Saat mengingat kisah lamaku, si kurus di
SMA. Selalu membuatku terbayang kembali sosok wajah, yang sampai saat ini belum
bisa aku lupakan pesonanya. Riza namanya. Kalap, bila aku bertatapan muka
dengannya. Setiap bertemu, dia pasti
tidak lupa untuk mengabsenku. “Hei, papan seluncur!” Itulah kalimat yang sering
dia ucapkan saat berpapasan denganku. Papan seluncur? Sekurus itukah aku?!
Seiring berjalannya waktu, semakin
sering pula si Riza itu menggodaku. Kini dia tak sendiri, semua geng-nya malah
ikut-ikutan mengejekku. Papan seluncur, tiang bendera, penggaris besi, lalu apa
lagi? Benang kusut saja sekalian. Benang yang tipisnya bukan main, ditambah
kusut, apakah itu sebutan yang bisa membuat kalian senang?!
Oke sip. Sekarang inilah masalahnya. Aku
bosan mendengar ejekan-ejekan dari si Riza and the gang itu yang sudah membuat
telingaku keriting. Di kata, hati aku ini lemari es yang selalu dingin setiap
saat apa? Hati aku juga bisa panas, bahkan lebih panas dari api yang
membara-bara (bere bere bere). Dengan semangat ’45, aku mencoba untuk menaikan
berat badan. Segala macam makanan aku masukan. Masukan kemana? Ya ke perutku
lah. Lewat mulut, dan ingat ya, aku yang mengunyahnya, bukan yang lain! Ibuku
sempat kaget melihat anaknya yang makan tidak seperti biasanya. Daging
sambelado, sayur asem, ikan asem padeh, lalapan, juga sambel goreng yang
biasanya aku lewatkan, kini aku lahap semuanya. Aku bertekad, aku harus gendut!
Paling tidak, yah terlihat montok lah. “Kamu makan jangan kaya orang kesurupan
gitu dong! Bissmillah dulu gak sih?” Tanya Ibu ketika melihat aku makan dengan
sangat banyaknya. “Aku harus gendut bu! Aku lelah diejek terus bu. Aku sakit
hati!” Jawabku sambil terus memakan semua yang ada di meja makan. Ibu hanya
geleng-geleng kepala.
Saat itu, hampir setiap hari aku mengkonsumsi
makanan yang mengandung gula. Contohnya
seperti coklat yang katanya bisa bikin gendut. Selain itu, hampir setiap hari
aku makan bakso, mie ayam, cilok, seblak, demi menghilangkan kekurusanku yang
membuat aku minder bukan main. Kadang, saat musim hujan angin, pasti selalu aku
yang jadi sasaran empuk candaan teman-teman. “Hei, ada angin kencang.
Selamatkan si Rara, takut kebawa angin!” Sekali lagi, sekurus itukah aku?
Sampai suatu ketika akibat pola makan yang berlebihan, alhasil aku jatuh sakit.
Aku menderita gejala tifus saat itu. Dua minggu aku dirawat di rumah sakit.
Niatku ingin menambah berat badan, kandas sudah. Nyatanya, berat badanku malah
menurun (lagi) karena sakit. Terima sajalah takdir kurusku ini.
Hal yang tidak bisa aku lupakan sampai
saat ini adalah saat aku sakit Riza menjengukku. Aku kaget bukan main. Dan saat
itu pula dia mengatakan sesuatu. Katanya, “Kamu bodoh, deh! Kamu mau gendut,
tapi malah merusak tubuhmu sendiri! Jangan begitu lagi ya, aku menyukaimu apa
adanya. Aku suka kamu seperti ini. Jangan gendut-gendut. Aku menyukaimu.
Kepincut sama kurusmu.” Aku sedikit bingung melongo, “Kamu suka sama aku? Tapi
mengapa kamu terus mengejekku?! Huh!”
Kupalingkan wajahku dari pandangannya.
“Ya maaf, aku kan tidak tau harus bersikap seperti apa. Jadi ya aku, aku, ya
seperti itu. Hehehe. Maaf ya.” Wajahnya mesem-mesem kayak kue apem.
Semenjak itu aku dan Riza jadi sangat
dekat. Tidak ada lagi yang mengejekku dengan sebutan-sebutan yang tidak
bermutu. Ini kisahku untuk mengenang dirimu, Riza. Dia meninggalkan aku saat
seminggu sebelum Ujian Nasional 2013. Semoga kau damai di alam sana. Dan kini,
aku bahagia dengan kekurusanku. I’m kurus,
i’m verry happy.
No comments:
Post a Comment