Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

March 28, 2014

Jumatulis #2 Air Ketuban - Bu, Judulnya Apa??



Bandung, 16 September 1995

Aku duduk di bawah sinar surya di pagi yang segar ini
Kulihat pohon rindang yang daun-daunnya ingin menyentuh tubuhku ini
Tubuh yang merasakan tendangan-tendangan nikmat
Dari benih yang telah kami tanam
Jabang bayi ini adalah dirimu, anakku

Selama sembilan bulan ini kita berada dalam satu hembusan nafas
Disini Ibu sedih, di dalam sana kau ikut resah
Disini Ibumu bahagia, di dalam sana kau mendapat ketenangan
Sampai suatu saat dimana ragamu
Siap hadir di dunia
Siap membuka mata
Untuk melihat keindahan alam semesta

Selama sembilan bulan kau berlindung dibalik rahim yang kokoh
Dimana rahim Ibumu ini menjadi satu-satunya tempat teraman bagimu
Ditemani air ketuban yang menjadi sumber nutrien
Sebelum mendapat nutrisi yang nyata dari Ibumu ini

Disini, adanya air ketuban ini, kau bebas bergerak anakku
Setiap tengah malam, Ibu merasakan tendanganmu
Bahkan saat ini Ibu sedang merasakannya
Tapi Ibu tidak marah nak, Ibu bahagia karena kau sehat di dalam sana
Sampai suatu saat nanti, mungkin sebentar lagi
Ibu akan menjadi wanita seutuhnya
Ibu siap mempertaruhkan nyawa demi dirimu, anakku….
……………….

“Ibuuuu, lagi apa????!!!!” Teriakan Ayah yang berdiri di pintu kamar.
Lagi nulis puisi, yah.” Jawab Ibu dengan tenangnya
Bu! Basaaah! Air ketubanmu pecah!!!” Ayah segera menghampiri Ibu yang sedang duduk asyik menulis puisi di kursi malasnya.
“Allahu Akbar! Ayaaahhh!!! Ayo ke rumah sakit. Ibu mau melahirkan!!!” Teriak Ibu yang baru terbangun dari alam bawah sadar.
Baru sadar Bu? Ayo!”
|||||
Dengan segala kepanikan, Ayah menggendong Ibu yang sudah basah kuyup karena air ketuban, lalu membawa Ibu ke rumah sakit”
Hihi, kisah Ibu lucu sekali.”
“Kamu menertawakan Ibu? Itu kisah tentang kelahiran kamu looh.”
“Ya habisnya, disaat-saat seperti itu masih sempatnya Ibu membuat puisi.”
Saat itu kamu lahir lima hari sebelum waktu yang diperkirakan. Mungkin puisi itu telah merangsangmu untuk keluar lebih awal. Istilahnya kamu mendapat kode dari puisi itu bahwa Ibu sudah siap kedatangan malaikat mungil sepertimu.”
Ah Ibu ini. Bisa saja. Hehehehe. Tapi puisinya bagus banget bu. Rara jadi makin saaaayaaaang sama Ibu.”

Aku memeluk Ibu sangat erat. Ibu yang telah bersusah payah, bertaruh nyawa, berkorban segalanya demi anak yang dicintainya. Aku akan selalu membahagiakanmu Bu. Selalu.
Oh iya Bu, judul puisinya apa?”
Ibu memandang ke arahku, sorotan matanya begitu tajam menatapku sambil berkata “KETUBAN PECAH”
“??!!!%$*#&*%&#*##!!”

March 26, 2014

Kematian Yang Indah



Aku kehilangan satu sosok yang begitu penyayang. Sosok yang tidak pernah ada habisnya cerewet padaku. Sosok yang selalu mengingatkanku saat aku terjerembab dalam kekhilafan. Aku menyayanginya layaknya saudaraku sendiri. Aku mencintainya karena ia selalu membawaku pada jalan kebenaran. Ia cantik, berhijab, taat, cerdas dan tak ada satupun yang tidak bangga padanya. Pada sahabatku tercinta Fahira Azzahra.

Saat itu senja mulai menampakan dirinya dibalik langit yang mulai gelap kehilangan sinar sang surya. Aku duduk diantara hembusan angin senja di sebuah taman kota. Aku masih kesal padanya, pada Fahira. Aku tahu bahwa tindakanku di kampus tadi memang salah. Tapi aku tidak suka dengan caranya yang terlalu membesar-besarkan masalah. Hanya karena aku bergosip tentang orang yang tidak aku suka saat mata kuliah berlangsung, Fahira langsung marah. Katanya, “Kalau kamu seperti itu, semua pelajaran tidak akan menyerap. Kedengkianmu pada seseorang jangan terlalu dibesarkan. Kamu akan merasa rugi nantinya. Sudahlah jangan bergosip saja. Itu malah menambah dosa untukmu!” Fahira langsung memalingkan wajahnya dariku. Aku tak bisa menyangkal. Tapi hatiku jadi kesal.

Aku masih menikmati indahnya pemandangan senja.  Kini burung camar mulai beterbangan kesana kemari mungkin karena sebentar lagi akan gelap. Akupun memutuskan untuk pulang. Aku rasa tadi cuaca sangat cerah, tapi tiba-tiba terdengar gemuruh suara guntur ditemani dengan sebitan-sebitan kilat. Sepertinya akan hujan. Aku segera mempercepat langkah kaki agar aku tidak sampai kehujanan di jalan. Tapi belum setengah jalan aku dapatkan, hujan deras mulai turun bergerombolan. Aku berlari karena kebetulan tidak ada tempat berteduh di sepanjang jalan. Kudapati seluruh tubuhku basah kuyup, kedinginan.

Sesampai di rumah aku segera membenahi diri agar tidak masuk angin. Aku menaiki anak tangga kelima namun terdengar suara parau memanggilku di bawah sana. “Anisa! Dari mana saja kamu?” Ya, itu kakakku. Denar namanya. Dia sedikit galak, jutek dan menyebalkan. Aku harap dia cepat menikah agar tidak lagi mencampuri urusanku. “Dari taman kak.” Jawabku ketus padanya. “Tadi Fahira kesini. Dia basah kuyup kehujanan. Katanya menghubungimu tapi tidak dijawab terus. Kalian kenapa?” Benar kan, dia selalu mau tahu semua urusanku. Mungkin karena aku dan Fahira sudah sangat dekat jadi sangat diherankan jika kami berdua seperti ini. Aku tidak menjawab pertanyaan kakakku itu. Aku melanjutkan langkah kakiku. Namun, “Fahira sakit. Dia dibawa ke rumah sakit. Hujan deras itu membuat sakitnya makin parah.” DEG! Langkahku terhenti. Fahira sakit? Dia tidak pernah bicara padaku. Aku membalikan tubuhku yang masih basah kuyup itu. “Fahira sakit apa??” Dengan nada sinis kakakku menjawabnya, “Ternyata masih peduli juga. Tadi malah diam saja.” Ahhh sudahlah jangan memunculkan kemarahanku, aku geram saat itu. Kakakku melanjutkan ceritanya, “Sepulang kuliah dia meneleponku. Katanya kamu marah padanya. Dia ingin minta maaf tapi kamu tak menjawab teleponnya. Jadi dia datang kesini untuk memastikan kamu tidak apa-apa. Tapi sampai disini dia kehujanan beberapa menit kemudian dia pingsan. Aku mengantarkannya ke rumah sakit.” Penjelasan yang cukup membuat batinku sakit. Bukan karena ada yang menyakitiku, tapi karena aku yang menyakiti sahabatku sendiri. “Antarkan aku kesana Kak!” Aku langsung turun kembali dan menghampiri kakakku. “Mau apa kamu kesana? Mau ikutan sakit juga? Kamu ini lihat, basah kuyup! Cepat ganti dulu pakaianmu!” kakakku terlihat marah saat itu. Ternyata dia masih peduli padaku.

Setelah aku selesai, aku segera bergegas menemui kakakku. Aku memaksanya untuk mengantarku segera ke rumah sakit. “Nis lihat, di luar hujan sangat deras. Apa kita tidak bisa besok saja ke rumah sakitnya?” Aku tidak bisa mengelak jika kakakku sudah menolak. Aku tahu adatnya, jika sudah bicara seperti itu ya sudah begitu. Tidak bisa diganggu gugat. Akhirnya aku hanya butuh kesabaran untuk menunggu besok. Aku ingin menghubungi Fahira tapi aku takut mengganggunya. Aku hanya bisa mendo’akanmu, Fahira. Maafkan aku.

Pagi ini terasa dingin. Mungkin sisa-sisa hujan kemarin mengakibatkan munculnya kabut yang sedikit tebal di sepanjang jalan. Aku dan kakakku segera pergi ke rumah sakit yang kebetulan hari itu adalah hari minggu. Ku rasakan aroma pagi yang sudah tidak segar lagi karena terkontaminasi polusi. Namun tidak begitu parah, mungkin hujan kemarin sedikit meleburkan polusinya. Selain itu, sarapanku pagi ini adalah seuntai kemacetan panjang dibarengi bisingnya klakson-klakson kendaraan. Aku tidak habis pikir, mengapa selalu saja ada hambatan di saat aku sedang ada urusan. Kuhabiskan waktuku dua jam di perjalanan.

Kini laju mobil terhenti. Aku melihat sebuah gedung putih yang di sekitarnya banyak orang-orang berlalu lalang. Aku melihat seorang bapak membopong wanita hamil masuk ke dalam gedung itu, wajahnya pucat penuh dengan kekhawatiran. Sekilas, orang-orang mendorong ranjang beroda yang diatasnya tergeletak pemuda dengan darah di kepalanya. Aku sudah sampai di tempat orang-orang datang untuk menyelamatkan kehidupan. Walau selalu saja ada yang gagal karena ajalnya memang sudah datang. “Ayo turun, kita sudah sampai.” Aku segera turun dan masuk ke dalam rumah sakit.

Tepat di depan mataku, “Ruang 1. Kemboja” adalah kamar tempat Fahira dirawat. Saat aku membuka pintu, terdengar lantunan yang sangat indah, kudengarkan lantunan itu yang bisa membuat hatiku menjadi tenang, pikiran gundahku menghilang dan hatiku jadi bergetar. Fahira sedang mengaji. Aku coba untuk tidak mengganggunya, aku tutup kembali pintunya. Namun, “Masuk Nis. Mengapa menutup lagi pintunya?” Ternyata Fahira tahu aku datang. Aku langsung masuk dan berlari kecil menghampirinya lalu segera memeluknya. “Ra, maafkan aku.” Air mata ini tak dapat dibendung lagi. Aku menangis didepan tubuh lemah Fahira. Kulihat masih didekapnya Al-Qur’an kecil yang selalu ia bawa kemana-mana. Aku mengagumimu, Fahira.

Hening. Suasana ruangan ini menjadi hening. Tubuhku kaku, lidahku kelu. Aku harus bagaimana? Aku masih tidak percaya seorang Fahira, sosok yang luar biasa, ceria, dan selalu telihat sehat sekarang sedang terbaring lemas tak berdaya. “Kamu sakit apa?” Aku mengawali pembicaraan untuk memecah keheningan. “Hanya masuk angin Nis. Hehe.” Senyuman itu terlihat palsu. Aku melihat ia merasakan sakit di balik senyumannya. “Memangnya aku anak ingusan yang bisa kamu bohongi Ra! Masuk angin sampai dirawat begini. Minta kerokin ke Bi Ijah aja langsung sembuh kali.” Mendengar ucapanku itu Fahira hanya tertawa kecil. “Kamu memang anak ingusan Nis. Sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit cemberut. Sekalinya marah malah ngilang, tidak menjawab telepon. Kan aku khawatir.” Fahira memelukku dan membuatku ingin menangis. Lagi. “Maafkan aku Ra. Maafkan aku.” Suasana menjadi hening kembali. Ruangan ini kini dibalut suara tangisan haru penyesalan seorang sahabat kepada sahabatnya.

Fahira menengok kearah jendela ruangan. Ia berjalan menuju jendela itu. Dengan hati-hati ia bangkit dan membawa alat infusan yang masih menempel di lengan kanannya. “Cerah ya Nis. Ayo kita ke Taman jalan-jalan. Aku bosan seharian disini.” Fahira melangkahkan kakinya menuju arah pintu. Tubuhnya yang lemas itu sangat memaksakan. “Ra kamu kan sakit. Aku tidak mau!” Tapi Fahira mengacuhkanku. “Kamu pasti mengikutiku.” Lalu Fahira keluar dan menutup kembali pintunya. Sosoknya kabur dari pandanganku dan aku segera menyusulnya. “Aku pastikan kamu tidak akan sendiri.” Aku menggandeng tangannya dan memegang alat infusnya. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan ibunya Fahira. Awalnya beliau marah namun Fahira merengek akhirnya kami bisa sampai di taman seberang rumah sakit ini.

Kami duduk di kursi taman tepat menghadap ke arah kolam dengan air mancurnya. Air mancur itu sangat indah, menari-nari menghibur siapapun yang melihatnya. Memanjakan mata siapapun yang dapat menghilangkan penat. Tiba-tiba, “Kanker Otak. Bukankah itu menyakitkan?!” Kata Fahira menatap ke langit yang biru. “Maksudmu?” Aku tidak dapat mencerna ucapannya itu. “Bukankah kamu ingin tahu penyakitku?” Fahira melirik dan memandangku. Aku tak bisa berkata-kata, hanya linangan air mata yang tidak ingin aku keluarkan di depan Fahira. Namun aku tak dapat membendungnya. Mendengar ucapan Fahira, tentang penyakitnya, penyakit yang bagiku mematikan, aku tak bisa menyembunyikan air mata ini. “Jangan nangis Nis! Aku tidak ingin melihatmu lemah dengan keadaanku.” Fahira mengusap air mataku. Aku masih terisak-isak tak dapat berkata sepatah pun. Aku memeluk Fahira dan kini kurasakan tubuhnya kaku dan dingin. “Kamu dingin Ra. Ayo kita masuk lagi ke dalam.” Namun ia menghiraukanku. Lagi. “Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat keindahhan ini untuk terakhir kalinya.” Mendengar ucapannya itu aku tercenga, aku marah padanya, “Ra, kamu ngomong apa sih?! Ayo masuk!” Namun tetap saja ia diam dan pandangannya kosong menatap langit. Baiklah, aku akan menemanimu disini, sahabatku.

Setelah sekian lama aku menemaninya. Langit mulai nampak gelap, gemuruh guntur mulai terdengar siur-siur. Aku melihat ke arah gedung rumah sakit yang jalanannya hampir tertutupi kabut. Sepertinya akan hujan. Dari seberang, samar-samar aku melihat ibunda Fahira memanggil kami. Aku segera bergegas dan mengapa Fahira masih berdiam diri saja? Aku mengajaknya untuk segera masuk ke dalam. “Ra, hampir gelap sepertinya akan hujan. Ayo kita masuk.” Fahira hanya melirikku dan berkata, “Aku ingin merasakan aroma hujan untuk terakhir kalinya Nis.” Lagi-lagi dia bilang begitu. Tapi kali ini aku memaksanya untuk bangkit dari kursi. Namun, tubuhnya lemas sekali. aku memapahnya untuk berjalan. Tiba-tiba gerimis mulai membasahi tubuh kami. Fahira tersenyum. Kami terus berjalan.

Namun gerimis itu mengundang banyak temannya yang lain dan menjadi gerombolan hujan yang begitu amat deras. Aku terus berjalan dan mengapa kabut tebal semakin menutupi jalanan. Aku tak dapat melihat jelas, aku mencoba menyeberangi jalan dan memapah Fahira yang sangat kedinginan. Mungkin saat itu aku berada di tengah jalan, aku melirik ke arah kanan samar-samar terlihat sebuah cahaya terang ditengah tebalnya kabut jalanan. Sesaat, terdengar suara klakson yang sangat memekakan. Tanpa sadar, sebuah mobil menabrak kami yang sedang menyeberang. Aku merasakan hantaman yang begitu keras dan mana Fahira? Ia menghilang dari sampingku. Aku lihat mobil itu pergi tanpa sebentarpun turun atau membantu. Hujan yang deras serta kabut tebal membuyarkan penglihatanku. Aku terjatuh. Aku mendengar jeritan-jeritan di seberang sana. Fahira, mana Fahira?! Aku terus meraba-raba sekitarnya. Akhirnya, aku mendapati Fahira yang tergeletak disamping kiri jalan. Darah, darah apa ini?! Kerudung putih Fahira seketika menjadi merah pekat. Kepala Fahira! Aku memeluknya, aliran darah terus mengalir dari kepalanya bersama derasnya hujan. Hangat, kental, merah pekat, namun wangi apa ini? Aku memeluk Fahira lagi, aku mencium wangi itu dari kepalanya, dari aliran darahnya. “Fahiraaaaaaaaaaa!!!”

Aku membuka mata dan kulihat aku telah dikelilingi oleh keluargaku. Ayah, Ibu, Kak Denar semuanya ada disini. Aku bangun dan “Mana Fahiraa?!” aku mendapati tubuhku dipenuhi perban, ditanganku menempel selang infusan. Kakiku, kakiku kaku tak dapat digerakkan. Aku menjerit ketakutan. “Sayang, tenang, kamu tidak apa-apa, kakimu akan pulih. Jangan dulu banyak bergerak.” Ibuku menangis sembari memelukku dengan erat. “Fahira mana bu, Fahira mana?!” semuanya hanya diam dalam tangis. Kak Denar, dia sosok yang begitu keras dan tegas, diapun menangis. Ada apa ini?!!

Dari arah pintu, ada seseorang mengetuk dan masuk. Sosok perempuan, tegar, letih, mata yang sembab menghampiriku dan memelukku. Ibunda Fahira. Beliau menangis, beliau menciumiku dan berkata “Anisa, Fahira ingin bertemu denganmu. Ia menunggumu.” Aku segera bangkit dan langsung meminta untuk mengantarkanku ke ruangannya. Dengan kursi roda aku dibawa ke ruang UGD. Fahira ada di ruangan itu?

Dibalik pintu aku melihat tubuh terbaring kaku. Alat-alat rumah sakit menempel di seluruh tubuhnya. Mulut dan hidungnya ditutupi alat opname, ditangan kanan dan kirinya terpasang selang infusan. Fahira, sesakit itukah yang sekarang kamu rasakan? Aku tak kuasa melihatnya. Jilbab putih masih terpasang dikepalanya. Aku mendekatinya. Aku yang masih duduk di kursi roda meminta untuk berdiri, aku ingin memeluk sahabatku ini. Jika bisa, pindahkan saja rasa sakit yang Fahira derita kepadaku. Aku tak kuasa melihat sahabat terbaikku merasakannya, merasakan sakit yang begitu amat pedih.

Mata Fahira terbuka, dalam bungkaman alat opname ia mencoba bicara. Suaranya terdengar parau, berat, dan terbata-bata. “A-ni-sa.” Ia memanggilku dan menggenggam tanganku. “Iya Ra? Kamu yang kuat ya. Kamu pasti sembuh. Kamu pasti sembuh…” Aku tak dapat menahan air mata ini, membasahi tangan Fahira, lalu dengan lemas ia mencoba mengusap air mataku. Fahira terus memaksakan diri untuk berbicara. “Kamu jangan menangis. Jika sekarang aku pulang, kamu harus tetap ceria ya. Ingat, jangan bergosip lagi saat belajar! Aku tidak suka. Jika kamu merasa sendiri, bacakan surah Al-Fatihah dan Yaasiin untukku maka aku akan berada didekatmu. Aku meminta sakitku hilang, aku sudah tak kuasa menahan sakit ini. Aku sudah dipanggil Allah untuk pulang Nis. Jaga dirimu baik-baik ya. Aku menyayangimu, sahabat terbaikku…. Laa ilaaha illallah…” Masih ku genggam tangannya. Nafasnya berhenti. Matanya menutup kembali. Hening, sangat hening. Namun, keheningan itu terpecahkan oleh suara jeritan dan tangisan sang Ibunda. Aku masih terdiam dan memandangi sosok Fahira. Aku melihat senyuman indah terukir di bibirnya. Dia tersenyum. Aku memeluknya dan kini aku tak bisa membendung segala duka. Aku menangis. Sahabatku pulang dengan senyuman. Sahabat terbaikku menyisakan banyak kenangan. Aku tahu, senyuman itu menandakan bahwa ia pulang dengan tenang. Akupun menyayangimu, Fahira, sahabat terbaikku.

Keesokan harinya, aku mengantarkan jenazah Fahira ke tempat peristirahatan terakhirnya. Suasananya tenang. Angin sepoi menemani proses pemakaman. Aku mencium aroma yang begitu segar. Wangi, sangat wangi. Kini, aku kehilangan sosok yang sangat cinta pada Dzat yang telah memanggilnya untuk pulang. Sosok yang telah menyadarkanku dari keterpurukan. Sosok yang selalu mengingatkan dan mengajakku pada kebaikan. Kenangan terakhirku bersamanya adalah melihat keindahan alam dan merasakan aroma hujan. Aku pergi meninggalkan tubuh yang kini terkubur tanah. Aku yakin, kamu tidak akan merasa sendirian Ra, kebaikanmu akan selalu menemanimu. Cahaya terang akan selalu menghangatkanmu, selalu ada disisimu. Seperti saat kamu masih bersamaku, menerangi kehidupanku.

Tidak akan pernah ada yang tahu tentang kematian. Seperti yang pernah Fahira katakan saat pertama kali ia membuatku sadar akan kehidupan. “Jangan pernah menunda-nunda untuk melakukan kebaikan, jangan menunda untuk bertaubat. Karena Malaikat tidak akan pernah menunda-nunda untuk mencabut nyawa kita. Oh iya Anisa, kamu cantik deh. Tapi, lebih cantik lagi kalau kamu pakai jilbab. Soalnya, bukan hidayah yang menunggu kita berubah, tapi ubahlah dulu diri kita maka hidayah akan menghampiri kita.”
“Mengapa kamu begitu peduli padaku Ra?” Dengan tenang ia menjawab, “Karena, nanti, aku ingin bertemu lagi denganmu di Surga-Nya.”

Terima kasih sahabatku, Fahira Azzahra. Semoga kita dipertemukan lagi di Surga.

Oh! Trotoar



Aku berjalan menelusuri setiap pedagang yang berceceran di pinggir jalan trotoar. Masih banyak pedagang kaki lima yang tidak mematuhi peraturan pemerintah kota Bandung. Itu adalah pedagang yang sudah pernah ditertibkan, belum lagi pedagang yang belum kena razia. Sepertinya akan lebih banyak lagi dari yang sekarang ini. Entahlah. Kata pemerintah, “Mereka (para pedagang kaki lima) hanya mementingkan pribadinya saja tanpa memikirkan nasib sekitarnya. Berjualan di trotoar sangat mengganggu pejalan kaki dan semestinya trotoar bukan tempat untuk berjualan.” Namun disisi lain para pedagang juga berkata demikian, “Mereka (Pemerintah) hanya mementingkan pribadinya saja, tanpa memikirkan nasib masyarakat kecil. Memang, pemerintah menyediakan tempat untuk kami berjualan tapi harga sewanya itu loh. Besar pasak daripada tiang jadinya. Jika kami tidak dagang seperti ini, kami, keluarga kami, mereka mau makan apa?!” Hmmm makan apa yaaaa, ayooo makan apa cobaa??!!!

Bisa dibilang dilema stadium empat jika terus memikirkan masalah seperti ini. Disatu sisi pemerintah yang benar, tapi disisi lain pemerintah juga ada salahnya. Begitupun sebaliknya, disatu sisi masyarakat benar, tapi disisi lain mereka juga salah. Harusnya, pemerintah dan masyarakat itu saling melengkapi. Harusnya. Tapi ya bagaimana lagi, saat saat kampanye saja para calon pejabat beramai-ramai memperebutkan hati rakyat, turun kelapangan dengan memberi banyak bantuan. Tetapi setelah berhasil menduduki jabatan, rasanya masyarakat dilupakan. Hanya uang dan kekuasaan saja yang mungkin mereka pikirkan. Tapi tidak semua, tidak semua.

Aku melihat banyak sekali yang belanja di tempat pedagang kaki lima diseberang jalan. Aku coba teliti dari kejauhan ternyata barang dagangan yang mereka jajakkan adalah perlengkapan belajar dan juga alat-alat kantoran. Di atas dagangannya tertulis “Discount up to 75%” sudah seperti di toko-toko besar saja gayanya itu. Ya, pada saat itu adalah musim pergantian tahun pelajaran. Pantas saja banyak orang-orang berburu barang yang demikian. Murah. Namun belum tentu kualitasnya bagus atau tidak tapi mereka tidak peduli yang penting diskon. Sangat jelas sekali bahwa pada dasarnya masyarakat disini memang modis alias modal diskon.

Saat itu jalanan sangat penuh. Kemacetan yang panjang ditemani ritme klakson motor dan klakson para penghuni mobil mewah yang tak sabaran, menemani perjalanku di siang yang sangat gundah ini. Sudah tahu macet, masih saja saling melempar suara klakson yang memekakan telinga ini. Dikira sedang ada perlombaan bunyi klakson kali ya. Klakson siapa yang bunyinya paling indah, maka itulah pemenangnya. Ahh memang pada dasarnya mereka tidak sabaran.

Aku terus menelusuri jalan. Aku tidak tahu kemana aku akan pergi. Kucoba terus berjalan hingga kutemukan apa penyebab kemacetan panjang ini. Banyak orang yang berkerumun disana, di dekat trotoar yang hampir memenuhi sebagian jalanan. Aku kira sedang ada promosi barang atau yang lainnya. Tapi ternyata, sebuah kecelakan terjadi disana. Anak kecil tertabrak oleh pengendara motor. Bukan hanya satu, tapi tiga orang sekaligus. Katanya, anak kecil itu sedang asik memilih barang yang dijajakkan di trotoar, karena saking penuhnya anak itu terhempas dari trotoar dan terlempar ke jalanan yang saat itu ada motor sedang melaju kencang. Segeralah di rem oleh sang pengendara motor namun tidak berhasil terselamatkan, anak itu terhempas keras dan motor itupun terlempar mengenai dua orang pembeli yang sedang berada di pinggir jalan. Alhasil, tiga orang menjadi korban.

Karena kecelakaan tersebut, mengakibatkan para pengendara motor dan mobil semakin tidak sabaran. Apa aku harus mengulangi pernyataanku barusan? Sudah tahu macet, masih saja berlomba-lomba menyalakan klakson yang nyaringnya keterlaluan. Kali ini aku hampir kalap. Aku tidak bisa keluar dari kerumunan dan kemacetan. Kini, trotoarpun penuh bukan hanya oleh pedagang saja tetapi juga terisi oleh para pengendara motor. Kalau sudah begini, aku pulang lewat mana? Jangankan untuk berjalan, melangkahkan kaki saja sulit minta ampun karena saking berdesakannya dijalan.

Aku coba menyisir sedikit demi sedikit ke pinggiran trotoar yang mungkin aku bisa sejenak diam untuk menenangkan kepenatan pikiran dan keadaan yang tidak enak dipandang. Akhirnya aku bisa bersandar pada salahsatu tembok di trotoar tersebut. Kupandangi seisi jalan yang masih saja macet bukan kepalang. Panas terik, asap kendaraan dan kebisingan para penghuni jalanan masih menghiasi kota kembang ini. Aku sedikit menghela nafas, ku rasakan udara yang aku hirup bukanlah oxygen sang udara segar, melainkan polusi-polusi yang kini marak bertebaran. Aku lupa tidak memakai masker, aku batuk-batuk bukan main. Lalu tiba-tiba ada yang menyodorkanku minuman botol yang kelihatannya dingin dan segar. “Panas ya mbak? Coba minum teh ini deh. Terbukti menyegarkan dan bisa membuat pikiran menjadi tenang.” Seketika aku memandang sosok yang begitu perhatiaan kepadaku. Aku melihat sosok itu sangat tampan, wajahnya tegas, senyumnya menawan. Ahhh rasanya semua kepenatan ini hilang. Aku gugup, sangat gugup. “Ehh iya. Terima kasih mas.” Aku terima pemberian dari lelaki itu karena aku memang sangat kehausan. “Macetnya tidak kunjung usai ya mbak. Gimana, tehnya segar?” Mungkin aku terlau kepanasan dan kehausan sehingga teh di botol itu langsung habis dalam tiga kali tegukkan. “Emm segar sekali mas. Hausnya jadi hilang.” Lelaki itu tersenyum mendengar ucapanku, katanya “Syukurlah kalau begitu. Tak apa mbak, kali ini minuman itu saya jadikan sample jadi gratis gak usah bayar. Tapi jika mbak mau pesan silahkan datang saja ke tempat kami di trotoar sebelah sana.” Lelaki itu menunjukan tempatnya dia berjualan. GLEK! Aku menelan sisa tegukkan teh itu. Ternyata dia seorang pedagang kaki lima dan aku kira, dia perhatian padaku memberi minuman yang pas disaat panas menyengat ini. Tapi ternyata hanya sekedar promosi untuk menarik perhatian. Ya, untuk menarik perhatian pelanggan bukan menarik perhatianku. Ahhh dasar ke-GR-an!

Akhirnya jalanan kini mulai lancar setelah beberapa waktu yang lalu polisi datang mengamankan. Aku terus menelusuri jalan dan tidak tahu kemana lagi kaki ini akan melangkah. Mungkin di depan nanti akan kutemukan kejadian yang lebih bisa aku ambil hikmahnya. Yang bisa aku renungi segala peristiwanya. Aku berhati-hati melewati trotoar yang masih penuh dengan para pelaku ekonomi itu. Aku harus pintar pintar menemukan celah untuk berjalan agar tidak terlempar ke tengah jalan. Jika sampai aku terlempar, aku takut menjadi penyebab kemacetan yang bisa mengakibatkan perlombaan ritme klakson yang suaranya indah, nyaring, dan “menawan” itu. Lagi. Hmm trotoar, trotoar, kini fungsimu bukan hanya untuk para pejalan tapi juga sebagai tempat para pencari kenestapaan.