Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

April 11, 2014

Jumatulis #4 Sofa - SOFKEBU


Aku mengintip sosok wanita yang memakai jilbab putih, duduk manis di sofa yang ada di dekat mushola rumah, melantunkan ayat-ayat suci. Hampir setiap hari sehabis shalat lima waktu Ibu selalu membaca Al-Qur’an di sofa itu. Aku menyebutna “Sofkebu” alias Sofa Kesayangan Ibu. Beliau bilang kalau mengaji atau hanya sekedar bersantai sambil duduk di sofa itu suasananya beda, lebih terang di kala siang karena tepat didekat jendela, lebih nyaman di kala malam karena bisa menikmati indahnya alam. Ibu menghabiskan waktu luangnya di sofa itu.

“Ibu, ini sudah malam. Ayo bu tidurnya pindah ke kamar.” Aku membangunkan Ibu yang saat itu tertidur di sofa.
“Ehh Rara,” Ibu terbangun dengan masih mendekap Al-Qur’an didadanya. “Ibu masih menunggu Ayah pulang, Ra. Jam berapa sekarang?” lirik Ibu pada jam dinding.
“Sudah hampir jam dua belas bu.” Aku duduk disamping Ibu.
“Kok Ayahmu belum pulang ya Ra?” Ibu beranjak dari sofa itu menuju jendela yang gordengnya masih belum ditutup.
“Mungkin Ayah lembur. Ibu tidurnya di kamar ya. Kalo di sofa nanti badan Ibu sakit, pegal-pegal nantinya.” Aku kemudian menghampiri sambil memijit pundak Ibu.
“Iya sayang. Lah kamu kenapa belum tidur?” Tanya Ibu menatapku.
“Rara tadi terbangun dan laper bu. Saat Rara mau ke dapur melihat Ibu tertidur disini yasudah Rara kesini.” Aku kembali duduk di sofa itu. “Oh iya bu, kenapa Ibu senang sekali menghabiskan waktu di sofa ini bu? Padahal ini sofa gede aja enggak.”

Lalu Ibu duduk lagi disampingku disofa itu. Lalu, Ibu menceritakan sesuatu padaku “Sofa ini hadiah dari Ayahmu. Saat kami masih muda, seminggu sebelum Ayah melamar Ibu, beliau bertanya pada Ibu katanya “Neng, kalo Aa mau beliin Neng sesuatu, mau motor atau mobil?” Ibu menjawab tidak mau dua-duanya. Ayahmu bertanya lagi “Jadi maunya apa dong, Neng?” Ibu jawab, minta sofa aja. Ayahmu nanya lagi “kok minta sofa sih Neng?” Ibu jawab lagi, kalo mobil atau motor gak ada sofanya, berarti kita tidak bisa duduk bersama. Ehh besoknya Ayahmu langsung membawakan sofa ini ke rumah, sambil mengucapkan “Neng, kita akan selalu duduk bersama. Sofa ini saksinya.” Begitu Ra, makanya Ibu nyaman duduk disini.” Aku tersenyum saat mendengar cerita Ibu.

“Waaah kok Ibu baru cerita sekarang sih? Ternyata Ayah so sweet juga ya bu. Hehehe. Rara jadi ngiri deh bu. Semoga nanti jodoh Rara pengertian dan perhatian juga. Hehe. Aamiin.”
“Iya Ibu baru sempat cerita sekarang. Iya Ra, Aamiin. Tapi sekarang jangan dulu mikirin jodoh-jodohan ah. Sekolah dulu yang sungguh-sungguh. Masalah jodoh pasti Allah sudah mempersiapkanya. Kalau mau mendapat jodoh yang terbaik, kamu harus baik pula. Jodoh kita cerminan diri kita.” Ibu merangkulku dan mendekapku semakin dekat.

“Hehe. Iya bu, tapi sekarang Rara sedang mengagumi seseorang. Orang jauh sih kenal di komunitas gitu bu, belum pernah ketemu juga. Kayanya Rara Jatuh cinta deh bu sama orang itu. Semoga Allah menunjukan yang terbaik. Hehe.”

“Aduuuhhh putrinya Ibu lagi kasmaran ceritanya nih? Dengerin Ibu ya Ra, Ibu titip sama kamu, menyukai atau mengagumi itu boleh tapi jangan sampai berlebihan. Saat kita sudah terlalu tinggi menyukai seseorang lalu kita terjatuh pasti akan sangat sakit. Jadi Ibu berpesan sama Rara, jangan terlalu cepat menyimpulkan isi hati dan perasaan.” Ternyata Ibu sangat ahli dalam hal beginian.

“Iya bu siap. Rara hanya sekedar mengagumi saja bu. Kayak lagunya ungu itu loh bu. Cinta Dalam Hati, mengagumi tanpa dicintai. Hehehe.”

“Ahh dasar kamu ini. Sudah cepat tidur sudah larut malam. Besok kan kamu ada ujian. Harus cukup tidur supaya besok fresh badannya.”

Oh iya, besok aku akan melaksanakan ujian nasional. Aku sekarang kelas tiga SMA. Besok adalah hari pertama dimulainya perjuangan akhirku di SMA. Aku segera beranjak dari sofa kesayangan Ibu itu. Lalu pergi ke kamar. “Ibu jangan tidur di sofa. Rara duluan ya bu.” Tak seperti biasanya, sebelum pergi ke kamar aku memeluk erat dulu pada Ibu. Mencium pipinya. Mungkin aku sedang senang saat ini. “Mimpi indah anakku sayang.” Kata Ibu saat itu. Ibu melanjutkan menunggu Ayah di sofa itu. Dengan Al-Quran yang masih dipegang, Ibu melanjutkan lagi mengajinya. Lalu, Ayah pulang saat setelah lima belas menit berakhirnya obrolan aku dan Ibu di sofa itu.

Angin subuh mulai aku rasakan. Kumandang adzan terdengar mendayu memasuki sela-sela kamarku. Aku segera bangun dan mengambil air wudhu. Seperti biasa, shalat subuh adalah satu moment yang sangat aku nantikan. Bisa shalat berjamaah bersama Ayah dan Ibu. Aku segera menuju mushala. Tapi mengapa masih sepi? Lalu aku mengetuk pintu kamar Ibu, tidak dikunci. Aku buka namun tak ada Ibu dan Ayah disana. mereka pergi kemana? Apakah Ayah dan Ibu pergi berjama’ah ke mesjid? Tapi mengapa tidak mengajakku? Aku memutuskan untuk menyusul ke mesjid. Namun saat aku akan mengunci pintu rumah terlihat sorotan lampu mobil tepat diwajahku. Itu mobilnya Ayah.
“Rara mau kemana?” Tanya Ayah dengan nada suara yang sangat kecapean.
“Ayah darimana? Rara mau nyusul shalat ke mesjid kan?”
“Rara belum shalat subuh? Yasudah ayo Ayah antar ke mesjid saja.” Ayah mengandengku masuk ke dalam mobil.
“Ayah, Ibu mana? Kenapa ninggalin Rara? Kan Rara ingin shalat berjamaah. Ingin berdo’a bersama demi kelancaran ujian nasional hari ini.”
“Iya nanti kita berdo’a bersama.” Jawab Ayah dengan nada yang dingin tak seperti biasanya. Dan, semua pertanyaanku tidak beliau jawab. Aku hanya diam ikut apa kata Ayah.

Akhirnya aku shalat di mesjid yang bersebrangan dengan salahsatu rumah sakit. Setelah shalat subuh, Ayah membawaku masuk kedalam rumah sakit itu. Pikiranku langsung tertuju pada Ibu. Apa Ibu sakit?
“Ayah, Ibu mana? Kenapa ke rumah sakit? Apa Ibu sakit?” hatiku mulai tak menentu. Ayah tak pernah menjawab pertanyaanku.
Lalu Ayah membawaku ke ruangan yang bertandakan “Ruang ICU” mataku menajam setelah membaca tanda ruangan itu. Ayah membuka pintunya, aku melihat sosok wanita terbujur kaku. Selang infusan, alat opname dengan tabung oxygennya, semua terpasang ditubuh sosok wanita itu. Ibu, itu Ibuku?! Aku berlari menuju tubuh yang terbaring lemah itu.
“Ibuuu, Ibu kenapa begini? Ayah, Ibu kenapa Yah, Ibu kenapa?” air mataku tak kuasa kubendung. Ayah hanya diam. “Kenapa Ayah selalu begini?! Kenapa Ayah selalu diam?! Rara bukan anak kecil lagi yah Rara bukan anak kecil lagi!!!” aku menghampiri Ayah dan reflek memukul-mukul tubuh Ayah. Ayah langsung memelukku dengan erat. “Ibu pasti sembuh Ra, Ibu pasti sembuh.” Aku hanya bisa menangis aku tak kuasa melihat Ibu seperti itu. Aku kembali menghampiri tubuh Ibu.
“Hari ini Rara ujian nasioal bu. Kenapa Ibu malah sakit? Ibu cepat sembuh bu. Rara ingin dido’akan sama Ibu, Rara ingin disemangati Ibu. Hari ini Rara ujian bu.” Aku memeluk Ibu yang tak berdaya sama sekali. aku hanya menangis dan terus menangis.
“Rara, do’akan Ibu ya semoga Ibu cepat pulih. Sekarang kita pulang dulu. Rara harus siap-siap sekolah.” Ayah mengajaku pulang.

Aku segera meninggalkan Ibu saat itu. Berat hati ini untuk melalui segala guncangan hati. Harapanku sirna. Semangatku pudar. Hanya air mata yang terus menemani pikiranku. Ibu, mengapa kau rapuh disaat aku benar-benar sangat membutuhkanmu?

Bukan konsentrasi yang ada dipikiranku hari ini tapi sebuah kekhawatiran besar yang terus melanda 
pikiranku. Ibu cepat sembuh ya, Rara sangat membutuhkan Ibu.
Ujian nasional berlangsung dengan lancar tapi tidak dengan hatiku. Aku tidak menunggu Ayah menjemput, aku segera bergegas pergi ke rumah sakit.

Angin berhembus tidak seperti biasanya, hembusannya membawa perasaanku menjadi tenang, hembusannya membisikkanku sebuah makna agar aku tidak sedih, dan hembusannya sangat menyejukkan hati.
Aku berdiri tepat di depan pintu ruang “ICU”. Kubuka perlahan pintu itu namun, ruangan itu rapi. Tidak ada Ibu disana, hanya seorang suster cantik menghampiriku yang sedang berdiri kaku. “Ibumu sudah pulang.” Maksudnya? Pulang? Aku tidak mau menyimpulkan makna itu secara langsung. Aku harap Ibu sudah pulang dengan keadaan yang sehat lagi.

Aku kembali melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu. Tiba-tiba terdengar nada dering dari handphoneku. Ya, Ayahku menelepon. “Ayah, kenapa tidak bilang kalau Ibu sudah pulang? Aku tadi ke rumah sakit!” aku kesal. “Ayah tadi ke sekolahmu, mengapa kamu tidak menunggu Ayah? Sekarang kamu dimana? Ayah jemput.” Nada bicara Ayah yang tidak seperti biasanya. Terdengar sedikit gemetaran. “Rara di rumah sakit Yah, Rara nunggu disini.” Maafkan aku Ayah.



Setelah lama menunggu akhirnya Ayah datang. Ayah tidak keluar dari dalam mobil. Aku segera masuk dan duduk disamping Ayah. Aku melihat mata Ayah sembab seperti habis menangis. Aku tak mau bertanya apapun padanya. Aku memilih diam selama di perjalanan.

Sesampai di rumah, aku langsung turun dari mobil. Aku segera masuk ke rumah. Mataku tertuju pada satu tempat. Ya, Mushola. Tepat sekali, ada ibu sedang duduk di sofa kesayangannya. Aku berlari dan memeluknya. “Ibuu, Alhamdulillah Ibu sudah pulang. Rara kaget bu. Takut ibu kenapa-kenapa.” Namun mengapa Ibu melepaskan pelukanku? Beliau memandangku, aku kembali memandangnya. Aku melihat ada tahi lalat dikeningnya. “Tante Dewi?” Aku tak sadar bahwa itu adalah Tante Dewi, kembaran Ibuku. “Rara yang tabah ya sayang. Ibumu sudah pulang.” Tante Dewi menangis, memelukku erat. Aku masih tidak ingin menyimpulkan segala yang terjadi hari ini. “Ibu dimana, Tante?” aku mencoba menahan air mata ini. “Ibumu di ruang belakang Ra.”

Tak banyak bicara aku langsung pergi kesana. Aku melihat tubuh yang ditutupi oleh sinjang batik. Ada Ayah disampingnya. Ada Om Aryo, ada Nenek, ada Aris dan semua keluarga ada disana. Aku baru tahu mengapa semua berkumpul di ruang belakang, agar aku tidak kaget melihat semua ini. Aku terdiam. Tubuhku mulai lemas. Lututku gemetar. Aku terjatuh. Pandanganku kosong menatap tubuh Ibu. Ayah mendekatiku. Lalu iya memelukku erat, sangat erat. Air mataku tak dapat kutahan lagi segalanya membuncah bersama dengan perasaanku yang tak menentu. Aku menangis dipelukan Ayah. Semua sanak saudara ikut menenangkanku. Aku tak kuasa melihat jenazah Ibu. Aku tidak percaya!

Ibuku mulai diangkat akan dimandikan. Ayah bilang aku harus ikut memandikan. Aku mengiyakannya. Aku memandikan jasad yang kini takan lagi ada bersamaku. Aku terus menangis. Ayah menenangkanku namun aku tetap tak kuasa menahan tangis. Aku membasuh seluruh tubuh ibu perlahan. Kini, mata indah itu takan lagi terbuka. Mulut itu takan pernah lagi bercerita. Tangan itu takan pernah lagi membelai manja. Ibu, secepat inikah?

Seusai memandikan jenazah Ibu, aku segera mengambil air wudhu. Segera aku membaca Al-Qur’an. Tubuh ibu sedang dibungkus kain kafan. Aku masih tak kuasa. Aku pergi ke mushola. Sofa itu, biasanya saat ini ibu sedang duduk mengaji di sofa itu. Aku mendekati sofa itu, duduk lalu mengaji.
 
Ibu, masih aku rasakan obrolan kita tadi malam. Disini, di sofkebu ini. Sofa kesayangan Ibu, hadiah dari Ayah. Cerita itu takan pernah aku lupakan. Akan selalu ku kenang. Biarkan sofa ini menjadi pelipur lara saat aku merindukan Ibu yang kini sudah tak ada. Biarkan sofa ini menjadi tempatku menghabiskan waktu seperti Ibu dulu. Aku menyayangimu, Ibu.

4 comments:

Ipeh Alena said...

“Ibuuu, Ibu kenapa begini? Ayah Ibu kenapa yah Ibu kenapa?” air mataku tak kuasa kubendung. Ayah hanya diam.


>> Kasih koma ya neng sayang. Biar gak bingung bacanya.

jokbelakang said...

Ndeh :(

Unknown said...

Di tengah, ada twist yg menarik. Dikirain Mamanya gak meninggal. Eh taunya tante Dewi. Ini sedih. :"/

Siti Robiah Adawiyah said...

Terima kasih, sudah diperbaiki :)))