Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

June 06, 2014

Jumatulis #12 Panen Lumpur Burung Kemarau Keringat - Maafkan Aku



Burung-burung berkicau di saat kemarau datang. Kulihat para petani sedang bermandikan sisa-sisa lumpur kebahagiaan di sawah. Di sana kulihat pula Bapak sedang duduk dipinggiran sawah, bercucuran keringat dan nampak kelelahan. Bapak menatapku dan aku menghampirinya. Nampak pula garis kerut menghiasi wajah tuanya. Dengan mata berkaca-kaca beliau berkata, “Nak, kita gagal panen!”

Aku berasal dari keluarga yang sederhana. Hidup bergantung pada hasil pangan dari sawah milik pak Haji Salim yang dititipkan kepada Bapak. Mendengar sawah Bapak gagal panen, aku sangat sedih. Tak bisa dibayangkan bila nanti pulang ke rumah, Ibu yang sangat mengharapkan hasil panen mengetahui hal seperti itu, apa yang akan terjadi?

Ibu yang selalu menuntut banyak pada Bapak, selalu saja merasa kurang saat panen tiba. Apalagi sekarang, gagal panen, apa yang akan Ibu lakukan pada Bapak? Semoga Ibu bisa mengerti. Semoga Ibu bisa menerima apa yang terjadi hari ini.

“Bu, hanya ini hasil panen kita hari ini.” Bapak memberi seember kecil beras hasil panen barusan. Ibu mengangkat alis. “Ini apa?” katanya sambil mengangkat ember itu. “Itu hasil panen kita bu, sawah kita gagal panen. Kemarau membuat kering sawah kita.” Kata Bapak menjelaskan semuanya. Namun, bukan pengertian yang Ibu berikan tapi hanya amarah yang keluar dari mulut Ibu.

“Bapak pikir kita ini ayam, apa? Beras segitu cukup untuk apa?!” Ibu melepaskan ember yang dipegangnya. Seketika, beras yang ada di ember bertebaran, berserakan. “Bapak ini, mau makan apa kita?!” Ibu pergi meninggalkan Bapak yang masih berdiri di pintu rumah. Aku hanya menangis melihat sikap Ibu pada Bapak. Bapak menghampiriku dan memelukku. “Nak, Bapak akan mencari tambahan untuk kita makan nanti ya. Jangan menangis.” Kata Bapak.

“Tuhan, hamba tahu bahwa ini yang terbaik dari-Mu. Ampuni isteriku yang khilaf tak mensyukuri karunia-Mu. Tuhan, mudahkanlah hambamu ini. Aamiin.” Dalam malam Bapak selalu memohon pada Tuhan yang Maha Kuasa. Air mata selalu membasahi pipi keriputnya. Dari sisi lain terdengar suara yang membuat Bapak marah saat itu juga.
“Percuma kamu terus berdo’a, Pak. Tuhan tak akan mengabulkan permohonanmu. Percuma kamu menangis seperti itu, Tuhan tidak akan menghapus air matamu.” Kata Ibu yang terbangun dari tidurnya. “Astaghfirullah Bu! Kamu bicara apa?! Istighfar!” hanya itu yang bisa Bapak ucapkan. Bapak tidak kuat lagi untuk mengeluarkan tenaga.
                
Aku hanya diam, menangis tak bisa berkata-kata apa lagi.  Aku hanya bisa melihat apa yang sering terjadi pada Bapak. Aku hanya bisa melihat Ibu yang terus mengeluh kepada Bapak. Maafkan aku Ibu, jika aku tidak cacat seperti ini mungkin aku bisa membantu Ibu, mungkin aku bisa membantu Bapak. Maafkan aku yang tak bisa berbuat apa-apa untuk Ibu dan Bapak. Maafkan aku.
                 
“Jika Tuhan mendengar do’amu, anak kita tidak akan seperti ini. Cacat mental, hanya bisa diam, menangis dan hanya merepotkan saja. Aku sudah tak sanggup mengurusinya.” Lanjut Ibu yang masih belum puas mencerca Bapak. Ingin aku membantu Bapak, ingin pula aku bertindak tapi, apa daya aku hanya si cacat yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Tuhan, maafkan Ibu, sabarkan Bapak. Aku hanya tidak ingin melihat semuanya selalu seperti ini. Dalam do’a yang tak ada seorangpun tahu, kumohon agar Engkau mengabulkan do’aku. Walau Ibu tak pernah tahu isi hatiku, tapi aku akan selalu memberikan do’a untuknya. Untuk Ibu dan Bapak tercinta.

No comments: