Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

March 03, 2014

Ketika Fajar Tenggelam


Ketika waktu sudah kita rasakan selalu berjalan begitu cepat, itu tandanya Rahmat Allah SWT sudah mulai berkurang. Dari terbit fajar hingga ia tenggelam lagi rasanya aku belum melakukan banyak hal yang bermanfaat. Dalam satu hari saja. Bukankah jika Rahmat Allah SWT berkurang, seharusnya kita lebih bisa memanfaatkan waktu untuk berbuat kebaikan?

Suatu sore ketika Sang Fajar mulai beralih ke bumi bagian barat di sebuah lapangan di daerah Cimahi Selatan, kulihat ada seorang lelaki paruh baya menatap kearah Fajar itu. Beliau menangis, dan menyungkur di tanah. Aku heran melihatnya. Aku mengira lelaki paruh baya itu seperti sedang bersujud-sujud pada matahari senja. Tapi dugaanku salah, kudekati lelaki paruh baya itu dan kudengar dia mengucapkan lantunan Ayat Al-Quran yakni Surah Ar-Rahman yang arti dari ayatnya adalah “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” seketika beliau menangis lagi. Semakin fajar tenggelam, semakin deras pula beliau menangis.

Aku pergi meninggalkan lelaki paruh baya itu. Adzan Maghrib berkumandang, tepat didepanku ada masjid dan aku shalat dulu di masjid itu. Seusai shalat aku melihat lagi lelaki paruh baya itu. Beliau sedang berdo’a dengan sangat khusuk. Kulihat beliau menangis lagi. Aku masih belum ingin pulang, aku ingin mengobrol dulu dengan beliau. Aku menunggunya sampai beliau selesai.

Satu jam aku menunggu, akhirnya beliau selesai dan keluar masjid. Aku segera menghampirinya.
“Assalamu’alaikum Pak.”
“Wa’alakumussalam, iya ada apa Neng?” jawabnya dengan suara yang sangat halus.
“Saya melihat bapak menangis didepan Fajar tadi sore.” Aku bingung harus bertanya seperti apa. Namun bapak itu tersenyum dan memulai suatu pembicaraan yang bagiku sangat istimewa.
“Sini, sini, duduk dulu.” Aku dan Bapak itu duduk disamping teras mesjid. “Usia neng sekarang berapa tahun?”
“17 pak.”
“Wah 17 ya. Usia peralihan. Dimana anak-anak bermetamorfosis menjadi remaja.” Sejenak bapak itu diam dan memandang kearah langit yang tidak begitu banyak ditaburi bintang. Beliau melanjutkan lagi pembicaraannya. “Sudahkah Neng mengisi hari-hari dengan kegitan yang bermanfaat? Satu hari saja. Sudah baca Al-Quran hari ini? ” bapak itu menengok kearahku. Aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum malu.

“Seperti inilah kehidupan sekarang, Rahmat Allah SWT mulai berkurang tapi jarang ada yang menyadarinya. Saat Bapak melihat fajar terbit, bapak tidak ingin ia cepat terbenam. Mengapa? Karena bapak belum banyak melakukan kebaikan. Dan saat fajar tenggelam, bapak sedih ketika bapak belum banyak menanamkan pahala kebaikan dihari itu. Bapak memohon ampun kepada Allah SWT, dan bapak meminta agar bapak diberikan waktu lagi untuk lebih bisa memanfaatkan waktu.” Aku hanya menunduk, mendengar ucapannya membuatku ingin menangis.

“Hari ini kita gunakan untuk apa mata kita? Melihat yang baik atau yang burukkah? Kaki kita, tangan kita, dipergunakan untuk apa? Kesempurnaan yang Allah berikan bukan untuk jadi pajangan bahkan tidak untuk dipamerkan, tapi manfaatkanlah untuk menanam kebaikan.” Aku semakin ingin menangis, aku masih belum bisa berkata apa-apa. Batin ini semakin menjerit karena aku belum bisa memanfaatkan waktu yang begitu singkat.

“Mumpung Neng masih muda, segeralah perbanyak pahala kebaikan. Allah SWT sudah memberikan banyak kepada kita, apa yang kurang? Tidak ada bukan? Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Jika kita bersyukur, semua akan terasa mudah dan indah. Pahala itu banyak dan mudah jika kita mau mencarinya. Mari neng, bapak tinggal dulu.” Bapak itu pergi. Pergi meninggalkan sebuah nasihat super kepadaku. Aku tidak bisa berkata apapun. Aku merasa belum memanfaatkan waktu yang selama ini hidupku hanya mengalir saja bagaikan air.

Beberapa menit setelah itu, ada pemuda yang datang menghampiriku. Dia nampaknya berusia lebih tua dariku. “Anda beruntung.” Aku bingung dengan ucapan pemuda itu.
“Maksudnya kak?”
“Tidak banyak yang bisa bicara bahkan diberi wejangan oleh Ahli Ibadah tadi. Dan Anda termasuk orang yang beruntung.”
“Beliau ahli ibadah?” aku tertegun mendengar ucapan pemuda itu.
“Tentu. Tak pernah beliau menasihati seperti demikian kecuali dalam acara kajian umum.” Pemuda itu berbicara sambil memakai sepatu dan nampaknya akan pergi juga. “Mari, saya duluan.”
“Iya kak, silahkan.”

Akupun pergi untuk pulang dari mesjid itu. Membawa sejuta nasihat super dari Sang Ahli Ibadah itu. Hatiku mulai membatin. Seorang Ahli Ibadah dengan Sejuta, bahkan tak terhingga atas kebaikan yang beliau lakukan, atas pahala kebaikan yang beliau tanam, merasa tidak ada apa-apanya saat fajar tenggelam, merasa belum sempurna dalam menanamkan kebaikan. Menangis dengan hebat memohon ampun atas segala kesalahan -bahkan orang menilai beliau tidak pernah melakukan kesalahan- yang beliau lakukan. Subhanallah!
Sedangkan aku, aku yang hidup hanya mengikuti waktu. Aku yang hidup dari terbit fajar sampai ia tenggelam lagi tidak menangisi dan memperbaiki kesalahanku. Tidak memanfaatkan waktu yang saat ini mulai bergulir cepat. Sungguh merasa ruginya diriku. Semua yang Allah berikan belum bisa aku manfaatkan. Banyak nikmat Allah yang aku dustakan. Aku tidak mau saat bertambah usiaku, semakin bertambah pula dosaku. Naudzubillahimindzalik.

Hari ini aku pulang membawa sebuah pelajaran tentang begitu singkatnya waktu. Mungkin memang benar, aku adalah orang yang beruntung bisa bertemu dengan Bapak Ahli Ibadah itu. Mulai sekarang, akan kucoba perbaiki semua kesalahanku, akan aku manfaatkan dengan baik semua nikmat yang Allah berikan padaku. Sehingga, ketika Sang Fajar terbit setidaknya mulai saat itu aku bisa menanam kebaikan, memperbaiki kesalahan dan mensyukuri atas semua kenikmatan yang Allah SWT berikan sampai Sang Fajar kembali terbenam. Semoga esok aku masih bisa melihat terbit dan terbenamnya Fajar.

Sabtu, 01 Maret 2014


No comments: