Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

June 13, 2014

Jumatulis #13 - Selalu Ditinggal Pergi


Pantai adalah tempat yang sangat indah bagi siapapun yang mencintai senja. Keindahannya tak akan pernah bisa didiversifikasikan dengan panorama lainnya. Kulihat laut membentang bagai hamparan permadani biru, ditemani tarian lihai rumput laut di dalamnya. Ah! Banyak ikan bersembunyi di balik terumbu karang yang beraneka rupanya. Ini kali pertama aku menghabiskan waktu bersamanya.

“Bagaimana, kamu suka?” tanya Riza yang sedari tadi menemaniku di Pantai ini.

“Emm, ehm.” Kataku mengangguk pertanda aku mengiyakan pertanyaannya. Kulihat senyum indahnya semakin memperlihatkan rasa cinta yang begitu dalam padaku.

“Aku mencintaimu, Ra.” Ia mendekap tubuh mungilku. Aku tak kuasa menahan air mata yang sudah menggelayut meminta dijatuhkan saat itu juga. “Aku akan selalu menemanimu untuk selamanya.” Lanjutnya. Semakin erat pula dekap hangat pelukannya.

“Makasih.” Hanya satu kata yang bisa aku ucapkan. Aku terlalu bahagia sampai aku tak bisa berkata-kata lagi.

“Iya, sayang.” Katanya sambil mencium keningku.

Tuhan, aku masih ingin menghabiskan waktu dengannya. Jika bisa, aku ingin meminta waktu seribu tahun lagi untuk bersamanya. Riza yang Kau berikan untukku adalah hadiah dan anugerah terindah dalam hidupku.Hidupku yang singkat ini.

“Ra, badanmu panas. Ayo kita pulang!” Riza langsung panik mengetahui tubuhku yang mulai panas. Demam tinggi menyerangku lagi!

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Aku merasakan panas menjalar ke tubuhku. Tubuhku menjadi sangat lemas. Bahkan menggerakan jemari pun aku tak sanggup. Aku yang sedari tadi tengah duduk di kursi roda kembali pulang. Riza membawaku ke paviliun yang sudah kami sewa di sekitar pantai.

“Sabar ya Ra. Aku akan menelpon dokter ke sini. Aku menyayangimu, Ra.” Air mata menyembul di sela-sela kelopak mata Riza. Aku sudah tak bisa lagi berkata-kata. Perlahan, kurasakan dingin yang sangat dingin di pangkal kaki. Kemudian dingin itu terus naik, semakin naik. Aku menggigil, sangat menggigil. Tuhan, apakah ini waktunya aku pulang? Melihat keadaanku seperti ini, tanpa disadari kudengar tangisan Riza membuncah. Suamiku tercinta mungkin akan sangat bersedih jika kehilangan aku, istri ketiganya. “Ra, Rara! Sabar ya sayang, sebentar lagi dokter datang. Rara!” Masih dalam dekap hangatnya, nafasku mulai tersengak-sengak.

Riza mungkin mengetahui keadaanku yang menandakan aku sudah tak sanggup lagi hidup. Maut kini menjelma, mungkin ini adalah akhir hidupku di dunia. Dengan suara yang parau, Riza menuntunku mengucapkan kalam-kalam Illahi. Tahlil dan Syahadat terus ia bisikan ke telingaku. Aku mengikuti perlahan hingga aku tak sanggup lagi bernafas, hingga tiba waktunya saat terpisah ruh dari jasadku. “Innalillahi wa innailaihi raaji’un.”

EPILOG…

“Rahma, apa yang sedang kamu lakukan?” Riza mendekati Rahma yang sedang berdiri di balik gordeng kamarnya.

“Tidak, aku tidak sedang apa-apa.” Jawabnya tanpa melirik Riza sedikit pun. “Mengapa selalu begini? Mengapa selalu begini, Ayah?!” Lanjut Rahma memeras-meras gordeng yang dipegangnya sambil menangis. Riza hanya bisa diam.

Ya! Mengapa selalu begini?! Bahkan Rahma putri tunggalku, putri dari isteri pertamaku menyadarinya. Setiap aku menikah, pernikahan itu tak pernah berlangsung lama. Selalu saja isteriku meninggal. Beruntung Rahma selamat saat isteriku melahirkan. Tapi ibunya tak terselamatkan! Apa aku tidak pantas untuk memiliki pasangan hidup?! Mungkin, aku tidak akan lagi mencari pengganti Rara. Biarkan Rara menjadi isteriku yang terakhir. Semoga semua isteri-isteriku tenang di alam sana. Aamiin.-Batin Riza menangis.

Catatan: tadinya mau dibuat cerita si Rahma anaknya itu mau dinikahi sama ayahnya. Tapi gaboleh ya? Haram ya? Ya sudah sampai sini saja hhe. *pusing*

Tulisan #Jumatulis ke-13 dengan keywords: Senja, Ikan, Diversifikasi, Rumput laut, Terumbu.

No comments: