuk beranjak dari tempat yang nyaman nan hangat itu. “Iya bu, Rara bangun nih.”

Setelah selesai semuanya, aku segera berpakaian dengan sedikit tidak rapih. Mengapa, karena aku akan pergi ke salon menyewa baju kebaya untuk acara hari ini di sekolah, otomatis aku tidak usah berpakain terlalu rapih. Aku langsung berangkat ke salon ditemani kakak perempuanku. Aku memanggilnya teteh. (sebutan kakak perempuan dalam bahasa Sunda)
“Teh, kenapa hari ini males banget ya Teh. Rara gak mau ikut acara kenaikan kelas ah.” Aku merajuk di tengah subuh yang dingin itu.
“Kamu ini! Jangan mengeluh terus. Udah watak kamu tuh memang malas. Ayo cepat jalannya, dingin nih!” Kakakku memeluk tubuhnya sendiri karena memang dingin. Dan aku, aku masih merasa hari ini tidak cukup bersemangat. Namun karena di acara itu aku ikut tampil, naik ke atas panggung jadi mau tidak mau aku harus datang.

Sesampai di salon, Salon Andi namanya. Tidak jauh dari rumahku. Aku langsung bergegas untuk ganti pakaian. Aku memakai baju kebaya warna putih dan samping coklat dengan corak mega mendung. Setelah memakai kebaya, aku siap-siap untuk dimakeover oleh Ibu Andi pemilik salon tersebut.

Satu jam kemudian. Selesailah proses perombakan wajah polosku menjadi wajah yang begitu sangat asing dengan tamplokan warna warni di setiap sisinya.
“Waaah si neng meni cantik.” Ujar Bu Andi. Aku tidak yakin. Beliau memujiku entah aku cantik beneran atau hanya untuk pencitraan hasil makeovernya. Yang pasti aku tidak nyaman dan ingin segera mengakhiri semua ini.
“Siapa dulu dong, kakaknya juga kan cantik ya Ra? Haha.” Kakakku menyenggol aku yang saat itu aku sedang memakai sepatu high heels yang kurang lebih tingginya hanya lima senti meter. Otomatis aku langsung terjatuh saat itu dan braaaakksss sanggul yang aku pakai copot dari kepalaku. “Teteeehhh ihh nyebelin. Udah mau siang juga! Aku malu lewat ke jalannya kalau harus berdandan seperti ini.” Aku jengkel saat itu dan Bu Andi langsung membetulkan kembali sanggulku itu. Oke, selesailah sudah proses makeovernya. Aku dan kakakku segera pergi meninggalkan salon tersebut setelah membayar sewa segala barang yang aku pakai kepada Bu Andi. “Semoga sukses acaranya ya.” Bu Andi melambaikan tangannya. “Aamiin, terimakasih Bu.” Ya, semoga saja.

Karena rumahku tidak jauh dari Salon Bu Andi dan Salon Bu Andi tidak jauh dari sekolahku jadi aku dan kakakku jalan kaki ke sekolah. Saat itu waktu menunjukan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Sepanjang jalan aku hanya menunduk. Walau saat itu aku masih SD namun aku tetap punya perasaan malu saat orang-orang menatapku dari ujung kaki ke ujung kepala. Entah terpukau atau malah seperti melihat badut ancol berkebaya putih jalan-jalan. Entahlah. Sepanjang jalan pula aku merasa tidak nyaman dengan properti-properti yang menempel di tubuhku khususnya sanggul yang ada dikepalaku. Namun semua itu akan segera berakhir jika aku cepat tiba di sekolah.

Tempat yang sangat dinantikan. Sekolah Dasar Negeri Cipanas V. Ya, itulah nama sekolahku. Bukan sekolah milikku, tapi sekolah dimana aku belajar dan menimba ilmu. Ramai sekali. Penuh dengan siswa-siswi yang memakai warna warni pakaian adat senasib dengan diriku, penuh dengan suara-suara nyanyian yang seru, penuh dengan orang tua murid, dan tak sepi pula dengan pedagang yang memang yakin kalau ada acara seperti ini seluruh dagangannya akan habis terjual.

Saat waktu menunjukan tepat pukul delapan. Itulah tanda bahwa acara akan segera dimulai. Sambutan demi sambutan selesai disampaikan oleh para pemuka sekolah. Dan kini tiba saatnya penampilan dari kelas empat yakni penampilan dari kelasku. Kami akan menyanyikan tiga buah lagu. Semuanya segera bersiap-siap sebelum MC mempersilahkan naik keatas panggung. Namun, tidak denganku. Aku merasa tidak enak hati saat itu. Aku terus merapikan pakaian yang entah mengapa aku merasa tidak nyaman. Walau tempat acara ini indoor yaitu didalam ruangan yang sedikit gelap tetap saja aku merasa tidak nyaman.
“Rara, ayo berbaris. Setelah ini kalian kan akan tampil.” Teriak salahsatu guruku. Aku langsung berjalan menuju panggung dengan wajah yang cemberut. Saat itu MC mulai berteriak mengeluarkan suara yang tidak ingin aku dengar, entah mengapa hari ini aku merasa tidak nyaman!!!
“Untuk menampilan selanjutnya, mari kita saksikan menampilan dari kelas empat. Beri tepuk tangan yang meriah.” Semua penonton, termasuk orangtuaku yang ikut menonton juga ikut tepuk tangan. Saat aku menoleh, ibu tersenyum padaku dan ya lumayanlah untuk sedikit menenangkan jangtungku yang dari tadi terus saja dag-dig-dug tak menentu.

Setelah semua berada diatas panggung, dan aku saat itu berposisi di barisan kedua, mulailah satu lagu ditembangkan. Formasi lagu pertama ini hanya melangkah ke kanan dan ke kiri saja. Namun formasi untuk lagu kedua yaitu lagu Sunda yang bertemakan kebahagian, ada gerakan yang harus meloncat-loncat kecil. Namun ya aku ikuti saja supaya terlihat kompak antara satu dengan yang lainnya.

Salahsatu lirik dari lagu tersebut adalah bagian “Seuri gumbira, hap hap hap hap jreeenggg” semua menyanyi sambil melompat-lompat. Tapi tiba-tiba barisan di belakangku menjerit dan berteriak teriak. Entah apa yang sedang terjadi, tapi adegan ini diluar dari bagian panampilan kami. Dengan setting lampu yang sedikit gelap, aku menoleh ke belakang ternyata ada sesuatu yang menggelinding di panggung dan itu sedikit besar dan hitam. Seisi panggung bergemuruh, loncat-loncat, teriak-teriak, bahkan ada yang menangis. Dasar bocah. Sedangkan penonton hanya tertawa. Ya tertawa bagaikan melihat lawak di acara tv swasta.
“Ibuuuuuu, ada tikuuusss, huuaaaaa tikuuussss huuaaaaaaa..”
“Mamaah aku takut…papaaa akuu takuut” kenapa tidak kau sebut saja semua keluargamu!
“Haaaaaaa haaaaa haaaa…” (jeritan anak-anak)
“huaaaaa huuuuaaaaa huuaaaaa…” (tangisan anak-anak)
Setelah panggung benar-benar kacau, ada salahsatu temanku Elan berteriak.
“Itu bukan tikuuus, tapi sanggulnya Zahra jatuuuhhh.”

Refleks aku langsung memegang kepalaku. Dan, benar sanggulku hilang lebih tepatnya jatuh dan membawa kekacauan. Seketika semua teman-teman (juga penonton) menatap kepadaku. Wajahku memerah persis seperti angry bird bahkan lebih merah dari itu. Lalu, “hahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha” seisi ruangan pengap itu tertawa terbahak-bahak, aku malu, aku ingin menangis, aku ingin kabur menggunakan pesawat tempur dan pergi menyendiri. Dan, aku memutuskan untuk berlari turun ke panggung.
MC menenangkan seisi panggung sampai sepi kembali. Untung saja panggungnya tidak roboh. Di belakang panggung aku hanya menangis dan terus menangis. Ibuku menenangkanku sambil tertawa terbahak-bahak pula. Katanya, “Pengalaman Ra, pasti akan selalu terkenang.”

Setelah kejadian itu, walau sempat libur semester selama dua minggu. Sepertinya teman-teman tidak lupa akan kejadian itu. Setiap orang yang melihatku pasti tertawa, bahkan ada yang mengejeku dengan sebutan “Si Kondeh” ya, konde itu nama lain dari sanggul. Tapi aku ingat pesan ibu bahwa hal itu adalah sebuah pengalaman dan pasti akan selalu terkenang, jangan pernah marah atau diambil hati. Aku bawa happy saja, mungkin teman-temanku terlalu mengapresiasiku, lantas semua itu pasti akan hilang sendiri bersama bergulirnya waktu. Sampai detik ini, aku menulis kisahku ini. Bahwa yang telah terjadi sepuluh tahun yang lalu adalah moment yang takan pernah terlupakan.

No comments: