Laman

Life Must Go On !

Life Must Go On !
Tulis apa yang ingin kau kerjakan, kerjakan apa yang telah kau tulis !

May 17, 2014

Gagal LDR



Aku menatap cermin. Merapikan rambut panjangku yang hitam dan lurus. Bagai iklan sampo di televisi. Senyumku melebar, sumringah. Jantungku berdebar tak seperti biasanya. “Akhirnya aku bisa bertemu juga denganmu.” Sahutku bicara sendirian pada cermin. “Setelah sekian lama kita berpisah, akhirnya kita dipertemukan juga.” Lanjutku yang masih terpaku di depan cermin. “Kau datang untuk melamarku?” ucapku lagi. “Duuuhhhh Rara! Kamu ini gila apa? Ngomong apa sih ini?! Jangan terlalu berharap lebih dengan pertemuan ini.” Aku menggerutu dengan kelakuanku sendiri. Lebih baik aku pergi meninggalkan cermin itu. Latihan selesai.

Hari ini cuaca sedang tidak bersahabat. Angin berhembus membawa aroma kepedihan. Kepedihan hati yang selama ini aku pendam sendiri. Menanti sang kekasih yang tak kunjung datang, adalah satu dari sekian banyak masalah tentang perasaanku saat  ini. “Kamu dimana sih, Rob? Kok belum datang aja!” Aku masih berjalan sembari menanti kekasih yang tak kunjung datang. Kulihat waktu sudah menunjukan tepat pukul sepuluh. Aku duduk sebentar di kursi taman yang tidak begitu jauh dari stasiun kota. Bunga-bunga menari bersama angin, seperti dancer yang sudah sangat ahli. Mereka menari dengan sangat kompak. Mataku dimanjakan oleh pemandangan bunga di taman itu.

Sejenak, aku lupa bahwa hari ini aku akan bertemu dengan Robi. Kekasih hati yang tinggal di pulau tetangga, Kalimantan. Sudah tiga jam aku menunggunya, membuat aku merasa bosan sendiri. Kesendirian ini sudah aku alami selama tujuh bulan saat Robi memutuskan untuk bekerja di Kalimantan.
“Hei, Ra. Siang bolong gini melamun.” Seseorang menepuk bahuku. Aku coba mengalihkan pandanganku pada sosok itu. “Ardi?, hei, Ardi.” Mengapa aku jadi kalap? Aku menjadi gagu sesaat. Melihat matanya yang tepat memandang mataku pun tak dapat kuhindari. Aku seakan menikmati setiap detail paras wajahnya. “Hei, Ra. Rara!” Lamunanku tersentak olehnya, oleh Ardi. “Maaf, Di.” Wajahku mulai merah padam.

Setiap aku bertemu dengan Ardi, ada perasaan lain di hati ini. Ardi teman SMA yang pernah menyatakan cintanya padaku, aku tolak mentah-mentah karena aku lebih memilih Robi ketibang Ardi. “Kamu ngapain disini, Ra?” Tanya Ardi. “Aku menunggu Robi.” Aku masih menundukkan kepalaku karena malu. Ardi tidak berkomentar. Dia hanya tersenyum menanggapiku. “Kamu ini wanita baik. Beruntung Robi memilikimu.” Kali ini aku yang tidak berkomentar. Sampai obrolan kita terputus karena Robi ternyata menghubungiku. “Di, aku tinggal ya. Bye.” Aku berlalu dari pandangan Ardi. Ingin aku menengok ke belakang, namun aku tak sanggup. Aku buka handphone yang sedari tadi aku simpan di tas dan disilent pula. Kudapati sms dari Robi.
“Ra, kamu gimana sih? Ditelepon gak dijawab-jawab!”
“Ra!!!”

Ya ampun. Kok Robi malah marah-marah? Aku yang sedari tadi menunggunya di sini, biasa saja. Harusnya aku yang marah.  Aku tak berpikir panjang langsung meneleponnya.

“Kamu di mana? Aku sudah menunggumu hampir empat jam di sini!” Nadaku yang sedikit naik. Emosi. “Temui aku di Taman Kota.” Hanya seperti itu? Lalu Robi mematikan teleponnya. Aku bergegas pergi ke taman kota yang memang tidak jauh dari stasiun kota. Sesampai disana, aku melihat sosok yang sudah kutunggu-tunggu berdiri di sana. ingin segera kupraktikan semua ucapanku tadi di cermin. Aku berlari kecil untuk menemuinya. Rasa bahagia ini tidak dapat aku bendung lagi. Setelah tujuh bulan LDR ini membunuhku, akhirnya hari ini dihidupkan lagi dengan kedatangannya.

“Ra, aku akan bertunangan.” Kata-kata yang menurutku itu ambigu. Dia mengeluarkan sebuah cin-cin berlian dari saku jasnya. “Aku sudah memiliki kekasih di Kalimantan sana. Maafkan aku. Aku datang ke sini hanya untuk memberitahukan semua ini. Aku tak ingin menjelaskan lewat perantara apapun. Tapi kali ini aku memaksakan diri untuk pulang dulu ke Bandung. Karena aku akan bertunangan dengan Nadia, teman kerjaku di Kalimantan.”

Aku tidak sedang bermimpi kan? Apa aku juga tidak salah dengar? Robi menemuiku hanya untuk mematahkan hatiku? Harapan untuk bertunangan dengannya, kini kandaslah sudah. Aku tidak bisa berkata apapun. Bahkan untuk sekedar berkata “Hai” pun aku tak sempat. Aku pergi meninggalkan Robi tanpa sepatah kata pun. Rasanya jantungku berhenti berdetak. Sesak. Panas. Kacau. Bukankah pertemuan adalah moment yang sangat dirindukan oleh para penyanding LDR? Tapi jika pertemuan ini berakhir luka, aku tak seharusnya menantikan ini semua. Hubungan yang baru tujuh bulan aku jalani, kini berakhirlah sudah. Tidak ada lagi LDR. Yang ada hanyalah serpihan kenangan yang tak pernah ada indahnya. Mungkin jika dulu aku memilih Ardi, tidak akan pernah terjadi seperti ini. “Sudahlah Rara, sekarang tutup kembali hatimu. Biarkan hati ini dibuka oleh sosok yang benar-benar Tuhan kirimkan untukmu. Sosok yang tidak lagi me-LDR-kan kisahmu, kisah cintamu.” Batinku mengoceh sendirian.

Kini aku pulang bersama kenangan pahit yang takan terlupakan. Tapi aku akan mencoba untuk melupakan. Bukankah untuk menjadi lebih baik, harus belajar pada masa lalu? Inilah Aku, yang siap kuat menghadapi segala gencatan hati.

No comments: