Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

March 21, 2014

Jumatulis #1 Pispot - Pispot Cantik Untuk Paman


Dari sejak kecil aku sering menonton film-film yang berbau kartun. Apapun filmnya, aku tidak mau melewatkan jika itu adalah film kartun. Apalagi kartun yang menceritakan kisah tentang cerita negeri dongeng. Tentang Cinderella dan sepatu kacanya, Beauty and the beast, Ariel si putri duyung, snow white dan lain sebagainya yang mungkin jika kalian bertanya tentang film kartun aku pasti bisa menjawabnya. Satu lagi, kartun yang paling aku favoritkan adalah kisah Aladin dan karpet terbangnya. Atau versi lain yang berjudul Aladin dan lampu ajaibnya. Aku sering berkhayal jika menonton film itu. Lampu ajaib yang apabila diusap-usap tiga kali maka akan keluar semacam jin, memberi tiga permintaan, dan mengabulkan tiga permintaan itu. Tapi, itu mustahil. Rasanya seperti ingin memeluk gunung, alias tidak mungkin. Karena, hanya satu tempat kita meminta yaitu hanya pada Allah SWT. Siip!

Bicara mengenai aku si penggila kartun, ada kisah yang sungguh membuatku tidak lupa hingga saat ini. Mungkin cartoon fever  itu telah masuk kedalam pikirannku melalui aliran darahku yang terekam dari penglihatanku. Atau mungkin imajinasiku terlalu tinggi sehingga aku bisa melakukan tindakan seperti itu.

Saat itu umurku masih enam tahun, sedang aktif-aktifnya berpolah tingkah. Otak kanan dan otak kiri sedang giat-giatnya mengsetting segala sesuatu yang terekam oleh panca indra yang bisa memperlihatkan keindahan alam semesta, sang jendela dunia, mata. Apapun yang terlihat olehnya, pasti segera disampaikan kepada sang otak dan segera diproses sehingga terjadi sebuah aksi, aksi kehidupan.

Aku sedang asyiknya menonton film Aladin di ruang tengah. Tiba-tiba Ibu langsung menarik tanganku, “Rara, ayo ikut Ibu nak.” Aku kaget bukan main. “Mau kemana bu? Tapi Aladinnya belum selesai buuu..” aku merengek kepada Ibu. “Nanti kita beli kasetnya ya, kita ke rumah sakit. Paman Aryo sakit.” Akhirnya aku melepaskan pandanganku dari film yang mungkin sudah aku tonton ratusan kali itu. Sepanjang jalan, aku hanya diam dan cemberut. “Benar ya bu, beliin kaset Aladinnya.” Ibu mengelus rambutku, “Iya sayang, pasti Ibu beliin.” Mendengar ucapan itu, senyumku datang kembali.

Tiba di rumah sakit, kami semua, aku Ayah dan Ibu langsung masuk ke ruangan dimana Pamanku dirawat. Pamanku yang usianya masih muda itu, duapuluh tiga tahun mengidap kanker tulang. Ia adalah pengganti orangtuaku ketika Ibu dan Ayah sibuk kesana kemari mencari nafkah untukku.  Saat aku masuk, kulihat pamanku terbaring kaku. Alat infuse yang terpasang pada tangan dan hidungnya bagaikan handphone yang sedang di charge oleh powerbank. Seketika, terbesit dipandanganku, tepat didepan mataku kutemukan sesuatu yang sangat aku idam-idamkan. Sesuatu yang rupanya hampir sama seperti lampu ajaib yang dimiliki Aladin. Diam-diam aku berjalan menuju bawah ranjang di ruangan itu. Ya, umur enam tahun itu masih belum banyak tahu kan. Aku ambil. Namun, ada sesuatu yang mengisinya, baunya sedikit tidak enak lalu aku angkat dan kuperlihatkan kepada Ibu, “Ibuuuu, lihat disini ada lampu ajaib Aladiinn. Rara bawa pulang ya buu..” Ibu langsung menghampiriku, “Rara Ya ampun. Itu pispot sayang, itu milik rumah sakit. Simpan lagi nak.” Ya, itu adalah pispot yang mungkin sudah terisi oleh air kencing Pamanku. Tapi aku tak terima, aku terus merengek ingin membawa pulang pispot itu. Saat itu. “Tapi Ibu Rara ingin punya bu, Rara ingin lampu ajaib ituu.” Ayahku menggeleng-geleng kepala, “Ini nih akibat Rara sering nonton kartun. Rara simpan lagi ya pispotnya, nanti dimarahin Susternya loh. Niih Suster marahin Rara nih.” Sang Suster hanya tersenyum kepadaku. “Sudah sudah, Paman lagi sakit Ra ya jangan berisik sayang. Nanti kan Ibu belikan kaset Aladinnya ya. Jangan nangis lagi.” Rayuan Ibu saat itu memang tidak terlalu menyembuhkanku, menyembuhkan keinginanku untuk memiliki pispot saat itu.

Aku diajak keluar oleh Suster karena mungkin aku membuat kegaduhan di ruangan itu. “Suster, kita mau kemana?” sang Suster tersenyum kepadaku, “Kita main, keliling rumah sakit. Akan aku tujukan sesuatu.” Suster yang masih muda belia itu lalu mengajakku ke satu ruangan dimana didalamnya penuh dengan lemari-lemari yang berisi susunan pispot. “Setidaknya Rara mendapat pispot baru. Kan yang tadi punya Pamannya Rara.” Waaahhh mataku berbinar-binar melihatnya. Lampu ajaib itu kini sangat banyak, mungkin jika aku usap semua maka ratusan jin akan keluar memberiku banyak keinginan dan mengabulkannya dalam sekejab. “Suster ini banyak sekali. Rara boleh minta satu? Rara mau ya Suster.” Lagi-lagi Suster itu hanya tersenyum. “Rara memangnya untuk apa? Ini pispot loh, pengganti toilet untuk orang-orang yang tidak bisa pipis ke toilet jadi pipisnya disini.” Penjelasan yang cukup jelas. “Pantesan ya tadi pispot milik Paman bau. Hehe. Rara mau bikin lampu ajaib Suster, kaya milik Aladin itu. Nanti kalau sudah jadi, Rara liatin deh ke Suster. Kan nanti Rara mau jenguk Paman lagi kesini. Ya Suster, bilangin ke Ibu atau ke Ayah Rara. Rara mau satu.” Dan kamipun pergi meninggalkan ruangan itu. Aku sangat bahagia karena akhirnya aku mendapatkan satu pispot itu. Tidak gratis, Ayahku sengaja membelikannya pada waktu itu. Karena mungkin tidak ingin melihatku membuat kegaduhan lagi di rumah sakit. Ayah hanya berkata, “Biarkan sajalah bu, mau Rara apakan pispot itu. Anak kita cukup kreatif. Vas bunga saja bisa menjadi boneka salju.” Lalu kami pulang.

Setelah pulang dari rumah sakit, aku meminta uang kepada Ibuku. Lalu aku pergi ke toko tempat alat-alat kerajinan tangan. Disana aku membeli pernak pernik, mute-mute seperti mutiara, pita jepang dan hiasan lainnya tak lupa juga dengan lemnya. Aku berniat untuk mendandani pispot itu untuk aku jadikan lampu ajaib. Kurang lebih empat hari pengerjaan, akhirnya pispot itu berubah menjadi barang yang sangat indah. Menurutku. Lebih mirip bahkan sama persis dengan lampu ajaib milik Aladin.

Mendengar kabar Ibu akan menjenguk Pamanku lagi, aku juga ingin ikut. “Tapi itu film Aladinnya belum selesai Ra.” Aku hanya senyum dan memaksa Ibu untuk mengajakku ke rumah sakit. Dengan syarat, jangan minta yang tidak-tidak lagi. Aku terima perjanjian itu.

Sesampai di rumah sakit aku langsung berlari menuju ruangan Pamanku. Kondisi yang sangat tepat, Suster cantik itu ada disana. Pamanku sepertinya masih belum sembuh, kondisinya belum stabil. Setelah berkumpul semua, aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku. “Taraaaaaa, lihat Paman, aku membuat lampu ajaib sama tidak dengan miliknya Aladin? Suster, bagus tidak?” kini tepuk tangan memenuhi seisi ruangan. “Ibu tidak tahu kalau Rara akan membuatnya jadi seperti itu.” Lalu Ayah mendekatiku, “Sudah Ayah bilang, anak kita cukup kreatif, atau mungkin terlampau imajinatif.” Hmmm terimakasih untuk semuanya.

Aku segera berdiri di depan ranjang. “Paman lihat ya.” Aku mengusap pispot itu tiga kali. Setelah itu aku memperagakan seperti orang yang sedang monolog.
“Aku akan mengusap tiga kali maka akan ada jin, jin yang baik yang keluar. Lihat ya. Satu.. dua.. tiga.” Semua diam melihat tingkahku. Aku segera berpindah keposisi sebelah kanan.
“Hai, gadis cantik. Kamu telah mengeluarkan aku. aku akan memberikanmu tiga permintaan.” Aku sedikit memodifikasi suaraku menjadi agak besar dan berat. Layaknya orang bermonolog, aku terus bergantian pindah posisi dari kanan ke kiri begitupun seterusnya.
“Aku tidak mau minta tiga, aku minta satu saja Jin. Aku minta, Pamanku cepat sembuh. Tidak dirawat lagi disini, dan tidak pipis lagi di tempat yang seperti tempat kamu tinggal. Pispot. hihi”
“Permintaanmu akan aku kabulkan, Paman yang ganteng, akan cepat sembuh dalam hitungan detik, satuu duaa tigaa.. huaaa huaaa huaaa.” Aku menggelitiki Pamanku yang sedang terbaring kaku itu. Pamanku tertawa dan aku melihat senyum indah terpancar darinya. Semua yang ada di ruanganpun ikut tersenyum. Lalu Pamanku bangun, suara yang parau memaksanya keluar untuk mengatakan sesuatu padaku. “Rara ini. Kreatif banget ya. Makasih ya, Paman pasti sembuh. Lihat nih Paman sudah bisa ketawa lagi, sini Paman peluk.” Aku segera memeluk Pamanku dan kurasakan jantungnya berdegup sangat kencang. “Ini lampu ajaibnya ehh pispot cantiknya untuk Paman. Kalau Paman kangen, usap aja tiga kali nanti Rara langsung datang. Hehe.” Semua orang menertawakanku. Akupun ikut tertawa juga, karena tidak mungkin bisa terjadi hal seperti itu. “Cepat sembuh ya Pamanku yang ganteng, Rara sayang Paman.” Semakin erat Paman memelukku, semakin kencang pula jantungnya berdegup.

Keesokan harinya, Ibu mengantarkan kembali lampu ajaib itu. Pispot cantik yang telah aku dandani. “Ibu, kan itu milik Paman. Kenapa Ibu kembalikan ke Rara?” Ibu menangis saat itu. Aku yang belum tahu apa-apa bingung melihatnya. “Paman sudah pergi Ra. Paman bilang makasih karena Rara sudah membuat Paman bahagia. Paman sudah sembuh, penyakitnya sudah diangkat. Paman kembalikan ke Rara, kalo Rara kangen usap aja tiga kali, tapi Paman tidak akan datang, Paman bakal jagain Rara dari jauh.”

Waktu bergulir begitu sangat cepat. Masih bisa kurasakan dekapan terakhir Paman, kemarin. Senyuman indah yang aku lihat menjadi senyuman untuk terakhir kalinya. Aku bahagia, karena Paman memang benar-benar sembuh dari segala rasa sakitnya. Kini lampu ajaib, tepatnya pispot yang cantik tetap aku simpan sebagai sekejap kenangan indah bersama Paman yang begitu singkat. Seperti hidupnya Pamanku yang singkat itu.

3 comments:

Ipeh Alena said...

Paman sudah pergi Ra. Paman bilang makasih karena Rara sudah membuat Paman bahagia. Paman sudah sembuh, penyakitnya sudah diangkat. Paman kembalikan ke Rara, kalo Rara kangen usap aja tiga kali, tapi Paman tidak akan datang, Paman bakal jagain Rara dari jauh


Itu sedih ya... *nangis

ipehalena.tumblr.com

Anonymous said...

aaaakkk kak Ndeh :')

Anonymous said...

raranya lucu banget :3

cerita yg bagus :D